Extra Part | Tendeanstraat

664 43 11
                                    

SATU tahun telah berlalu sejak Naina menerima berita mengenai Pierre tepat di hari pengumuman Seleksi Nasional Berbasis Prestasi untuk Perguruan Tinggi Negeri. Selama itu, Naina tidak lagi berkomunikasi dengan Pierre bahkan keluarganya sekalipun. Rabella yang dulunya selalu berbagi kabar atau sekadar bercerita mengenai kebiasaan Pierre semasa kecilnya pun tidak pernah menghubunginya lagi. Apalagi orang tua Pierre. Selama satu tahun itu juga, Naina harus bisa menerima keberadaan Pierre seakan hilang ditelan bumi. Meskipun dalam lubuk hati yang terdalam, Naina masih berharap adanya keajaiban yang mempertemukan ia dengan Pierre lagi.

Setelah dinyatakan gagal dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri berbasis prestasi, Naina sama sekali tidak mencoba kesempatan kedua dengan mengikuti seleksi nasional berbasis tes atau UTBK. Gadis itu terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam setelah merasa keluarga Pierre menjauh darinya. Belum lagi, ia harus merelakan kampus impiannya di Surabaya dan memilih berkuliah di kampus swasta berjarak satu jam dari tempat tinggalnya tepatnya di sebuah kota yang dijuluki sebagai Kota Santri.

Kini, tepat di libur semester, Naina masih berada di kampus untuk mengurus pembayaran UKT sekaligus pemrograman kuliah. Setelah urusan di kampus selesai, gadis itu tidak langsung pulang ke rumah. Ia terlebih dahulu mengunjungi sebuah perpustakaan yang terletak di pusat kota.

Enam bulan bolak-balik ke kota tempat di mana presiden keempat Indonesia dimakamkan, membuat Naina menjadi anggota tetap perpustakaan terbesar di sana. Jika ada kesempatan saat mata kuliah sedang kosong atau dosen batal hadir, Naina memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca buku tentang Kapten Pierre Tendean di tempat nan sejuk itu.

“Tumben di sini? Bukannya sekarang Universitas Guru Bangsa lagi libur semester?”

Suara itu berasal dari seseorang yang satu bulanan ini menjadi member tetap perpustakaan. Seseorang yang mengingatkan Naina dengan sosok di masa lalu, setidaknya saat ia masih berada di akhir sekolah menengah atas.

Awalnya, Naina sempat mengira laki-laki yang tanpa permisi duduk di kursi sebelahnya ini sebagai orang yang lama dirindukannya. Tetapi setelah melihat gaya bicara dan penampilan laki-laki itu, Naina harus mengubur jauh-jauh pemikirannya.

“Oi, Mbak. Ada orang nih.”

Seperti biasa Naina tidak menjawab. Gadis itu hanya terdiam sambil membolak-balikkan halaman buku mengenai tragedi G30S.

“Nggak ada bosannya aku lihat. Udah hampir satu bulanan ini kamu baca buku itu mulu. Aku yang lihat aja bosan.”

Pemuda yang mengaku dirinya bernama Varen Syahreza itu kembali bersuara. Ia tampak merapikan rambutnya yang dipangkas dengan gaya Korea. Di hadapannya tampak sebuah buku novel terjemahan ber-genre romansa. Namun, novel tersebut sama sekali tidak dijamahnya. Laki-laki itu justru sibuk memperhatikan Naina seperti kebiasaan-kebiasaannya satu bulan terakhir.

“Tapi kalau ngomongin tentang tragedi G30S, aku cuma tau satu pahlawan revolusi sih. Yang ganteng dan kece itu. Siapa namanya? Kapten Tendean. Iya, Kapten Tendean. Namanya sama kayak jalan di mana aku bertugas.”

Naina berusaha fokus membaca bacaannya tanpa memedulikan laki-laki di sampingnya. Sudah satu bulanan laki-laki di sebelahnya itu bercerita mengenai dirinya yang bertugas di Jalan Kapten Tendean—sebuah jalan yang Naina lewati setiap berangkat dan pulang dari kampus—tanpa tahu apa pekerjaannya. Atau bahkan, Naina yang tidak memedulikannya sama sekali.

Varen masih terus berbicara. “Kapten Tendean itu harusnya dijadikan idola buat orang-orang, khususnya anak muda jaman sekarang. Sikap patriotisme Pierre itu patut dijadikan teladan apalagi pas dia ngaku sebagai Jenderal Nasution pas para penculik itu datang. Aku masih ingat dialog Wawan Wanisar meranin Kapten Pierre di film G30S pas bilang, ‘Saya Nasution’. Duh, merinding sekujur badan.”

Rindu Lukisan ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang