Bagian - 1

681 111 6
                                    

Joanna tidak menyangka Bastian akan berubah menjadi sosok paling tidak jantan di matanya. Hanya membayangkan semua aktivitas busuk yang dilakukan lelaki ini, membuat Joanna mual seketika. Perasaan jijik dan enggan terasa kental. Detik ini Joanna sadar, bahwa ia tak lagi bisa bertahan pada sebuah mahligai yang di dalamnya hanya ada kemunafikan. Joanna memutuskan untuk mengakhirinya, meski banyak risiko yang akan ia tanggung setelah ini.

"Nggak ada yang berubah dariku, Jo. Aku masih pulang ke rumah. Aku juga masih mencukupi semua kebutuhanmu dan anak-anak. Aku nggak pernah sengaja ninggalin keluargaku pas akhir pekan dan nyari kesenangan di luar." Pembelaan diri Bastian tidak lagi berarti. Semua yang diucapkan dari mulut manis itu hanyalah sebuah kamuflase.

"Terus, maksudmu, aku harus anggap wajar perbuatanmu ini karena kamu masih begitu baik sama keluarga?! Aku dan anak-anakmu harus legowo gitu saja, setelah ditipu dan dikhianati?! Kamu pikir kami ini apa? Kami makhluk nggak punya hati dan perasaan gitu? Ck, baru ngerti, ternyata kamu seegois ini!"

"Sayang, aku minta maaf!" Lagi-lagi Bastian hendak menerjangnya, tapi Joanna berhasil menghindar. "Sayang, please!"

"Keputusanku sudah bulat. Kita cerai. Anak-anak hidup sama aku. Titik."

"Nggak bisa gitu dong, Jo! Mereka juga anak-anakku. Kamu mau pisahin mereka dariku?"

Joanna tidak akan terpengaruh dengan paras tampan suaminya yang selama ini bak malaikat namun ternyata hanya topeng untuk menutupi borok yang disimpan rapi.

"Sayang, please ...."

"Bas, tolong, kamu jangan coba-coba bikin semuanya jadi sulit. Kamu yang memulai semuanya, kamu harus tanggung akibatnya." Terlalu yakin. Bahkan saat mengatakannya, tidak ada lagi keraguan yang masih tersisa. Air mata Joanna juga sudah habis terbuang. Sekarang, Joanna hanya ingin hidup tenang bersama sama anak-anaknya. Mencoba berdamai dengan takdir dan memulai semuanya dari awal.

Joanna tahu, perjalanan yang akan ia lalui ke depannya tidaklah mudah. Terlebih, ia akan menjadi ibu tunggal. Segala bentuk cobaan yang dihadapi kelak akan ia cari solusinya seorang diri.

"Aku nggak mau cerai!" Tiba-tiba saja Bastian sudah mengurung tubuh Joanna di atas sofa di bawah badannya yang besar.

"Terserah! Yang jelas kita akan tetap cerai." Joanna berusaha untuk mendorong dada lelaki itu sekuat tenaga, tapi tidak berhasil. "Bas, minggir! Kamu apa-apaan sih?!"

"Kita nggak akan pernah cerai!" Lelaki itu dengan cekatan merampas kedua tangan Joanna yang tak berhenti bergerak, diringkus di atas kepala. Lalu, tatapan keduanya bertemu. "Aku nggak akan pernah lepasin kamu sampai kapanpun."

"Kamu nggak kasar begini, Bas!" Teriak Joanna, kaki-kakinya ditimpa dengan berat tubuh lelaki itu, dan perutnya ditekan cukup kuat saat lelaki itu menunduk.

"Aku nggak akan kasar kalau kamu nggak seenaknya sendiri." Bisiknya berat.

Joanna melotot. "Maksudmu apa sih?! Siapa yang sudah hancurin rumah tangga kita?! Kamu sadar nggak sih sama perbuatanmu?! Aduh, sakit!"

"Aku punya alasan. Aku kesepian. Kamu terlalu sibuk sama si kembar. Seharusnya kamu nggak langsung menghukumku seperti ini, Jo." Lanjut lelaki itu.

"Apa kamu bilang?! Kamu bilang apa, Berengsek?! Jadi, karena aku sibuk urus anakmu yang masih bayi, akhirnya kamu milih selingkuh?!" Joanna terengah, tidak percaya dengan kalimat terakhir yang keluar dari mulut suaminya. "Daripada berusaha untuk paham sama posisiku sebagai ibu dari anak-anakmu, bagaimana repotnya mengurus anak kembar, kamu justru milih selingkuh?!"

"Nggak gitu, Sayang. Aku ...."

"Setop, Bas. Jangan ngomong apa-apa lagi yang bikin aku tambah benci sama kamu. Tolong."

Hening. Tatapan keduanya bertemu hingga beberapa detik ke depan. Bastian beranjak dari tubuhnya dan melangkah keluar kamar. Lalu suara deru mobil terdengar dari luar rumah.

Joanna menghela napas panjang. Dielus lembut perutnya yang masih rata. Sampai detik ini ia belum memberitahu perihal kehamilannya pada Bastian. Yang sudah jelas-jelas bersalah saja, Bastian tidak berniat kooperatif, apalagi jika tahu Joanna sedang mengandung, lelaki itu pasti akan mencari cara untuk menahannya.

Gimana? Muncul satu pesan masuk dari Agnes yang menanyakan tentang hasil dari komunikasinya dengan Bastian  kali ini. Tadi Joanna sempat memberitahu Agnes, akan langsung menginterogasi suaminya begitu sampai rumah. Dia ngaku nggak? Eh, tapi yang namanya selingkuh itu nggak jauh beda sama maling. Mana mungkin ngaku! Berani ngaku, penjara penuh!

Belum juga Joanna selesai mengetik balasan, pesan dari Agnes sudah kembali muncul. Dia nggak sepenuhnya ngaku. Tapi dia minta maaf. Berarti itu tandanya dia mengakuinya kan?

Ya, sudah jelas itu! Ngapain dia minta maaf kalau apa yang kamu tuduhin nggak bener. Tapi, hem, gentle juga dia! Berani minta maaf. Yang sudah-sudah, laki-laki akan lebih mentingin ego dan gengsi. Kalau ketahuan selingkuh, pasti ngelesnya A-Z. Pesan Agnes muncul lagi.

Joanna tidak langsung membalas. Celotehan si kembar yang sedang bermain di indoor playgound terdengar sampai kamarnya. Diletakkan ponselnya di atas meja, Joanna bergegas menemui mereka.

Peristiwa ini membuat Joanna cukup berlebihan. Bastian jelas bersalah, dan siapapun yang bersalah pasti akan kalah. Tapi, Joanna tidak menampik adanya gentar di hati. Tidak akan mudah melawan Bastian dan keluarga besarnya yang memiliki kekuatan dalam segi apapun.

"Mom, ikan!" Kissa, putrinya yang lahir lima menit lebih dulu dari saudara kembarnya yang lain, melambai ke arah ibunya. "Mom, bebek!"

Joanna tersenyum haru. "Pinternya, Kakak! Itu gambar apa, Kak? Ikan? Kok bagus banget sih. Yang gambar Kakak sendiri atau Sus?"

"Sus!" Sahut Kissa polos. "Sus, gambar lagi! Ayam! Gambar ayam."

"Oke, sekarang gambar ayam. Kakak, pegang pensilnya. Ikuti cara Sus gambar, ya." Baby sitter yang mendampingi si kembar mulai menggerakkan pensil warna di kertas.

"Adek, main itu? Nggak ikut gambar sama Kakak?" Sekarang Joanna beralih pada putrinya yang satu lagi.

Kya tampak asik memainkan boneka barbie. Mulutnya yang mungil komat-kamit lucu.

"Ini namanya siapa, Dek?" Tanya Joanna sambil menunjuk salah satu boneka yang terbaring di atas kasur mainan. "Kenapa dia, Dek? Kok tiduran terus?"

"Sakit!" Jawab Kya, sambil melakukan gerakan mengusir. "Mom, sana, jangan ganggu!"

Sontak saja tindakan tersebut membuat Joanna dan para suster tertawa kencang.

"Oh, jadi gitu, ya. Mommy nggak boleh ikut main nih? Maunya ditemani Sus aja?" Beo Joanna.

"Iya, sama Sus aja!" Balas Kya.

Joanna terkikik sambil menggelang-gelengkan kepala haru. "Makin pinter banget sih kamu, Kya! Gemes banget deh. Kayaknya nanti gedhe cita-citamu ngikutin Mommy sama Daddy deh."

"Sekarang itu kalau dikasih tahu pasti ujung-ujungnya ngajak debat, Bu. Sejak masuk PAUD jadi semakin pinter pokoknya." Sambar si pengasuh. "Di kelas, yang nangkepnya cepat itu Kya. Diajarin apapun sama gurunya, langsung bisa niruin."

"Alhamdulillah." Respon Joanna.

"Sampai jadi pusat perhatian para walmur. Pada bilang, pinternya, cantiknya. Batin saya, ya jelas cantik dan pinter, anak siapa dulu?!"

"Tapi cuma dibatin kan, Sus? Nanti dikira sombong kalau beneran diucapin."

"Hehehehe! Iya, Bu. Dibatin aja kok."

NYARISDove le storie prendono vita. Scoprilo ora