Chapter 19 - Tidak Kasat Mata

8 2 0
                                    

 Semester genap ini aku lebih sering terlihat bersama Ryo. Selain sekelas, kami juga sering mengerjakan tugas sama-sama—lebih tepatnya aku diseret paksa oleh Ryo untuk ikut—walau aku lebih sering mengomel atau tertidur ketika dia sedang membahas tugas.

"Ngapain gue kudu ikut, sih? Kan, tinggal nyontek lo, Yo," ucapku sambil bersungut ketika selesai kuliah di jam lima sore dan Ryo menarik ranselku hingga aku terseret dengan posisi tubuh menghadap belakang, karena kalah tenaga.

"Nyontek, kan, juga nungguin gue selesai ngerjain tugas juga," sahut Ryo tidak memedulikan protesku.

"Emangnya mau ngerjain di mana, sih?" Aku berusaha meraih tangan Ryo agar dia berhenti menarikku seperti kambing, karena beberapa orang mulai menatap kami aneh.

"Di perpus aja, sekalian ngadem."

"Lepasin dulu! Gue enggak akan kabur, kok!"

Ryo melepas ranselku, aku pun bisa berjalan seperti orang normal lagi, menghadap depan. Namun, tangan Ryo beralih ke pergelangan tanganku. Harusnya ini menjadi momen yang disukai perempuan, apalagi Ryo yang tidak jelek-jelek amat, tapi masalahnya dia bukan menggandengku, melainkan mencengkeram erat.

"Biar lo enggak lari. Lo tuh susah banget diajak kuliah bener, ngerjain tugas juga masa nunggu dipaksa. Bukannya cewek biasanya rajin, ya?" kata Ryo dengan tatapan heran.

"Lah, kata lo, gue bukan cewek. Gimana, sih?"

"Wah, iya juga. Ngaku deh, Jav. Lo sebenernya transgender, kan?"

Sontak kuarahkan tanganku ke lengan Ryo. Kali ini tidak kupukul, tapi kucubit dengan kuku.

"Sakit woi!" Ryo mengusap-usap lengannya.

Kami berdua memilih tempat di lantai dua, ruangan yang memang biasa digunakan mahasiswa berkumpul untuk belajar dan masih diperbolehkan membawa makanan atau minuman, sedangkan jika ke lantai tiga hingga lantai lima, kami hanya boleh membawa buku dan alat tulis saja. Tas pun harus disimpan di loker di lantai satu.

"Gue beli camilan dulu, ya," pamitku sembari menunjuk kantin perpustakaan sebelum kami naik.

"Jangan kabur!" Ryo lagi-lagi memperingatkanku.

"Ya ampun, enggak. Lo mau nitip apa?"

"Pizza beef barbeque."

Sontak saja aku membelalakkan mata. "Mana ada! Yang bener aja!"

Ryo terkekeh. "Sabu aja, deh. Gue belum makan siang tadi."

Aku mengangguk, kemudian melesat ke kantin membeli risol, pastel, donat, martabak manis yang sudah dipotong-potong, dan sabu pesanan Ryo. Sabu di sini bukan sejenis obat terlarang, melainkan bubur ayam yang dikemas dengan paper bowl dan terkenal enak di kalangan mahasiswa. Walau aku sendiri tidak yakin, satu mangkuk bisa mengenyangkan perut Ryo yang luasnya seperti plaza jurusan itu.

"Buset, banyak amat. Lo niat ngerjain tugas apa ngegiles, sih?" Ryo melotot melihat aneka jajan yang kutuang di atas meja. Dia memilih duduk lesehan di bean bag yang berada di sudut ruangan.

"Biar enggak ngantuk, panca indera harus bekerja semua."

Ryo berdecak sambil membuka jurnal-jurnal yang tadi sempat dia print di bawah. "Jav, kali ini lo kudu dengerin penjelasan gue. Enggak bisa asal nyontek aja."

Alisku menyatu. Karena sudah tiga kali aku mencontek tugas Ryo, dan aku tinggal menyalin saja. Aku tidak mau repot-repot berpikir, apalagi minta diterangkan, karena sudah pasti itu hanya akan menguras kesabaran Ryo. "Kok gitu?"

Titip SalamWhere stories live. Discover now