Chapter 10 - Perkara IPK

7 2 0
                                    

"Jav, persyaratan daftar menteri udah keluar, tuh!" ucap Bang Dito ketika kami bertemu di depan sekretariat BEM. Sepertinya Bang Dito dari kantin karena menenteng kantong plastik berisi nasi.

"Lah, kok cepet, Bang? Presbem baru aja belum dipilih."

"Ini persyaratan umum aja, sih. Toh, nanti keputusan siapa menterinya tetep presbem baru yang nentuin. Kayaknya Pak Pres bikin step ini buat menetapkan standar menteri ke depan. Tahun sebelumnya mana ada kayak begini."

Aku mengangguk-angguk. Segera kuraih kenop pintu sekretariat dan menatap poster di papan info. Bang Dito mengikutiku dan berdiri di sampingku.

Syarat pertama, merupakan mahasiswa aktif Universitas S minimal semester tiga. Kedua, telah lulus ospek saat tahun pertama dengan menunjukkan kartu anggota HMJ masing-masing. Mataku melotot ketika membaca persyaratan ketiga, IPK minimal 3!

"What the fuck!" gumamku pelan. Aku berhenti membaca persyaratan berikutnya karena terlalu terkejut dengan poin ketiga.

"Jav?" Bang Dito menatapku heran.

"Sori, sori, Bang." Aku menelungkupkan tangan bermaksud meminta maaf.

"Gue yakin lo bisalah ...." ungkap Bang Dito mendukungku.

"Hah?"

"Kenapa?"

"Apanya, Bang?"

"Kok lo jadi konslet gini, sih, habis baca persyaratan daftar menteri." Bang Dito terkekeh. "Lo memenuhi semua persyaratan, kan?"

"Hm ... kenapa kudu ada syarat IPK, sih, Bang?"

Bang Dito masih menatapku. "IPK lo di bawah itu?"

Aku ragu menjawabnya. Malu banget, gila! Kupilih anggukan kepala lesu dengan senyum kecut sebagai responsku. Terserah Bang Dito mengartikannya apa. Untuk sekarang, jawaban ambigu lebih baik dibanding aku harus berkata lugas mengenai IPK-ku.

"Kalau masih di atas 2.8 gue bisa bantu ngomong ke Pak Pres biar lo lolos syarat. Gimana?"

Aku menelan ludah. Di atas 2.8? Masalahnya IPK-ku hanya 2.2! batinku.

"Jangan, deh, Bang. Nanti malah timbul kasak-kusuk nepotisme gara-gara gue," ucapku beralasan.

"Iya juga, sih." Bang Dito mengusap tengkuknya. "Terus, lo enggak jadi daftar, dong?"

Aku menggeleng. "Kayaknya enggak dulu, deh, Bang." Bukan enggak dulu, tapi enggak bakal bisa daftar! lanjutku dalam hati.

"Ogi udah siapin berkas, tinggal maju doang. Kalau Ogi yang jadi menteri, biar gue suruh dia narik lo jadi Dirjen."

"Hm ... lihat besok aja, Bang. Gampanglah, itu." Aku menggigit bibir. Sialan, sialan! Kalau Ogi bisa daftar, berarti IPK dia di atas 3.00, dong! Bukannya aku tidak suka, tapi aku tidak menyangka kalau Ogi yang kelihatannya tidak minat kuliah itu bisa punya IPK lumayan tinggi.

"Atau begini aja, Jav. Waktu aksi masa besok, lo usahain jadi mahasiswa vokal, paling enggak lo jadi lebih 'kelihatan' gitu. Paham, kan, maksud gue? Kandidat calon presbem, kan, pasti ikut semua, tuh, pas aksi masa besok!"

"Berarti gue boleh ikut, nih, Bang?" tanyaku bersemangat.

"Ya, gimana lagi. Minimal biar mereka melirik lo walaupun lo enggak bisa masukin berkas pendaftaran menteri. Lo kayaknya semangat banget gantiin gue, manajemen organisasi lo juga bagus. Berani enggak?"

"Siap delapan enam, Bang!" Aku membuat gestur hormat pada Bang Dito dan dia hanya mengacungkan jempol. Masih ada harapan.

Sejak tercetusnya misi tersembunyi antara aku dan Bang Dito, aku jadi maksimal mengerjakan persiapan aksi masa besok. Mulai dari perijinan tempat untuk kastrat yang awalnya kukeluhkan, aku handle dan kuselesaikan semua. Memastikan bahwa seluruh tahapan menuju aksi masa berjalan lancar dan aku mendapat kesempatan untuk memperlihatkan kualitas diriku.

Iya. Walaupun aku tidak bisa menunjukkannya lewat prestasi akademik, akan kutunjukkan di bidang lain. Aku menjadi sibuk mondar-mandir ke sekretariat BEM ketika mahasiswa lainya sibuk belajar untuk UAS yang akan dilaksanakan minggu depan.

"Jav, kita mau belajar, nih! Ayo, ikutan!" ajak June ketika aku baru saja pulang ke indekos dengan wajah lusuh.

Aku memandang June dari bawah hingga atas. Dia terlihat rapi. "Belajar di luar?"

"Iya, bareng anak-anak lain. Kalau enggak di perpus, mungkin di kontrakannya Dion."

"Emang enggak ada Ryo?" tanyaku memastikan, karena kalau ketemu Ryo, June sudah pasti langsung minta pulang.

"Kata mereka, dia ke kosan Agus, sih. Ayo ikut, Jav. Ada Putri, Mila, Kiki, juga selain kita."

Aku mengembuskan napas. "Gue capek, Jun."

"Lo, tuh, capek ngurusin BEM melulu. Giliran UAS enggak diurusin. Enggak kebalik, tuh?" June mulai mengomel.

Tiba-tiba Bu Nur muncul di anak tangga teratas. Membuatku dan June terkejut bukan main karena langkahnya tidak ada suara sama sekali, tahu-tahu sudah memanggil.

"Neng Javitri, ibu bisa minta tolong enggak? Mau takziah ke rumah Pak RT, tapi Salam enggak ada yang jaga. Pamali kalau ngajak anak kecil takziah, soalnya jenazahnya masih di rumah," tutur Bu Nur panjang.

June melempar tatapan tajam ke arahku sambil menggeleng superpelan.

Aku melihat Bu Nur dan June bergantian.

"Titip Salam bentar, ya, Neng. Enggak lama, kok. Saya enggak ikut ke makam," lanjut Bu Nur.

Aku melepas ranselku dan kuletakkan begitu saja di lantai kamar. "Salam di mana, Bu?"

"Di bawah, Neng. Maaf, ya, Neng. Enggak lama, kok."

"Iya, Bu." Aku mengikuti Bu Nur turun.

"Javitri! Besok ujian!" desis June sebelum aku turun.

"Bentar doang katanya. Lo sama yang lain ke Dion aja, enggak apa-apa. Nanti gue belajar sendiri." Kemudian aku menuju lantai bawah.

Sepertinya ucapan Bu Nur 'bentar' ini perlu dikoreksi. Karena sejak kemarin, kata 'bentar' bagi Bu Nur itu bisa mencapai lebih dari dua jam. Ini sudah tiga puluh menit berlalu dan Bu Nur belum juga datang.

"Kak Jav, Salam lapar," keluh bocah yang sejak tadi memainkan ponselku, sementara kutinggal mandi sebentar. Badanku sudah gatal dan aku tidak sanggup menahan lebih lama lagi.

"Ke McD, yuk, Kak Jav!" ajak Salam setelah meletakan ponselku dan beranjak dari duduk.

Aku mengernyit. "Emang tadi udah minta uang ke Ibu?"

Salam menggeleng sambil tertawa, aku baru tahu dia kehilangan salah satu gigi susunya. Padahal beberapa hari lalu, gigi Salam masih lengkap.

"Ih, aku, kan, bokek!"

"Bokek?" Alis Salam menyatu, dia lucu kalau raut wajahnya sedang mempertanyakan sesuatu.

"Enggak punya uang."

Salam mengetukkan telunjuknya di kening, seolah sedang berpikir keras. "Sedikit aja? Kak Jav, bisa minta ke ibunya Kak Jav. Cepetan!"

"Mana ada, enggak bisa, lah! Ibuku jauh tahu. Kan, Kakak udah ingetin Salam, kalau Ibu pergi, kamu minta uang dulu. Kakak gorengin telur aja, ya. Ayo."

Salam diam saja. Bibirnya bergerak-gerak pelan, matanya berair. Dia menangis. "Salam maunya McD ...."

Napasku melenguh. Kalau sudah begini, tidak ada jalan lain. Kududukkan Salam di jok motor, kubawa dia ke McD, sesuai kemauannya. Jika tidak begini, Salam tidak akan berhenti merengek. Ya Tuhan, yang punya anak siapa, yang repot siapa. []

Titip SalamWhere stories live. Discover now