Bab 19 - Memikirkan

100 7 0
                                    

Awan yang awalnya cerah berwarna putih, kini menjadi kelabu kala sang matahari menyembunyikan diri. Pagi hari ini mendung. Tak lama setelah ini, hujan datang membasahi tanah dibumi.

Arleto melamun sambil melihat ke luar jendela, melihat hujan deras berjatuhan yang berisik namun menenangkan. Mengingat keluarganya dulu, Arleto jadi ingin kembali ke Eleeroslandia. Namun, makin berjalan waktu, makin menipis uang yang Arleto punya. Tidak mungkin Arleto akan mengembara dari Ornero ini ke Eleeroslandia.

Helaan napas keluar dari hidung nya. Mata nya terpejam sesaat, tidak mungkin dia akan berhutang pada Virgo. Walau bisa ia ganti kembali, sih. Tapi Arleto juga sungkan untuk meminta tolong pada Virgo. Belum lagi besok jika sudah sampai ke Eleeroslandia, ia malah dimarahi karena telah meninggalkan Erion ditanah Tiuma.

"Hah ...!" Arleto menginginkan pie susu, perut nya sudah keroncongan. "Sejak kapan aku jadi maniak pie susu begini?" heran Arleto kemudian, beranjak dari duduk nya untuk mengganti pakaian. Hujan-hujan begini dia malah berinisiatif untuk membeli pie susu.

Setelah mengganti baju, Arleto membuka pintu kamar nya, menguncinya kembali dan pergi bergitu saja ke pasar kota. Padahal hujan-hujan begini juga belum tentu penjual pie susu akan berjualan.

Saat keluar dari penginapan, Arleto diam di bawah hujan yang mengguyur nya. Ah, mungkin dia ingin bermain hujan. Arleto mendongakkan kepala nya, menatap langit mendung yang menangis. Sekali lagi ia menghela napas. Berjalan pelan untuk ke pasar kota dengan kepala yang menunduk.

Saat di tengah perjalanan ke pasar kota, Arleto menemukan sekumpulan anak kecil yang bermain hujan. Saling menyemburkan air hujan yang sudah bercampur dengan tanah. Arleto berhenti sejenak untuk melihat anak-anak itu, mengingat dikehidupan sebelumnya sebelum menjadi Florencia ia juga suka mandi sambil bermain riang dibawah tangisan langit yang pucat.

Salah satu anak di sana melihat keberadaan Arleto yang melamun melihati mereka. Anak itu melambai dan mendekati Arleto.

"Kakak yang di sana!" seru bocah itu membuat lamunan Arleto seketika buyar.

"Aku?" beo Arleto.

"Ayo mandi hujan bersama kami!" ajak anak yang menghampirinya dengan raut wajah gembira.

Arleto menggeleng, "Kalian mandi hujan sendiri saja, aku ingin ke pasar kota." ujar Arleto lalu pergi begitu saja.

"Heh? Dingin sekali.. Lagipula disaat begini apa dipasar akan ada yang berjualan?" gumam anak itu.

Langkah demi langkah Arleto tempuh untuk datang ke pasar kota, mencari pie susu kesukaannya. Tanpa sadar, ada seseorang yang sedang memantau nya.

Ah, sayang nya toko itu sedang tidak buka. Arleto hanya bisa menghela napas. Padahal sudah sampai hujan-hujanan ia kemari, eh, malah tidak buka. Yasudah lah, Arleto membalikkan badannya dan akan segera kembali ke penginapan.

Saat kembali tentu saja Arleto juga akan menjumpai lagi tempat anak-anak yang sedang bermain hujan tadi. Tapi saat itu, Arleto sudah tidak menemukan satu sosok anak kecil. Tetapi, itu bukan masalah bagi Arleto. Arleto hanya berpikir bahwa bocah-bocah tadi disuruh ibu mereka pulang dan dihajar habis-habisan karena bermain hujan. Arleto membayangkannya.

Hujan makin waktu makin deras, saking deras nya kini sudah tidak ada yang menenangkan. Padahal Arleto belum sampai di penginapan, tapi petir sudah menyambar saat Arleto beridir ditengah jalan.

Seketika tubuh Arleto terdiam kaku. Suara guntur tadi membuatnya terkejut. Untung tidak menyambar dirinya, jika sampai begitu tamat lah riwayat hidup nya.

"Jadi takut pulang.." gumam nya sambil berjalan ke penginapan lagi.

Sesampainya di penginapan, Arleto melepas jubah yang menutupi tubuh nya. Meletakkannya ditempat jemuran dalam ruangan. Berharap setelahnya bisa langsung kering walau sudah hujan.

Saat hampir sampai dikamar nya, Arleto dipanggil oleh nenek-nenek tua. Alhasil Arleto menghentikan langkah nya. Melirik ke belakang kemudian, membalikkan badannya. Dilihatnya nenek-nenek itu berkaki tiga itu.

"Anak muda," panggil nya. "Sepertinya kau sedang menggunakan sihir pengubah fisik, ya?" tanya nenek itu.

Arleto mengerutkan dahinya. Bagaimana bisa nenek ini tahu? Sebisa mungkin Arleto mengatur raut wajah nya menjadi tenang. "Tidak." jawab nya, "Anda salah orang. Saya bukan orang yang dapat menggunakan sihir." sahut Arleto.

"Saya ingin mendapat uang."

"Perlu saya memberikan anda uang?"

Nenek itu menggeleng, mendekati Arleto kemudian menatap nya dalam. "Florencia.. Fraye." dua kata yang mampu membuat Arleto membelakkan kedua mata nya. "Aku orang pintar, para prajurit yang sedang berkeliaran ke mari menyuruhku untuk mencarimu dengan sihir pelacak. Mereka mempertaruhkan uang untuk itu." ungkap sang nenek.

Arleto terdiam sejenak, "Berapa banyak uang yang akan mereka beri jika nenek bisa menangkap ku?" Arleto menyilangkan lengannya.

Sang nenek pun terdiam pula, ia belum diberi tahu berapa jumlah uang yang akan diberikan padanya. Mereka hanya berkata bahwa uang itu berjumlah besar. "Entah, intinya mereka akan memberinya dengan jumlah yang besar." balas nya. "Bahkan kau pun tidak bisa menandinginya."

"Tentu saja, aku bukan lagi putri duke Edzard." Arleto berkata. "Aku, Arleto." sahut Arleto kemudian membalikkan badannya. Tidak ingin berlama-lama dengan orang tua itu.

"Jangan sombong begitu saja hanya karena penjaga sihir mu sangat kuat."

Arleto tidak mendengarkannya. Ia terus berjalan tanpa menengok ke belakang. Perasaannya sedang buruk, ingin tersenyum sedikit pun rasanya enggan.

-oOo-

Kadang Arleto berpikir, apa benar dia akan kembali ke kediaman adipati Fraye?

Ah, dia sudah merindukan suasana di sana. Tapi dia juga malas kembali. Belum lagi tugas nya di academy yang akan menumpuk.

Dan juga, jika kembali tanpa membawa Erion, apa kata Edzard dan Diana nanti?

Itu bisa saja membuat mereka sedih.

Sekarang Arleto harus apa?

Mencari Erion?

"Ibunda.. Ayahanda.. Kakanda.. aku merindukan memanggil kalian dengan sebutan itu ...."

"Florencia. Aku juga rindu kalian memanggil ku begitu,"

"Aku harap Erion masih hidup dan sedang mencariku ...." lesu nya berharap besar.

-oOo-

slwup, maaf.

Aku Menjadi si Antagonis di Sebuah Novel!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora