dangdut

347 26 2
                                    

Itu adalah sore hari. Ketika Gempa menarik semua baju kering hasil jerih payahnya mencuci di pagi hari. Suara burung baik yang sedang terbang atau hinggap di pepohonan mengisi pendengaran Gempa. Langkah tapak kaki kecil anak-anak desa yang berlarian di lapangan belakang rumahnya. Jeritan mereka seperti sedang dalam arena taman bermain yang menyenangkan. Seperti sedang dikejar setan.

Dan jangan lupa suara membahana kakak keduanya yang tengah menyetel musik dangdut dari negara tetangga.

"SEPERTI MATI LAMPU YA SAYANG~ SEPERTI MATI LAMPUUU~"

"CINTAKU PADAMU YA SAYANG, BAGAI MALAM TIAAADAA BERLALU~"

Yah, seperti itu sore hari yang Gempa alami saat ini.

"Kak Taufan, nyanyinya yang merdu dikit donk!!" Gempa berjalan masuk sambil membawa tumpukan kain baju di tangannya. Nampaknya tidak kerepotan padahal wajahnya saja hanya kelihatan setengah.

"Gemm... Ini tuh udah lebih mending dari kemaren. Katamu kayak panci diseret keliling kampung," ujar Taufan sembari cemberut.

"Iya, sekarang mirip tikus kejepit ban truk."

"ITU NAMANYA MATI! BUKAN NYANYI LAGI!"

"Aduh kupingku. Besok kayaknya aku mau ke dokter THT aja deh takutnya ada masalah, fuh," Gempa mengorek telinganya dengan tangan yang tidak memegang tumpukan baju dan meniup jari tengahnya setelah itu. Jari tengah itu diarahkan pada Taufan. Dengan sengaja.

"Punya adek satu kok durhaka amat sih Ya Allah. Hamba-Mu ini padahal anak yang baik dan rajin menabung lho," kata Taufan sambil mengatupkan kedua tangannya. Sangat mendramatisir suasana.

Sementara Gempa melanjutkan mengorek lubang telinga dan pergi dari depan Taufan. Wajahnya jengah melihat tingkah kakak keduanya yang makin hari makin tidak biasa.

Lagu "Seperti Mati Lampu" masih disetel. Kali ini sepertinya Taufan mengaturnya dengan sangat baik sampai batas maksimal volume dan terdengar ke penjuru rumah.

"SEPERTI MATI LAMPUUU!!!!"

Agak kasihan juga mendengar suara penyanyi asli yang disetel dalam volume tertinggi. Gempa jadi salah fokus karena berpikir orang itu nyanyi sambil tahan buang hajat. Aduh, kacau.

Sementara itu di dapur ada kakak tertua mereka tercinta yang sedang gegana, alias gelisah galau tapi tidak sampai merana. Pose berpikirnya dipasang. Yang, ugh, penulis saja membayangkan sudah fangirl duluan.

Intinya mode kali ini sudah sangat rupawan. Heran. Padahal mereka kembar. Tapi sepertinya Abang Halilintar ini rakus sekali ketika pembagian ketampanan jadi pesona wajahnya lebih menonjol dari kedua adiknya dan tumpah semua. Lihat saja. Berfikir tentang mau masak apa saja sudah tampan.

"Enaknya cabainya lima puluh apa seratus ya?" gumam Halilintar.

Lebih baik jangan melihat orang dari tampangnya saja. Begitu-begitu Halilintar adalah penggemar makanan pedas nomor satu sejagad angkasa. Kata Taufan sih.

Pada akhirnya makan malam hari itu berakhir dengan Taufan dan Gempa yang saling lomba lari ke toilet duluan. Bahkan ketika Taufan yang menang lomba lari, pintu toilet itu kini dalam kondisi diujung tanduk engselnya karena diperebutkan oleh dua remaja bongsor menginjak dewasa dengan tenaga besar hasil makan masakan spesial kakak mereka.

Digedor-gedor dari pintunya dari luar oleh inisial Gempa.

"GEM GEM GEMMM INI BAKAL COPOT LHO COOOPPOTT, EH COPOT COPOT!!"

"GAK GAK GAK GAK BAKAL COPOT KALAU KAK TAUFAN KELUAR SEKARANG JUGA!!!"

"SINTING! KAU PIKIR AKU BAKAL MENGUMBAR ITUKU!! AKU MASIH PROSES NGEDEN!!"

"TIDAK ADA PEREMPUAN DI RUMAH INI DAN AKU SUDAH MELIHAT ITUMU SEJAK DARI KECIL!"

"GEM! KATA-KATAMU BIKIN PEMBACA SALAH PAHAMMM!!!"

"GAK PEDULI!! GAK PEDULI!! CEPETAN KELUAR ugh YA ALLAH INI UDAH MAU KELUAR KAKKKK!!!"

"SABAR!!! SABARRR BIAAAARIINNN AKUUU BERAAAKKK DEENGGANNN LANCAAAARRR!!!"

"KAK TAUFAANN!!!"

"GEMPAAA DIEEEMMM NANGGUUUNGGG!!!!"

"CEPEETAAAANNNN!!!"

"Heran, mau ee' aja riuh satu rumah," Halilintar yang tanpa rasa bersalah mendelik ke arah pintu ruang tamu. Niatnya sih mendelik ke kedua adiknya tapi jauh.

"Ngomong-ngomong tadi emang kepedesan sih ya. Dua ratus sih."

Besoknya Gempa menjual semua pasokan cabai mereka.

[Kumpulan] Trio OriWhere stories live. Discover now