98

171 28 0
                                    

Taufan mengikat sepatunya. Gempa di belakangnya menatap ragu. Ada bisu pekat di antara mereka.

"Kak Taufan yakin?"

"Yakin, Gem. Nitip salam ke Kak Hali ya. Hehe, masih berantem soalnya," ujar Taufan dengan senyumnya.

"Kak, bahaya lho ini. Nanti kalau Kakak..."

"Gak papa, Gem. Kakak bisa jaga diri. Doain 'aja ya."

Taufan menatap sang adik masih dengan senyum sendu. Gempa meremat ujung bajunya, tanda bimbang dan segenap keraguan.

"Gini aja deh, kalau Kakak pulang nanti, kamu masakin opor. Gimana?"

Gempa terkekeh singkat. Taufan tersenyum senang.

"Nah gitu dong. Senyum. Kalau gitu Kakak berangkat dulu ya. Udah ditungguin temen juga," Taufan mengacak sedikit kepala Gempa. Anak kelas dua SMA itu hanya bisa menatap kakaknya masih dengan tatapan yang sama.

"Kak Taufan janji pulang ya? Jangan...jangan telat," Gempa memeluk Taufan tanpa aba-aba.

Taufan sedikit terkejut. Dia membalas pelukan Gempa dengan erat.

"Iya. Kakak pasti pulang. Kamu hati-hati ya. Kakak pergi dulu."

Gempa mengantar kakaknya sampai di depan rumah. Sampai di depan pagar. Sampai punggung kakaknya tak terlihat lagi. Dia berdoa setulus mungkin agar kakaknya benar-benar bisa pulang selamat dan tanpa luka apapun seperti yang sudah terjadi. Kasus penculikan, kasus kekerasan yang marak di televisi dan surat kabar membuat Gempa tercekat. Kakaknya itu memang mahasiswa aktif yang keras kepala. Dia dan rekan-rekannya aktif dalam mengkritik pemerintah.

Gempa khawatir. Khawatir kalau nasib kakaknya tak sebaik itu. Sekuat apapun dia berusaha menyingkirkan pikiran buruk, mereka selalu singgah.

Halilintar, si sulung, yang sudah bekerja itu, kini tengah marah karena pilihan Taufan yang nekat. Pagi buta si kakak sudah berangkat ke bengkel tanpa berpamitan. Meninggalkan Gempa, dan juga menghindari Taufan yang kemarin sudah beradu argumen.
Gempa kembali berdoa, agar Taufan bisa pulang dan berbaikan dengan Halilintar.

Tapi sepertinya semesta bergerak sesuai perkiraan paling buruk Gempa.

Taufan tidak pulang.

Tidak pernah kembali dan makan opornya.

Tidak pernah membuka pintu rumah kembali dengan kabar baik tentang lengsernya pemerintahan yang mereka perjuangkan.

Melewatkan serangkaian peristiwa yang memporak-porandakan tanah air.

Tidak pernah terdengar kabarnya walau hanya sekilas angin.

Tak pernah kembali.

Tak pernah kembali.

Jadi Gempa bertanya-tanya dalam dirinya.

Apakah opor yang dia masak setiap minggu ini akan dimakan oleh pemesannya?

Apakah kursi ketiga di meja makan mereka itu akan segera terisi oleh si empunya?

Kapan kamar yang biasanya berisik karena suara pemiliknya itu akan terisi kembali?

Kapan?

Kapan...?

...kapan?

Harusnya Gempa lebih erat saat memeluk Taufan terakhir kali. Harusnya Gempa setegas Halilintar untuk mencegah Taufan berangkat orasi. Harusnya Gempa lebih, lebih, lebih lagi dalam segala hal untuk mencegah kakaknya pergi hari itu.

Tapi apa daya dari Gempa? Yang dia tahu kakaknya tak kira rimbanya sekarang. Yang dia paham kakaknya menghilang seperti debu angkasa. Tak berjejak. Tak berkabar. Tak juga kembali bahkan jika pun hanya mayatnya saja.

Kakak kemana?

Mungkin karena inilah dia masih saja menyediakan piring ketiga di meja makan mereka. Mungkin karena inilah dia masih membersihkan kamar Taufan. Mungkin karena itulah juga dia ikut dalam orasi protes mingguan.

Banner yang tak pernah diperbaiki. Orang-orang yang hanya itu-itu saja. Wajah tersangka yang dia sudah muak untuk membawanya. Tapi Gempa tidak akan pernah muak untuk menunggu Taufan di depan pintu rumah mereka.
Mungkin di suatu hari, kakaknya itu akan tersenyum padanya dan bilang kalau dia lupa jalan pulang. Mungkin di suatu hari, kakaknya akan kembali pada mereka.

Mungkin suatu hari...

[Kumpulan] Trio OriWhere stories live. Discover now