(셋)

327 48 4
                                    

Adel melirik Flora, gadis itu sendari tadi tidak memperhatikan pelajaran, well, sama sepertinya. Dia ingin sekali membolos, tapi takut ketahuan sama Chika. Yaiyalah, Chika kan bendahara osis, bisa-bisa dia dilaporkan ke Gita. Ketos yang dikenal tegas dan dingin.

Dia masih merasa kesal akibat kejadian waktu istirahat tadi, meski dia juga salah karena udah bersikap tidak baik kepada Flora yang notabenenya siswa pindahan.

Flora yang menyadari jika sendari tadi Adel memandangnya, menolehkan kepala. "Apa?"

"Gapapa." balas Adel kalem. Eh, si bocah malah salting gara-gara keciduk, tapi gapapa, dia harus tetap stay cool.

Aduh, kok malah berantem lagi. Guru lagi menjelaskan, dua gadis ini malah ngobrol. Dasar tidak sopan.

"Gua minta maaf soal yang dikantin tadi," ucap Adel, memalingkan wajahnya agar Flora tidak melihat pipinya yang memerah. Minta maaf doang kok sampe ngeblush gitu sih, dasar gengsian. Aneh.

Flora melirik gadis itu, tidak percaya jika orang yang tadinya bersikap dingin dan kasar malah jadi baik kayak gini. Dasar bipolar, pikirnya.

"Ya, gue maafin. Asal lo gak ngulangin lagi, bikin kesel aja."

"Ya, gak akan gue ulangin lagi."

Flora menaikan alis, tampak terkejut dengan jawaban Adel. Oh, ucapannya sangat tidak bisa dipercaya.

"Bohong itu gak baik loh, Del. Tampang lu kayak preman sih, suka bully orang pasti."

Kening Adel mengkerut, tidak terima dikatain pembully. Memang benar dia nakal dan tidak bisa diatur, tapi gak sampai ngebully orang juga kali.

"Dih, gue gak pernah bully orang jir. Kerjaan gua cuma bolos sama berantem aja." Bangga banget kayaknya si Adel ngomong kayak gitu.

"Sama aja itu."

"Beda cok,"

"Gak salah."

Hmm, beda sih.

Flora pikir Adel akan sangat kaku saat mengobrol dengan teman-temannya ataupun orang lain, tapi ternyata asik juga ngomong sama si bocah preman ini. Itu kelebihannya, kalah kekurangannya nyebelin.

"Kalau ada yang ngomong ataupun ribut, Ibu suruh ngerjain 100 soal matematika." ancem Shania kepada murid yang daritadi tidak memperhatikan dan malah asik mengobrol.

Flora dan Adel langsung terdiam, mereka tidak ingin mengerjakan 100 soal matematika. Siapa juga yang mau? Ya kagak ada dong, kecuali bang Jerome atau siapapun yang suka matematika, kayak si cowok yang di university war itu.



































Bell jam istirahat kedua pun berbunyi. Ibu Shania yang mengajar mata pelajaran matematika keluar dari kelas, akhirnya semua murid bisa istirahat dari pelajaran yang mematikan itu.

Sebenarnya author suka sama matematika tapi juga benci. Sukanya waktu mudah doang, kalau susah mah author tetap ngerjain meski akhirnya nyerah juga gara-gara otak panas kayak di setrum listrik. Maaf curhat, lanjoot.

Dan Flora lagi-lagi dikerubungi oleh teman-temannya Adel yang sekarang sudah menjadi temannya juga. Oke, disini dia mulai menyesal karena mikir Oniel itu kalem. Bagaimana tidak? Gadis itu ngeluarin jokes bapak-bapaknya, mana dia doang yang kagak paham.

"Btw, kak Chika tumben banget gak kesini?" tanya Lulu, cieh kangen ya? Kasian, bentar lagi grad.

"Gak tau sih, kayaknya ada urusan sama anggota osis yang lainnya." jawab Oniel kalem. Oh, dia berganti mood. Bentar lagi ngeluarin jokes bapak-bapak pesbuk nih.

"Gue ngeri sama kak Gita jir, kek bisa gasih mukanya tuh kalem aja? Gausah kayak gitu." Zee malah mau menggibah, no gibah no life katanya.

"Muka dia kalem kok, Zi. Datar gitu." balas Olla jujur. Tidak salah. Mungkin auranya saja yang menakutkan, makanya para murid Jakarta 48 juga takut sama dia.

"Datar, datar, tetep aja ngeri jing."

Flora hanya diam saja, tidak ada niatan untuk nimbrung ke obrolan aneh genk yang satu ini.









































Flora udah dapat banyak screentime nih, mari kita berpindah ke Freya. Kasian gadis yang senyumnya semanis karamel tidak mendapatkan screentime.

Freya, gadis yang dikenal ramah dan sopan. Setelah bell berbunyi, dia langsung pergi ke ruangan osis.

Gadis itu membuka pintu, melihat Indah dan Gita yang sedang mengobrolkan sesuatu. 2 langkah dari mereka, ada gadis yang asik bermain ponsel.

"Permisi," ucap Freya sebelum masuk kedalam ruangan. Dia juga menutup pintu.

Gita dan Indah menghentikan pembicaraan, mata mereka tertuju pada gadis yang baru datang itu. Begitu pula dengan si gadis yang asik bermain ponsel tadi

"Ngapain kesini?" tanya Gita kebingungan, alisnya terangkat.

Freya terkekeh. Banyak yang berpikir jika Gita adalah orang yang kaku dan dingin, nyatanya gadis itu memiliki sisi yang hangat.

"Bosen, aku gak ada kerjaan juga." jawab Freya menarik kursi di depan gadis yang kembali bermain dengan ponselnya lalu duduk.

"Gak ke kantin?" tanya Indah lagi. Niat Freya yang ingin keheningan malah hancur gara-gara dua orang ini, tapi setidaknya dia tidak kesepian.

"Lagi males, kak. Kakak sendiri ngapain disini?"

"Ngobrol sama kak Gita, gak liat lo?"

"Liat kok,"

"Yaudah, gausah nanya."

Gita menyikut lengan Indah, menatapnya tajam seperti berkata 'jangan kayak gitu.'.

"Kalau Marsha sendiri ngapain disini?" tanya Freya kepada gadis yang sedang bermain dengan ponselnya.

"Sama kayak lo, gue juga bosen. Mending ke ruangan osis kan, hening, tentram dan damai." jawab Marsha, mematikan ponselnya lalu menaruhnya di atas meja. Kalo orang ngajak ngobrol tuh jangan main hp, kayak si gadis matcha ini.

"Tapikan... Kak Gita sama kak Indah lagi ngobrol, itu sama sekali gak hening."

Indah memandang kedua juniornya itu. hadeh, ngegibah langsung di depan orangnya emang beda level si nurdana ini.

"Setidaknya mereka gak ngeganggu gue."

Benar juga, sendari tadi Ketos dan Waketos terlalu asik mengobrol. Tanpa menggangu si gadis penyuka matcha ini.

"Btw, kalian tahu kan murid baru itu? Seingat gue namanya Flora Shafiq Natio." Indah menyela pembicaraan kedua juniornya, kenapa ikut gibah dah.

"Haduh, Indah, kenapa malah ikut-ikutan gibah." gumam Gita, kelelahan karena ketiganya malah bergibah.

"Gue kagak gibah, kak, cuman mengingatkan."

"Terserah lo dah."

Keduanya mengangguk, menunggu Waketos untuk melanjutkan ucapannya.

"Ayahnya Flora itu om Sean, donatur disekolah kita sekaligus temannya pemilik sekolah Jakarta 48. Itu katanya sih, gue cuma ngedenger gosip dari kelas lain."

"Indah, udah, gausah dibahas. Lagipula rumor itu belum tentu benar, jadi jangan berspekulasi aneh-aneh."

"Iya deh, kak."

Indah itu penurut, meski agak rebel juga. Ini emang zamannya para remaja labil.

Freya mengendikkan bahu, tidak terlalu peduli dengan apa yang Indah katakan. Dia menatap gadis yang didepannya itu, merasa aneh karena dia cuma diam saja. Wajahnya sedikit pucat meski mencoba untuk terlihat acuh tak acuh.

Freya merasa khawatir, sebab tidak seperti biasanya Marsha jadi pendiam kayak gini. Sebelum dia bisa membuka mulut, tiba-tiba saja Marsha mendekatkan wajahnya ke telinganya dan membisikkan sesuatu yang membuatnya merinding.

"Jangan noleh kebelakang, ada orang."

Semanis KaramelWhere stories live. Discover now