Cinta Pertama yang Tunduk

5 2 0
                                    

"Secara batin aku terluka, secara emosi aku kacau, secara mental aku depresi, secara fisik aku tersenyum."
Putri Lestari

Sore ini Putri baru selesai mengerjakan tugas bersama, tugas yang menguras otak. Ia lelah hari ini, banyak hal yang terjadi padanya, ia muak untuk pulang hari ini. Tapi, jika ia tak pulang, ia takut ibunya khawatir kepadanya. Setelah semua selesai ia berpamit dahulu pada Nisa, ia tak bisa berlama-lama di sini. Putri ingin langsung merebahkan badannya yang telah remuk ini.

Rumahnya sudah tak seperti dahulu, ia selalu mengurung diri di kamar saat sudah pulang. Ini bukan rumah yang Putri mau, Putri menginginkan rumah sederhana yang di dalamnya mengandung harmonis keluarga. Tapi, ini semua hanya angan yang tak bisa tersampaikan. Menatap jalanan yang padat di sore hari membuatku merasa tenang sejenak.

Ia ingin di sore ini menikmati deburan ombak yang menghantam tanah kerinduan, menunggu senja yang perlahan mulai berdatangan, duduk di atas pasir basah memain-mainkan pasir. Ia merindukan momen terakhir di pantai, bergandengan tangan menuju ombak lalu berlari sekencang mungkin saat ombak mulai berdatangan. Ia ingin teriak lepas sepuasnya di pantai, menikmati kesendirian yang tenang tanpa hadirnya orang lain.

Sampainya di rumah, Putri memutuskan untuk istirahat. Ia terlalu lelah menghadapi kenyataan ini, tak lama terdengar dengkuran halus, saking lelahnya ia sampai tak ganti baju masih memakai seragam SMA kebanggaannya. Ketukan pintu sudah tak terdengar di telinganya, Putri sudah masuk ke alam mimpinya, pintu dibuka dari luar menampakkan raut ibu yang khawatir pada anaknya.

"Ternyata lagi tidur, mungkin lelah sehabis sekolah," gumaman ibunya setelah membuka pintu kamar Putri.

Tak berselang lama dengan Erna ibunya Putri menutup pintu kamar anaknya, terdengar suara laki-laki yang tak lain adalah suaminya, Bahri.

"Tumben pulang cepat, Mas?" tanya Erna pada suaminya yang sudah saling berhadapan, melihat wajah Erna istrinya Bahri semakin merasa bersalah. Ia khilaf melakukannya, ia tak sadar telah mengkhianati pernikahan sucinya.

"Dik, aku minta maaf ya," balasan dari Bahri suaminya membuat Erna kebingungan, ia merasa Bahri tak ada salah padanya lalu mengapa ia meminta maaf.

"Minta maaf buat apa, mas? Mas, enggak ada salah apa-apa." Ucapan Erna membuat ia semakin bersalah, ia tak bisa menjawabnya, ia tak ingin kehilangan dua orang tersayangnya. Menghiraukan Erna, kini Bahri melangkah menuju kamarnya. Bahri harus menyelesaikan semua masalah ini bersama anaknya.

***

Malam telah tiba, gemerlap bulan dan bintang menyinari malam yang gelap ini. Putri melangkahkan kaki keluar dari kamar, bayi kecilnya di dalam perut sudah meronta-ronta meminta makanan. Ia lapar, sepulang sekolah ia langsung tidur rasanya hari ini sangat melelahkan. Terpaku pada sosok ayah, yang saat ini menatapnya, Putri pura-pura tak tahu ia tak ingin berbicara padanya. Ia muak melihat wajah tak berdosanya.

Bahri menatap anak gadisnya, ia telah kehilangan Putri, ia tahu bahwasanya Putri berusaha menghindar. Ia gagal menjadi sosok ayah dan suami untuk keluarganya, bahkan ia masih mempunyai wajah untuk bertemu dengan anaknya. Bahri ingin meminta maaf padanya, ia tak akan mengulang ini kembali.

Melihat Putri yang semakin dewasa membuat ia merasakan nyeri pada hatinya, ia telah gagal mendidiknya, yang hanya bisa ia beri adalah trauma. Ia membuatnya trauma, meyakinkan bahwa semua laki-laki bajingan bermuka dua. Mungkin kejadian ini semakin membuat ia dan Putri canggung, anak perempuan dan ayah tak lagi bertukar pikiran masing-masing.

"Putri, ayah ingin bicara, bisa temui ayah setelah makan malam selesai?" pintanya kepada Putri, Putri tak menjawab iya ataupun tidak. Ia terlalu malas berhadapan dengan pria yang tak menghargai perempuan.

"Putri, ayah lagi bicara sama Putri loh, masa enggak dijawab sama Putri," suara sahutan dari ibu kini terdengar oleh telinganya. Putri hanya mengangguk mengiyakan permintaan ayahnya, sembari menikmati makan malam yang terasa hambar di lidahnya.

"Lagi ada masalah mas, kok kalian kelihatan lagi jaga jarak gitu, Putri ini ayah Putri loh, enggak boleh kayak gitu sama ayah," mungkin feeling seorang ibu begitu kuat, nyatanya Putri belum membicarakan masalahnya dengan sang ayah, ibu sudah mulai curiga.

"Ih, apa sih ibu. Aku lagi enggak ada masalah apa-apa sama ayah, aku lagi badmood bu, makanya aku kelihatan kayak orang kesal,"

Makan malam yang penuh dengan rasa penasaran ibu kini telah usai, semua telah selesai kini tinggal membereskan piring kotor dan meja yang baru saja di tempati makan. Putri membantu ibunya terlebih dahulu, ia ingin berlama-lama di sini. Ia malas untuk bertemu dan bicara dengan ayahnya. Sifat Putri yang keras kepala menurun dari ayahnya, batu bertemu dengan batu tak akan menyelesaikan masalah.

Memainkan ego yang tinggi adalah Putri, ia tak akan pernah merasa kalah. Ia terlaku terpaku pada satu masalah dan semua yang ingin berdiri tegap di sampingnya tak bisa. Putri membuat perisai pertahanan diri, ia tak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Belaian ibu membuat Putri sadar bahwa ia harus segera menemui sang ayah.

Malam ini di temani oleh secangkir kopi hitam tak membuat nyali Bahri menghilang, ia bertekad untuk menyelesaikan masalahnya. Derap langkah mulai terdengar di telinga Bahri, ia tersenyum melihat anaknya menemui dirinya. Ia segera membalikkan badannya dan memegang tangan anaknya. Tangan mungil yang dulu sering ia cium kini sudah mulai besar dan kasar.

Rambut yang semula pendek kini berubah panjang, banyak momen yang ia tinggalkan bersama anaknya. Kini anaknya tekah tumbuh dewasa, telah menjadi perempuan mandiri. Menatap sorot matanya yang terlihat api kekecewaan membuat Bahri tak kuasa melihatnya.

"Putri sayang, ayah minta maaf ya, kemarin itu ayah khilaf sayang. Ayah bukan bermaksud menduakan ibu, tapi keadaan yang memaksa ayah melakukannya," tanpa sadar oleh ucapannya itu semakin membuat Putri kecewa.

Membelai rambut Putri dengan lembut, Bahri kembali melanjutkan ucapan yang sempat terpotong olehnya sendiri.

"Ayah tahu, ayah salah. Tapi, Putri ayah tak ingin kehilangan anak perempuan ayah satu-satunya. Izinkan ayah memperbaiki semuanya ya, Put. Ayah janji enggak akan mengulang kembali, Putri bisa pegang ucapan ayah," lanjutnya.

"Ayah, sekali selingkuh akan tetap terus selingkuh. Meski ayah telah meminta maaf, ayah bisa kembali mengulang perselingkuhan ini, aku tahu semua pikiran laki-laki hanya nafsu, meskipun aku telah memaafkan ayah tapi aku tak bisa sedekat dulu lagi dengan ayah," balasan Putri membuat hati kecil Bahri sakit, ia tak tahu bahwa anaknya bisa berpikiran seperti itu. Ia tekah dewasa sebelum waktunya.

[NITIKARYA] Sepercik Luka Dari Ayah : Deby MaulidaWhere stories live. Discover now