Pertemuan Tak di Sengaja

10 3 0
                                    

Mentari tampak dengan malu-malu, sinarnya masuk melalui celah-celah jendela kamar Putri. Ia menggeliat, membuka mata perlahan-lahan menyesuaikan sinar yang masuk melalu celah jendela kamarnya. Pagi menyambutnya, Putri segera beranjak merapikan tempat tidur, saat ini moodnya sedang baik. Semalam adalah malam terburuk yang ia hadapi, penuh dengan tangisan dan luka yang menusuk dada. Putri hanya bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan melalui aksara yang tertulis rapi dalam diari hitamnya. Diari hitam yang menjadi saksi atas hidup Putri. Tak ada teman yang ia percayai untuk menceritakan hidupnya yang penuh kepalsuan ini.

Memasuki kamar mandi untuk ia bersiap-siap menuju sekolah. Tak ada yang spesial di hidupnya, tak ada suara ibu membangunkan tidurnya. Terbiasa mandiri sejak kecil membuat ia tak lagi mendengar suara ribut di pagi hari. Hari ini, ia kembali semangat dalam menjalani sekolahnya. Putri bahkan melewati sarapan paginya. Ia terlalu malas sekadar bertatap pandang dengan orang rumah. Ia, tak ingin semangat paginya kembali rusak karena melihat sosoknya. Baginya ia harus segera pergi dari rumah ini, rumah penuh dengan luka.

Putri segera menaiki sepeda motornya untuk pergi ke sekolahnya. Bertemu dengan teman-temannya membuat ia bertambah semangat, meskipun ia sendiri tak terlalu terbuka. Bertemu dengan beberapa pedagang kaki lima yang ia temui di jalan adalah rutinitas setiap paginya. SMA Negeri 1 Muncar, SMA yang menampung Putri dan mengantarkan ia pada luka hati sesungguhnya.

Gerbang sekolah baru saja di buka, Putri terlalu pagi berangkat sekolah. Berjalan diiringi dengan menuntun sepeda adalah langkah awal untuk menuju tempat parkir sekolah, semua harus mengikuti perintah dari kepala sekolah untuk mendisiplinkan anak muridnya salah satu dengan menuntun sepeda dari gerbang masuk hingga tempat parkir. Semilir angin berembus membuat rambut Putri berantakan, satu kata untuk pagi ini adalah sepi. Semua orang masih memejamkan mata tak ada yang berani berangkat pagi seperti dirinya.

Menikmati semilir angin berembus Putri memutuskan untuk pergi ke taman belakang, taman yang jarang sekali dipijak oleh siswa-siswi. Taman yang indah, cocok untuk menenangkan diri dari berbagai masalah. Sepi yang Putri inginkan, dan tempat ini cocok untuknya. Menduduki bangku di bawah pohon mangga yang terlihat rimbun sekali, dengan mangga yang memanggil-memanggil untuk dimiliki.

Putri perlahan-lahan memejamkan mata mengikuti melodi yang menari-nari, kesendirian yang selalu ia harapkan. Dengan musik yang diputar mengalun indah bersamaan dengan runtuhnya hujan, hujan yang bukan dari langit melainkan dari mata yang turun membasahi pipi.

Putri mengingat kembali kenyataan pahit yang baru saja ia dapati, ia tak mampu bertahan, rasanya dada ini seperti ditusuk jarum bertubi-tubi, mengalir semakin deras hujan ciptaan Putri. Kembali mengingat apa yang ia hadapi. Di taman itu Putri tak hanya sendiri melainkan ada sosok laki-laki bernama Ilham yang sudah lebih dulu berada di taman. Ilham mendengar tangisan itu, isak tangis yang tak berhenti-henti. Tak ada suara tangisan, semua terdengar pilu di telinga Ilham. Ia ingin merengkuh perempuan itu, perempuan yang selalu menguatkan dirinya sendiri.

Perempuan dengan mata yang setiap hari berkaca-kaca, masalah apa yang sedang ia hadapi sekarang. Ilham ingin membantunya, ia tahu perempuan itu tak sekuat yang orang lain lihat. Senyumnya memang selalu ia perlihatkan seolah-olah ia sedang baik-baik saja, tapi ia lupa dengan matanya. Matanya selalu berbanding terbalik dengan senyum manisnya, Ilham melihatnya semua yang perempuan itu lakukan Ilham mengetahuinya. Ilham selalu memerhatikannya lewat jauh, ia ingin tahu sampai mana ia bisa bertahan.

Sepanjang melihatnya Ilham bergumam yang tak terdengar oleh Putri. "Masalah apa yang sedang kamu hadapi, sampai kamu menangis seperti ini."

Dengan raut tak bersalahnya Ilham melangkah tegap untuk menemui Putri, ia tak tega melihatnya. Senyuman yang selalu ia lihat berganti dengan isak tangis yang pilu. Ilham duduk di samping Putri, tangisan yang ia dengar tadi semakin menjadi. Perlahan ia memegang pundak Putri, tangannya perlahan menyenderkan kepala Putri pada bahunya. Putri tersentak kaget, ia membuka perlahan matanya, siapa yang berani mengganggunya pagi ini.

[NITIKARYA] Sepercik Luka Dari Ayah : Deby MaulidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang