True love

51 9 1
                                    

Patah hati? Apa itu artinya patah hati? Jihoon tidak mengenal arti kata itu. Biarlah kemarin ia menerima sebuah penolakan dari gadis pujaan hatinya. Tapi tolong ingatkan dirinya untuk terus berusaha lebih lagi agar Ningning mau menerima, dan bisa membalas perasaannya.

Tidak ada kata mundur bagi Jihoon, semua akan ia lakukan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, tidak terkecuali dengan hati Ningning. Ya meski ia tau hubungannya dengan Ningning tidak sebaik itu, ia sadar seberapa buruk dirinya dimata Ningning. Tidak mudah memperbaiki hubungannya dengan Ningning, tapi Jihoon sangat berharap ia bahkan bisa dianggap lebih dari sekedar hubungan antar anggota organisasi.

Seperti saat ini, Jihoon sudah memulai pergerakannya. Ia berusaha untuk bangun lebih pagi dan bersiap dengan keberangkatannya ke Kampus lebih awal. Dengan segenap hatinya, mobil yang dikendarai Jihoon sudah terpantri melindasi jalanan area perumahan sang gadis yang menolak perasaannya kemarin. Ya, Jihoon berniat untuk lebih dulu menyambangi kediaman rumah Ningning agar bisa berangkat bersama.

"Di depan mobil siapa Pak?" Ningning bertanya pada pekerja kebersihan di rumah nya. Ia baru saja keluar dari rumah, berniat untuk pergi.

Si Bapak itu segera memutar tubuhnya mengikuti perkataan sang majikannya, "Loh tadi tidak ada mobil sama sekali di depan Non, sebentar saya tanya dulu"

Bergegas melangkahkan kaki dengan sedikit tergesa, Bapak pekerja kemudian melihat seorang laki-laki keluar dari mobil yang akan dihampirinya sekarang. Laki-laki muda yang usianya mungkin sebaya dengan nona majikannya. Jihoon sedikit menunduk menyapa begitu si Bapak itu membuka gerbang halaman rumah Ningning.

"Pagi Pak" sapa Jihoon dengan ramah.

"Pagi, maaf ada keperluan apa, sama siapa ya?"

Tapi sebelum menjawab, Jihoon seolah memperjelas penglihatannya, melihat Ningning yang tengah berdiri sembari memainkan ponsel di depan pintu rumahnya. Kemudian ulasan senyum pun terukir diwajah Jihoon dengan senang. Beruntung ia tidak terlambat, Ningning masih belum berangkat menuju kampusnya.

"Pak, saya mau jemput Ningning" Jihoon dengan sedikit percaya diri mengatakannya.

"Oh, baiklah. Saya akan panggilkan Nona"

Dengan wajah sumringah, Jihoon berharap dirinya bisa membuat awal hari Ningning menyenangkan dari biasanya. Jihoon berharap bisa memperbaiki hubungan mereka dengan perlahan.

Diliriknya sosok yang tengah menatap dirinya saat ini, Ningning terlihat membulatkan kedua matanya terkejut, tak pernah terlintas dipikirannya Jihoon akan datang ke rumahnya sepagi ini untuk menjemputnya.

"Kok lo tiba-tiba disini sih?" Seraya menghampiri Jihoon dengan raut wajah kebingungan.

"Morning?" senyuman mengembang sempurna menyambut Ningning, "Gue datang buat jemput lo"

"Dih, dalam rangka apa lo jemput gue?"

Jihoon sedikit merasa tertohok dengan respon Ningning. "Kok gitu sih lo ngomongnya? Mulai hari ini gue mau buktiin sama lo, kalo gue beneran serius suka sama lo Ning"

"Please deh jangan mulai, masih pagi tau gak?" Sahut Ningning sembari memutar bola matanya dengan kebiasaannya yang sudah menjadi khas dari gadis jutek satu ini.

"Terserah lo mau anggepnya gimana, tapi gue beneran pengen berangkat bareng. Kalo bisa seterusnya gue bakal jadi tukang anter jemput lo" Tangan Jihoon kini terulur membuka pintu mobil disamping kemudi. "—Ayo?"

Ningning terlihat menimang ajakan Jihoon saat ini, tapi mengingat Jihoon sudah bersusah payah bahkan jauh-jauh menyambangi rumah nya yang jaraknya lumayan jauh dari kampus itu, membuat Ningning kembali menggunakan hatinya agar setidaknya bisa menghargai usaha Jihoon sekarang. Ya meskipun ia masih belum bisa menerima perasaan Jihoon padanya dalam waktu dekat.

Ningning seolah belum bisa beradaptasi atas perasaan kesalnya setiap kali berinteraksi dengan Jihoon, tetapi kini harus melibatkan hati kecilnya untuk menerima perasaan manis pria itu tanpa ia duga sebelumnya.

"Yaudah kali ini aja gue berangkat bareng lo" Ningning akhirnya mendudukan diri bersebelahan dengan Jihoon yang akan mengemudikan mobilnya.

"Bisa kali jangan jutek-jutek terus mukanya" celetuk Jihoon saat mendapati raut wajah Ningning yang datar tanpa ekspresi.

"Gue gak mau dibawa mati sama lo ya, jangan ngebut kayak kemarin, ngerti?"

"Cie khawatir, gue bakalan hati-hati kok tenang aja"

"Pede banget lo, gue khawatirin diri sendiri"

Percayalah dua anak muda ini sepertinya sulit mengenali arti kata damai. Karena kenyataannya tak sedikit pun terlihat ada celah untuk mempersatukan mereka.

"Ji?" Ningning mengawali pembicaraan.

Jihoon yang sedang menyetir kini sekilas melirik Ningning disampingnya. "Kenapa?"

"Apa yang bikin lo suka sama gue?" Tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan depan, Ningning seolah berusaha untuk bersikap lebih serius dengan emosinya. Ia hanya ingin menyakinkan beberapa pertanyaan yang sedari hari kemarin terus memenuhi kepalanya.

"Gak ada"

"Lo cuma bercanda ya sama gue?" Kesal, Ningning sedikit menaikkan oktaf nada bicaranya.

"Bukan gitu, maksud gue emang gak ada hal yang spesifik dari lo yang bikin gue tiba-tiba suka sama lo—" Pandangan Jihoon beralih kepada sang empu, begitu lampu lalu lintas berubah merah.

"—Gak ada yang tiba-tiba, gue selalu yakinin perasaan gue tiap kali kita lagi bareng. Karena gue takut perasaan gue ini cuma sesaat. Tapi, entah hal ajaib apa yang lo punya itu bikin hidup gue lebih berwarna. Gue rasa lo emang ada buat gue, sebenci apapun lo sama gue. Dan itu udah dari awal gue di BEM" Kini Jihoon kembali menginjak pedal gas mobilnya.


Blushh...






Hari-hari PaJi | Jihoon • NingningOù les histoires vivent. Découvrez maintenant