Hujan dan Diari Hitam

17 4 0
                                    

Putri, gadis kecil yang menanggung luka, gadis yang kehilangan masa kecilnya. Keadaan membuat Putri tak ingin berada di keramaian. Putri menatap langit yang perlahan mengeluarkan tangisannya, ingin sekali bermain di bawahnya. Menatap hujan di sore hari membuat Putri teringat kenangan yang pernah diciptakan bersama sang ayah. Momen di mana Bahri ayah Putri yang memanjakan anak gadisnya, tapi itu hanya kenangan yang mungkin sudah dilupakannya.

Putri ingin menangis mengingatnya, sudah lama ia tak bersenda gurau dengan ayahnya. Kini hanya diari hitam yang selalu menemaninya seorang diri, tak ada orang yang mau berteman dengan dirinya kecuali, Nisa. Hanya Nisa yang selalu sabar menghadapi sikap Putri yang berubah-ubah.

Menatap diari usang yang tak pernah Putri ganti, bergulir mengikuti melodi jari untuk menulis luka baru yang telah kembali. Perlahan Putri menulis apa yang tak bisa ia utarakan lewat lisan, hanya tulisan yang bisa ia lakukan untuk dirinya sendiri.

"Dear, Ayah.

Aku tahu, ayah memang bukan tercipta hanya untukku saja. Tapi, izinkan hanya aku yang engkau dekap, ayah. Aku tak rela jika ayah jatuh pada pelukan wanita lain. Ayah, anakmu ini perempuan, telah dewasa sebelum waktunya. Ayah, aku hanya ingin bilang jangan pernah permainkan perasaan seorang perempuan, ayah. Aku tak ingin karma yang seharusnya ayah tuai akan berujung padaku. Ayah, engkau adalah cinta pertamaku, tapi kenapa ayah memberiku luka pertama yang begitu dalam.

Ayah, mungkin aku tak sesabar ibu, tapi kesabaranku untuk ayah telah hilang bersama ayah memberiku luka bertubi-tubi. Ayah, aku ingin egois. Aku ingin ayah selalu berada di sampingku setiap saat, tapi apakah ayah bisa mengabulkan permintaanku sama seperti dahulu sewaktu aku kecil. Apa yang kurang dari keluarga kita ayah? Apa yang membuat ayah menambah luka untukku dan ibu? Mungkinkan ayah sudah tak sayang lagi pada kita? Aku takut ayah, dengan ayah seperti ini sama saja membuatku trauma pada laki-laki."

Putri kembali menutup diari yang telah ia goreskan tinta penuh luka. Andaikan apa yang ia inginkan terkabul dengan cepat, mungkin Bahri sang ayah tak akan berbuat seperti ini. Langit gelap disertai hujan lebat tak membuat Putri menjauh dari jendela kamarnya, angin berembus kencang memasuki jendela kamarnya. Namun, barang sejenak tak membuat Putri melangkah pergi.

"Aku hanya ingin kesendirian dalam keramaian, tapi aku ingin keramaian dalam kesunyian." Entah apa yang Putri ucapkan kala angin berembus kencang pada saat itu.

Bunyi suara ketukan pintu terdengar dari luar, membuat Putri menoleh sejenak pada pintu itu. Entah siapa yang berada dibalik pintu itu, ia tak ingin bertemu dengan siapa-siapa untuk saat ini. Putri masih ingin menikmati kesendirian, walaupun ia butuh teman saat ini.

"Putri, ini ibu pintunya di buka, ya, ibu mau masuk dulu," suara ibu dari balik pintu membuatku beranjak dari jendela yang membuatku termenung memikirkan segala masalah yang baru tercipta.

Putri melangkah dengan gontai, tak terlihat semangat seperti sediakala. Pintu coklat kini terbuka lebar terpampang wanita yang sabar dan penyayang ia adalah ibu.

"Ada apa ibu?" ucap Putri kala ia berdiri di hadapan wanita yang telah melahirkan dan merawatnya.

"Enggak, biasanya Putri kalau hujan begini suka di luar, tapi ibu lihat Putri ternyata di kamar. Ada apa, sayang? Ada yang mengganggu pikiran gadis kecil ibu, ini ya?" suara lembut penuh kasih sayang keluar dari mulut Erna ibu Putri. Feeling seorang ibu memang kuat untuk anaknya, bahkan belum sempat Putri utarakan kini sudah ditanyakan oleh sang ibu.

Putri kembali menatap mata Erna, tak bisa diragukan lagi feeling seorang ibu memang kuat untuk anaknya. Putri tak kuasa untuk mengakhiri permainan ini semua. Semua ini semakin membuat Putri sesak di dada kala mata maniknya menatap sang ibu untuk sekian kalinya.

[NITIKARYA] Sepercik Luka Dari Ayah : Deby MaulidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang