sins

201 27 3
                                    

Halilintar melihat adik bungsunya dengan muka yang datar. Sudah setengah jam dia berdiri di sana. Dan sudah tiga jam adiknya itu duduk di depan rumah.

Halilintar tahu apa yang adiknya lakukan. Ini sudah minggu ketiga. Dan mereka dilanda duka tanpa kata.
Taufan, tidak kembali sejak terakhir mereka bertengkar.

.

Mungkin, jika Halilintar menurunkan egonya, dia akan bisa mencegah adik pertamanya itu pergi dari rumah. Halilintar paham, walau tidak sepintar adiknya, kalau masalah yang diperjuangkan Taufan itu sangat krusial. Halilintar paham, walau hanya bisa sekolah sampai SMP, kalau yang Taufan suarakan itu gemanya sampai ke penjuru negara.

Mungkin, jika Halilintar lebih mengerti adiknya.

Tapi Halilintar tidak sepintar itu. Dia tidak sebagus itu untuk menilai situasi perpolitikan ini. Yang dia tahu hanya menyambung hidup. Bekerja, memberikan uang pada Taufan dan Gempa untuk sekolah mereka, makan, dan tidur kalau sudah lelah.

Halilintar tidak berpikir sejauh Taufan yang mengimpikan sebuah negara sempurna.

Sempurna seperti apa pun, Halilintar tidak paham.

Dia hanya mendengar saat Taufan mengoceh tentang pemerintahan yang ini dan begitu karena dia suka adiknya bicara.

Dia hanya senang saat Taufan begitu semangat mengatakan dia akan sukses dan membuatnya bangga, pun walau dia sudah bangga pada adiknya itu sejak lahir ke dunia.

Dia hanya ingin bisa melihat adiknya itu setiap hari di hidupnya sampai dia menutup mata.

Apa yang Halilintar bisa sangka kalau akhirnya bahkan sekarang dia tak pernah tahu dimana adiknya itu berada?
Malam mereka bertengkar tentang keberangkatan Taufan ke ibu kota. Katanya, untuk memperjuangkan rakyat kecil seperti mereka. Katanya, untuk memperjuangkan masa depan bangsa.

Tapi bahkan sampai sekarang dia tak kembali untuk menceritakan hasilnya pada Halilintar.

Bolak-balik Halilintar ke kepolisian. Mencari tahu kabar adiknya sampai dia hapal siapa saja nama petugas yang dia ajak bicara.

Bolak-balik Halilintar memantau televisi di bengkel tempatnya bekerja.
Mengamati setiap berita tentang demo dan orang-orang hilang. Halilintar hapal semua reporter yang memberitakan. Mana saja stasiun televisi yang bisa dipercaya. Surat kabar mana, siapa penulisnya, Halilintar hapal semuanya.

Tapi bukan ini yang Halilintar harapkan. Bukan untuk hapal orang tak dia kenal.

Gempa, adik bungsunya, memberikan sebuah kelompok tentang orang-orang yang keluarganya hilang. Halilintar berakhir menghapal semua orang yang ada di kelompok itu tanpa dia sengaja.

Setiap harinya diisi dengan pertanyaan. Setiap malam kepalanya terus memimpikan hal yang sama. Setiap pagi dan waktu makan, dia hanya bisa menatap kursi ketiga meja makan mereka dengan datar.

Kosong.

Mana orang yang selalu berisik untuk menceritakan hal-hal yang seharian dia kerjakan?

Mana orang yang selalu cerewet agar Halilintar lebih memikirkan dirinya sendiri daripada adiknya?

Mana orang yang selalu menasehati Gempa untuk sesekali bermain dengan temannya daripada belajar sepenuhnya di kamar?

Halilintar tidak berharap banyak. Sungguh. Dua pertanyaan utama yang sering dia ucapan, pun dengan orang-orang yang senasib dengannya. Jika, jika adiknya hidup, ada dimana dia? Jika adiknya sudah meninggal, dimana jasadnya?

Setidaknya, bahkan jika benar sudah tiada,  Halilintar berharap dia bisa menguburkan adiknya itu di dekatnya. Dekat dengan orang tua mereka. Dekat dengan rumah mereka. Dekat dengan saudara mereka.

Jika...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

[Kumpulan] Trio OriWhere stories live. Discover now