Bagian - 5

689 121 8
                                    

"Bahasa inggrisnya ular apa, Kak?" Tanya ayah dua anak itu.

"Snake." Jawab Kissa lantang.

"Snake. Pinter." Puji si ayah, lalu beralih ke putrinya yang duduk di samping kiri. "Terus, kalau bahasa inggrisnya harimau, Dek?"

"Tiger." Sahut Kya tak kalah bersemangat.

"Yes, Tiger. Pinter." Ulang si ayah sambil mengecup puncak kepala kedua putrinya secara bergantian.

Pagi ini kembar tampak bahagia bercengkrama dengan ayahnya, yang sudah hampir satu minggu ini tak ditemui. Joanna sempat kaget dengan kemunculan Bastian di ruang keluarganya. Minggu lalu, keduanya kembali bersitegang. Joanna yang berkeras ingin meninggalkan rumah, urung dilakukan karena Bastian mau mengalah untuk berpindah ke apartemen.

Kemarin Joanna sudah mulai berkonsultasi dengan pengacara, tentang proses istri menggugat cerai suami. Meski belum ada keputusan yang final, tapi Joanna sudah cukup lega setelah mendengar bahwa kemenangan pasti ada di pihaknya. Termasuk kemungkinan dalam mengurus hak asuh anak. Tidak ada yang bisa menghalangi seorang ibu untuk hidup dan mengasuh anak-anaknya.

Baik Joanna dan Bastian, harus sama-sama menerapkan co-parenting yang solid. Lebih memprioritaskan anak dan selalu berusaha menjalin komunikasi yang sehat. Semua wajib dilakukan demi kelancaran tumbuh kembang sang buah hati.

"Dad, adek pengin ikut Daddy bobok apart. Kata Mom, nanti kalo Daddy pulang, adek boleh bilang gini." Terdengar putri kembarnya yang lahir paling akhir mengungkapkan keinginannya untuk menginap di apartemen.

"Kakak juga!" Serobot si kembar satunya. "Tapi di apart sempit dan nggak ada mainan, Dek." Lanjutnya dengan nada melas.

"Nanti kita minta Sus angkut mainan kita ke apart, Kak." Sahut Kya, lalu meminta persetujuan ayahnya. "Ya, Dad?"

"Hem, kalau mainannya Kakak dan Adek dibawa ke apart, jadi makin sempit dong apartnya. Pasti sama Mommy juga nggak dibolehin." Papar Bastian yang membuat Joanna ingin melemparinya dengan bantalan sofa.

Apa susahnya sih mengiyakan argumen anak-anaknya? Kebiasaan sekali melimpahan segala kebutuhan anak padanya. Gitu katanya ingin memisahkan si kembar dari ibunya, mengurus hal sepele saja tak becus.

"Daddy baru ngebolehin Kakak dan Adek nginap di apartemen kalau berhasil ngebujuk Mommy buat nginap juga." Lanjut si biang kerok yang mulai mengeluarkan jurusnya mencuci otak anak-anak. "Daddy lagi sedih, Kak, Dek. Mommy sudah berhari-hari marah. Nggak ngebolehin Daddy bobok di kamar. Jadinya Daddy bobok sendiri di apartemen. Kakak dan adek kasian nggak sama Daddy? Daddy bobok sendiri. Daddy kan takut bobok sendiri nggak ada temannya."

"Tapi kan Daddy udah gedhe? Kok takut sih?!" Seru Kissa.

"Daddy nakal, ya?! Mommy nggak akan marah kalo Daddy nggak nakal." Imbuh Kya. Daripada kakaknya, Kya lebih kritis dan cerewet.

"Di apartemen Daddy sendirian, Kak. Wajar dong kalau takut." Gumam si ayah dua anak tapi omongannya mirip bocah sekolah dasar. "Tapi kan Daddy waktu itu sudah minta maaf, Dek. Harusnya Mommy sudah nggak marah lagi kan?"

"Makanya Daddy jangan nakal, biar Mommy nggak marah lagi. Contoh Kya, Dad. Kya pinter, nurut, nggak pernah nakal." Nada suara Kya mirip orang dewasa yang sedang memberi nasihat.

"Iya, Dek. Siap." Balas lelaki yang sudah membuat situasi rumah tangga ini menjadi carut-marut.

Joanna buru-buru keluar dari persembunyiannya. Membiarkan suaminya yang gila terus berkomunikasi dengan anak-anaknya hanya akan menjadi petaka. Topik yang dibahas sama sekali tidak mendidik. Joanna geregetan sendiri mendengarnya.

"Kakak-Adek, main dulu gih sama Sus! Lagi ada yang mau Mommy bicarakan sama Daddy." Joanna menginterupsi kedua anaknya, yang langsung dituruti oleh bocah berusia dua setengah tahun itu. Bersyukur si kembar bukanlah anak yang susah diarahkan.

Joanna sengaja mengambil jarak aman. Duduk di sofa lain yang jauh dari jangkauan sosok di depannya. Sudah paham kebiasaan Bastian saat berdekatan, lelaki itu tidak akan menyia nyiakan kesempatan untuk menerjang ke arahnya.

"Aku nggak suka kamu ngomong kayak gitu sama anak-anak. Mereka nggak ada hubungannya sama permasalahan orang tuanya. Ck, seharusnya tanpa aku kasih tahu kamu sudah harus paham. Kamu bukan orang bodoh, Bas."

Seperti dugaannya, lelaki itu beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Joanna. "Aku sudah buntu. Nggak ada cara selain minta bantuan mereka." Sahutnya enteng.

"Ngapain kamu pindah ke sini?! Kembali ke tempat dudukmu!" Titah Joanna, yang tak dituruti sama sekali.

"Aku kangen istriku." Masih dengan gayanya yang tengil dan kalem. "Sudah seminggu nggak peluk dia."

"Bas!"

"Jo, ayolah! Sampai kapan sih kamu akan kayak gini? Aku sudah minta maaf loh. Aku juga sudah janji nggak bakalan mengulanginya lagi. Kasih aku kesempatan, Sayaaaang, please!"

Joanna menatap sosok di sebelahnya dengan tatapan paling frustasi. "Aku sudah nggak bisa sama kamu, Bas. Tolong, hargai keputusanku."

"Jo ...." Ekspresi Bastian juga tak kalah frustasi. "Apa yang harus aku lakukan supaya kamu percaya dan berhenti ngebahas soal perpisahan? Kita nggak akan pernah cerai, Jo. Aku nggak akan pernah lepasin kamu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu."

"Kamu bikin kesalahan yang nggak kecil loh, Bas. Kamu selingkuh. Kamu tidur sama perempuan lain selain istrimu. Coba itu ada di posisiku, masih bisakah kamu maafin aku?" Harus sekali Joanna menjabarkan secara detail perbuatan bodoh yang sudah lelaki ini lakukan di belakangannya. Jika sebelumnya Joanna akan sambil menangis darah, namun kali ini ia sudah lebih tegar menghadapinya. "Aku sudah nggak bisa lagi sama kamu. Aku akan terus mengingat semua perbuatanmu, semua rasa sakit yang sudah kamu kasih, bikin aku nggak lagi menganggapmu layak jadi suami."

Bastian duduk bersimpuh di atas karpet. Kepalanya rebah di atas pangkuan Joanna. Anak mami ini menangis hingga membuat terusan panjang yang dikenakan Joanna basah.

Demi Tuhan, Joanna lelah dengan drama yang lelaki ini mainkan. Kemarin ibu mertuanya, pagi ini anak-anaknya. Bastian sudah benar-benar keterlaluan. Bocah dua setengah tahun dipaksa untuk memahami permasalah orang tuanya. Astaga! Tidak ada yang lebih bodoh daripada ini.

Joanna berusaha untuk tidak mendorong lelaki itu saat telapak tangannya membelai perutnya yang masih rata. Membayangkan Bastian menggunakan tangan itu tidak hanya pada istrinya, membuat Joanna mual. Terlebih saat tiba-tiba lelaki itu mendekap pinggangnya dan tubuh keduanya saling menempel, Joanna reflek menjerit. Kedua tangannya bergerak melindungi diri.

"Sayang?!"

"Aku nggak bisa, Bas! Aku benar-benar nggak bisa! Jangan paksa aku!" Joanna menggeleng pahit. Air matanya sudah membasahi pipi.

Bastian menatapnya lekat. Ada sakit yang Joanna tangkap dari sorot matanya.

"Aku pengin kita pisah baik-baik. Meskipun kita nggak lagi bareng, anak-anak nggak kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...."

"Nggak, Sayang, nggak!" Potong lelaki itu. "Kita nggak akan pernah pisah. Kamu butuh waktu sendiri? Oke, aku akan kasih. Seminggu? Sebulan? Setahun? Aku akan tunggu sampai kamu bisa nerima aku lagi."

NYARISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang