17

1.2K 89 7
                                    

"Fourth..."

Dia berbalik, sangat sempurna dengan penampilan maskulin yang memukau. Mark dan Winny sampai pangling, terlebih saat seorang wanita cantik muncul melingkarkan tangan di lengan lelaki itu.

"Kalian cocok sekali, ngomong-ngomong" ujar Mark, matanya masih menilai.

"Humm... Terima kasih..." Sahutan riang dari gadis muda itu membuat mereka berdua mengangguk.

"Dimana temanmu yang satu itu?"

"Hah?"

"Gemini..." Ujar Prim, matanya mencari-cari dengan ekspresi tak suka "dia tidak datang kan?"

"Iya, dia sedang keluar provinsi"

"Ohh... Baguslah, tak ada pengacau malam ini"

Cahaya kerlap kerlip di atas langit gedung semakin terang, suara dentuman musik tak kalah meriahnya. Beberapa lelaki dan wanita berseragam nampak menjejalkan sebuah nampan yang berisi berbagai warna minuman, berhiaskan taburan mawar di atas tempat itu.

"Sampai jam berapa kalian akan bertahan?" Winny berteriak, berupaya agar ucapannya di dengar oleh sepasang kekasih itu.

"Tergantung saja, jika Prim sudah lelah, aku akan kembali"

"Kalian tidak mau menginap di kamar asrama kami malam ini? Kebetulan Gemini sedang tak ada"

Fourth menatap kekasihnya, gadis itu tak terlalu peduli. Nampak menunggu jawaban darinya juga, merasa bahwa Prim tak masalah, namun tetap saja tak enak membawa perempuan ke gedung asrama itu.

"Lain kali saja Winny..."

"Aww... Kalian harus menunggu kendaraan umum lagi, baiklah tapi hati-hati saat kembali..."

Anggukan kepala dari Fourth mengiyakan, pesta malam itu kembali menenggelamkan banyak jiwa dalam dentuman musik heboh. Malam dimana semua orang mengayun-ayunkan tubuh meliuk kanan dan kiri, mencari atensi membelai siapapun yang mereka rasa akan terbelenggu.

Hingga ber jam-jam, ketimbang sebelumnya. Kini banyak gadis sudah tumbang dalam pelukan orang lain, yang menghawatirkan bahkan beberapa dari mereka sudah keluar dari ruangan besar guna mencari tempat untuk menyelesaikan sesuatu yang lebih intim.

Ada ketidakpuasan dari acara ini, dan terkadang banyak mahasiswa merasa rugi jika pengadaan hal semacam ini meningkat jumlah lembar uang yang harus mereka bayar di tiap pergantian semester. Berfoya-foya hingga digunakan untuk membangun fasilitas tak berguna, ayolah bung, ini adalah surga bagi para penikmat jabatan di atas sana.

Bau asap rokok tak terhindarkan, aroma maskulin perpaduan manis di tengah-tengah acara makin menggiurkan. Fourth bisa melihat wajah letih kekasihnya di bawah cahaya ke ungu-unguan, pikiran nya masih rasional ketimbang gadis itu yang sudah bertengger manis memeluk tengkuknya.

Serangan lagi, dengan sigap Fourth melindungi gadis itu dari desakan lama para mahasiswa lain. "Apa kau baik-baik saja Prim?"

"Eughh...." Gadis itu mengangguk lemah "humm..."

"Ayo kembali, suasana semakin tak kondusif" sergahnya, dengan cepat mencoba membelah kerumunan dalam liang aroma tak sedap ditambah semerbak bau cairan aneh yang entah dari siapa.

Ini bukan pesta perayaan, lebih tepatnya Sex party. 

"Fourth... Aku belum mau pulang..."

"Tapi Prim, kau sudah mabuk..."

"Belum terlalu..."

.
.
.
.
.

Gemini tak pernah bisa tidur melihat suasana flat, sejak mengakhiri pertemuan dengan ayahnya kemarin rasa bersalah terus menghantui. Pemikiran-pemikiran jauh, membenam dalam sanubari yang utuh. Lagi, Malam-malam yang ia lalui di tempat itu tak pernah tenang.

Sering kali ia turun dari tempat tidur usang nya dan kembali naik disana saat pagi tiba, berharap bisa terlelap dalam halaman-halaman cerita yang selalu ia pikirkan. Atau kini, dalam kegelapan jalan luas di sekitar tempat tinggalnya. Sunyi senyap bertepatan dengan langkah cepat menyusuri trotoar, ia masih menggendong ransel yang sejak beberapa hari lalu setia menemaninya.

Malam ini lebih parah dari biasanya,  dia terus gelisah menuntun langkah dalam kegelapan meninggalkan flat Pukul sebelas malam. Setelah satu jam sampai di sebuah halte, dia memberanikan diri menghentikan taksi guna mengantarkan ke sebuah tempat.

Langit hitam pekat di tempat ini, selalu berbeda. Muram sekali, bayangan lelaki manis tiba-tiba muncul dalam benaknya. Taksi berhenti tepat didepan sebuah bangunan, tertutup.

Berbekalkan keberanian, dengan ransel hitam kusutnya Gemini berjalan mendekat bahkan saat cahaya senter menyilaukan pandangan, dia tak berhenti menyamai gerbang kokoh itu.

"Sudah tutup, tak ada kunjungan untuk jam segini"

"Bisa aku bertemu dengan sipir Armande?"

Kedua lelaki berpakaian lengkap itu saling menatap, kemudian mereka membuka sedikit celah gerbang mengizinkan lelaki muda itu masuk.

Bahkan saat sampai didalam sana, Gemini tak bingung. Dia berjalan masuk, menyusuri lorong kecil hingga masuk di sebuah ruangan. Lelaki paruh baya menyerngitkan dahi menyambut kedatangan itu, berdiri guna menepuk bahu Gemini.

"Kenapa kau datang larut begini?"

"Paman, aku ingin bertemu ayah..."

"Kau bisa menemuinya besok, Gem..."

"Aku akan kembali ke pusat kota setelah kami bertemu, aku melewatkan acara penting..."

Armande menatap wajah tampan itu dengan kasihan, akhirnya dengan setengah hati mengantarkan Gemini pada jalan-jalan aman di sepanjang jalur menuju jeruji besi. Tak butuh waktu lama, lelaki itu membukakan pintu keamanan di salah satu ruangan. Dan ajaibnya disana hanya ada sang ayah, sendirian menekuk tubuh berlindung dari udara dingin.

Gemini mendekat, setengah merangkak agar tak terlihat pada penjaga yang berpatroli. Matanya meneliti guratan wajah tua itu, sudah lama sejak ayahnya merasakan kebebasan.

Jemarinya bergetar, menarik telapak tangan sang ayah. Abu-abu hampir tak terlihat karena tertutup debu, bahkan kerutan wajah pria kesayangannya itu menjelaskan segala penderitaan. Gemini menangis, menahan isakannya agar tak lolos ia berbaring di salah satu sisi memeluk sang ayah dengan kuat.

"Maafkan aku..."

"Gem?" Wajah tua itu kaget, dan refleks melihat ke pintu berjaga-jaga mungkin apabila dia berhalusinasi "kenapa kau ada disini?"

"Aku merindukan mu..." Dia mengatakan kalimat pertama yang terpikir dalam otaknya.

"Nak, jangan kesini. Jika ingin menemui ku, dengan cara aman saja"

Tak akan ada kesempatan, tak akan pernah ada ruang. Dimana ia bisa menyentuh kulit keras, tulang yang hampir roboh menanggung penderitaan. Gemini menunduk, dalam duduknya tubuh tegap itu bergetar. "Wanita itu masih berkeliaran, mencari pengganti dari orang yang pernah ku habisi. Aku tak ingin menodai tanganku hanya untuk menghabisi banyak orang yang ia kencani—

—apa kau menyayangi ayahmu ini, Gem?"

Dia terpaku, tak sadar bahwa ucapannya terlampau sensitif bagi sang ayah.

"Ayah tak memiliki kesakitan apapun, bahkan jika dia mencoba bercinta dengan jutaan lelaki lain" perasaan itu telah mati, menjadi sisa-sisa kesakitan yang bahkan tak sudi menjelma jadi dendam "sekarang hanya kau nak, jangan pernah libatkan dirimu dengan kejahatan apapun. Ingat, kau bukan orang jahat"

Tapi ayahnya bohong, semakin cepat dia telah sadar bahwa dirinya membawa bencana. Bagaimana caranya menghabisi pria asing di flat kecil mereka, adalah memori yang tak mungkin salah. Lantas mengapa pria tua kesayangannya mengangkat tangan untuk bertanggung jawab?

"Kau tak akan pernah mati, bahkan sebelum wanita jalang itu mati lebih dulu. Biarkan aku menjanjikan ini..."

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow dan ninggalin jejak 💜🙏🏻😭

Unspoken For Love [Geminifourth]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang