Bagian - 2

591 102 10
                                    

"Kamu tahu kan, kalau aku nggak bisa hidup tanpa Joanna?" Kalimat yang dilontarkan oleh sosok di sampingnya sukses membuat hati Anjani tercabik-cabik. Demi Tuhan, keduanya baru saja membagi peluh, mencapai pundak kenikmatan dunia, tapi Bastian dengan begitu tega membawa nama itu lagi.

"Ck, lepasin!" Ditepis lengan-lengan yang hendak mengurung pinggangnya. "Pulang sana deh! Nanti Joanna nyariin!"

"Jan ...." Lelaki itu tidak membiarkan tubuh Anjani turun dari tempat tidur. "Jangan cemburu gitu dong. Aku bilang gitu kan supaya kamu paham aja."

"Aku paham, Bas. Nggak usah kamu kasih tahu, aku sudah paham." Anjani mendengus, usaha untuk lepas dari kungkungan lengan lelaki ini tidak berhasil dilakukan.

"Makasih, ya. Kamu emang paling ngertiin aku." Gumam lelaki itu di punggung polosnya.

"Tapi kamu mikir nggak sih, Bas. Hubungan kita ini. Mau sampai kapan kita kayak gini? Kamu minta aku buat nggak dekat-dekat pas di rumah sakit. Sedangkan, waktu kebersamaan kita banyak dihabiskan di kerjaan."

"Ini kan kita lagi bareng, Jan."

"Habis ini kamu juga balik kan?! Satu jam doang!" Lagi-lagi Anjani mendengus kesal. "Aku sudah mirip pelacur tahu nggak sih?! Kelar main, terus kamu pulang. Pelacur sih masih lebih berharga, masih ada duitnya. Sedangkan aku? Aku ngasih semua ke kamu dengan cuma-cuma loh, Bas."

Bastian melonggarkan lilitan lengannya. "Kok ngomong gitu sih, Jan. Kamu kenal aku dengan baik. Aku nggak akan melakukannya sama perempuan yang nggak aku cinta. Aku harus buktiin dengan cara apa lagi sih, supaya kamu percaya?"

"Kalau cinta, ayo kita nikah?!" Tantang Anjani langsung. Posisi tubuhnya sudah berbalik dan saling berhadap-hadapan dengan lawan bicaranya. "Aku nggak masalah jadi istri kedua. Aku nggak masalah dicaci maki. Aku nggak peduli omongan orang. Tapi kamu berani nggak jujur sama Joanna tentang hubungan kita? Kalau kita nikah, kita harus dapat persetujuan Joanna kan? Aku ogah kalau cuma dinikahi secara siri."

Paras Bastian tampak tertekan. "Nggak bisa sekarang. Maksudku, gimana caraku ngomong ke Joanna?"

"Ya mana aku tahu! Kamu harus pikirin caranya sendiri dong!" Sentak Anjani kesal.

"Rangkaian kalimat yang sekiranya nggak bikin Joanna marah dan sakit hati ...."

"Nggak ada seorang istri yang akan legowo suaminya punya perempuan lain, Bas!" Potong Anjani. "Joanna pasti akan marah dan sakit hati. Bahkan detik itu juga, mungkin dia akan langsung mengutukmu karena sudah tega mengkhianatinya."

"Ya sudah, kalau gitu, aku nggak bisa ngomong sekarang. Aku belum siap sama risiko." Putus lelaki itu, yang membuat Anjani harus menghela napas panjang.

"Kamu nggak akan bisa terus menghindar, Bas. Sekarang dan nanti, akan tetap sama saja. Cuma ada dua risiko. Kalau nggak pisah, maka dia akan tetap milih bertahan. Tapi, apapun keputusan dia, kita harus tetap nikah. Kalau nggak, lebih baik, kita akhiri saja hubungan ini sampai di sini."

Bastian menariknya ke pelukan. "Jangan ngomongin pisah, please. Aku nggak bisa pisah-pisah lagi sama kamu."

"Jadi aku itu nggak mudah, Bas. Status Joanna masih saudara dekatku. Mental menjadi sepupu nggak tahu diri, nggak semua orang bisa kuat menjalani. Jika bukan karena cinta, aku nggak akan melanggar apapun demi bisa bersamamu."

Pelukan Bastian semakin erat. "Aku nggak bisa kehilangan kalian. Aku nggak bisa hidup tanpa kalian."

Anjani diam pasrah. Tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi duri dalam rumah tangga orang. Terlebih itu adalah milik sepupunya sendiri. Anjani hanya merasa belum selesai dengan masa lalunya, maka, saat Bastian memberi sinyal yang sama, Anjani tidak lagi bisa mundur.

Demi Tuhan, Anjani menyesal sudah meninggalkan lelaki yang dicintai demi bisa mengenyam pendidikan spesialisnya di luar negeri. Namun, jauh daripada itu, Anjani merasa sangat bersalah karena sudah menjadi sosok jahat bagi Joanna.

"Dok, pasien selanjutnya Bu Joana." Beritahu Eva si perawat, saat satu pasien sudah selesai diperiksa dan kini giliran pasien selanjutnya harus masuk ke dalam ruang praktek. "Maaf, saya nggak ngeh kalau Bu Joana istrinya Dokter Bastian. Chatnya Murti baru kebaca, Dok." Murti adalah perawat yang bertugas di depan ruangan, mencatat daftar hadir dan mengecek tekanan darah pasien.

Jujur, Anjani langsung was-was. Ada dua kemungkinan, kedatangan Joanna kemari karena memang ingin memeriksakan kandungannya, atau ada alasan lain yang lebih penting daripada itu. Tapi, jika Joanna memang tengah hamil, harusnya dia datang kemari bersama Bastian kan?

"Dia beneran sendiri, Ev?" Tanya Anjani memastikan.

"Kata Murti sih sendirian, Dok. Nggak ada Dokter Bastian di luar." Jawab Eva, yang terlihat ikut khawatir dengan kemunculan istri sah. Eva pemengang kartu antara dirinya dengan Bastian. Dulu, saat belum pindah ke apartemen,  selalu menggunakan identitas Eva untuk memesan kamar hotel. "Gimana, Dok?"

"Kurang berapa pasien lagi sih?" Jika tujuan kemunculan Joanna karena Bastian, otomatis nanti akan terjadi keributan yang tidak bisa dihindari.

"Masih kurang lima orang lagi, Dok. Apa dipanggil paling terakhir saja ya, Dok? Takutnya nanti ...."

"Jangan! Panggil aja sekarang!" Putus Anjani. Akan ia hadapi apapun risikonya.

"Jani, lama amat sih?!" Seru Joanna begitu masuk ke dalam ruangannya. "Perasaan yang sebelum aku sudah keluar dari tadi, kok aku nggak dipanggil-panggil." Lanjutnya protes. Sepertinya, tujuan Joanna datang kemari bukan seperti yang dipikirkan Anjani. Sepupunya itu tetap ramai seperti biasanya, dan tidak menunjukkan tampang dendam padanya.

"Sori, Jo. Baru kelar dari toilet." Anjani terpaksa berbohong.

"Jan, aku telat! Bastian belum ngerti nih. Nanti aja deh, aku kasih tahu dia. Setelah selesai periksa dan memastikan aku beneran hamil." Joanna sudah menempatkan dirinya di hospital bed. Eva membantu menurunkan rok Joanna hingga di bawah pinggang dan menaruh gel di atas perut. "Tapi anehnya kehamilan kali ini aku nggak ngerasain mual sama sekali, Jan. Beda pas hamil kembar dulu. Luar biasa banget perjuangannya. Tiap hari muntah cobak."

Tatapan Anjani berfokus pada layar monitor kala sebuah alat digerakkan di perut Joanna. "Tunggal." Katanya singkat. Entah kenapa, rasanya sulit sekali menguasai rasa terkejut ini.

"Masih kecil banget ya?" Tanya Joanna ikut mengamati benda di depannya.

"Iya, wong masih sepuluh minggu." Jawab Anjani sembari melepas sarung tangan dan beralih ke kursi kerja. "Aku kasih vitamin dan obat penguat janin." Tidak seperti Joanna yang terlihat antusias dengan kehamilannya, Anjani justru merasa sebaliknya. Perasaan kesal lebih mendominasi batinnya.

Bastian sering mengeluhkan tentang Joanna yang sibuk mengurus anak sampai harus mengabaikan suaminya. Tapi, pada kenyataannya sekarang, belum genap usia dua tahun anak pertama mereka, tapi Joanna sudah hamil lagi. Suatu bukti bahwa hubungan Basti dan Joanna rukun-rukun saja.

"Kamu kelihatan capek gitu sih, Jan! Ambil cuti lah, sekali-kali. Nggak bakal kok rumah sakit ngelarang. Limpahin urusan pasienmu ke dokter kandungan yang lain." Pesan Joanna sebelum keluar dari ruangannya. Anjani tidak bisa mengendalikan wajah sinisnya.

NYARISWhere stories live. Discover now