Bab 12. Ancaman yang Tak Main-Main

297 9 1
                                    

Draco berdiri di ruang kerjanya dengan sorot mata tajam penuh amarah tertahan. Ingatan pria itu terus terngiang akan apa yang dikatakan oleh Luna. Dia tidak mengira kalau Elina akan mengatakan hal seperti itu pada Luna. Draco membenci jika ada orang yang berani ikut campur tentang urusannya.

"Tuan..." Nigel melangkah masuk mendekat ke arah Draco. Dia datang, karena atas permintaan Tuannya. Tentu, Nigel diwajibkan untuk datang tepat waktu. Tidak boleh sama sekali terlambat jika Tuannya membutuhkannya.

Draco mengalihkan pandangannya, menatap sang asisten yang sudah tiba di hadapannya. "Kau sudah mendapatkan nomor Elina?" tanyanya dingin.

Nigel mengangguk. "Sudah, Tuan. Saya sudah mendapatkan nomor Nona Elina. Sekitar beberapa menit lalu, saya baru mengirimkan nomor Nona Elina pada Anda. Anda bisa memeriksa lebih dulu untuk memastikan."

Mendengar apa yang dikatakan oleh asistennya, Draco mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan melihat ke layar bahwa benar—asistennya mengirimkan nomor telepon—yang pastinya itu adalah Elina. Nigel tidak mungkin salah.

Draco memang meminta Nigel untuk mencari tahu nomor telepon Elina. Dia sudah lama tidak bertemu dengan Elina. Itu kenapa dia memiliki pikiran kalau mungkin saja Elina mengganti nomor teleponnya.

Draco menatap lekat dan tajam nomor telepon Elina yang terpampang di layar teleponnya. Detik itu juga, tanpa mau menunda-nunda dia memutuskan untuk menghubungi nomor Elina.

"Hallo?" sapa Elina lebih dulu dari seberang sana.

"Besok, datanglah ke kantorku. Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu," tukas Draco tegas.

"Draco? Is that you?" pekik Elina terkejut.

"Ya."

"Oh My God, Draco. Ponselku kemarin hilang. Jadi aku kehilangan nomormu. Maaf aku—"

"Besok jam sembilan pagi datanglah ke kantorku." Draco langsung memotong ucapan Elina. Pria itu enggan untuk diajak mengucapkan kata basa-basi.

"Aku pasti datang ke kantormu, Draco. Aku janji pasti akan datang."

Tanpa mau menjawab apa pun, Draco memutuskan untuk menutup panggilan telepon itu. Dia meletakan ponselnya ke tempat semula. Draco sengaja meminta Elina untuk datang bertemu dengannya, karena ada hal yang ingin dia katakan.

"Nigel, besok jam sembilan kosongkan jadwalku. Aku ingin bertemu dengan Elina. Dia ikut campur dengan urusan pribadiku. Aku paling benci dia selalu membawa-bawa Mireya," geram Draco penuh dengan kemarahan tertahan.

Nigel menunduk di hadapan Draco. "Tuan, maaf jika saya lancang, tapi menurut saya apa yang dikatakan oleh Nona Elina tidak sepenuhnya salah. Jika Nona Mireya tahu tentang Nona Luna, pasti beliau akan—"

"Mireya tidak akan berani merusak apa pun yang aku inginkan!" seru Draco dengan nada tinggi akibat kemarahannya.

Nigel menelan salivanya susah payah. "B-baik, Tuan." Dia tidak berani berbicara pada Draco. Dia memilih hanya menundukan kepalanya.

"Pergilah! Selesaikan pekerjaanmu yang lain!" usir Draco meminta Nigel untuk pergi.

Nigel segera menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Draco.

Draco menyambar gelas wine yang ada di atas meja, menenggak kasar dan menatap lurus ke depan—menyimpan kemarahan tertahan. Aura wajah dingin pria itu tidak lagi bisa tertahankan. Umpatan dan makian lolos di dalam hatinya jika ada yang menyebut-nyebut nama 'Mireya'.

***

"Selamat pagi, Nona Luna." Pelayan menyapa Luna yang baru saja membuka mata di pagi hari.

Luna tersenyum menatap sang pelayan. "Pagi. Hm, di mana Draco?" tanyanya pelan ingin tahu.

Tadi pagi, di kala Luna membuka matanya, dia terbangun dalam keadaan dirinya sudah berada di kamar Draco. Tapi, sayangnya gadis itu tidak sama sekali melihat Draco. Itu kenapa dia bertanya pada sang pelayan ke mana Draco pergi.

Sang pelayan menatap sopan Luna. "Tuan Draco tadi berangkat pagi-pagi sekali sebelum Anda bangun, Nona. Beliau mengatakan kalau hari ini beliau memiliki jadwal meeting yang padat."

"Oh, Draco sudah berangkat kerja," gumam Luna pada dirinya sendiri. Dia tak mengerti kenapa perasaannya menjadi tak nyaman dan tak suka, di kala mendengar Draco langsung pergi bekerja begitu saja.

Sang pelayan mengangguk. "Benar, Nona. Tuan Draco sudah berangkat kerja."

"Baiklah." Luna akhirnya menepis pikirannya, dan berusaha untuk mengerti. Lagi pula kenapa dirinya harus kesal atau marah? Memangnya siapa dirinya ini? Dia sama sekali tidak berhak untuk marah. Luna tidak mungkin lupa akan tempatnya.

"Nona, sarapan sudah tersedia. Anda ingin makan di kamar atau di ruang makan?" tanya sang pelayan sopan.

"Aku makan di ruang makan saja," jawab Luna pelan dan lembut.

"Baik, Nona." Pelayan itu kini mempersilakan Luna yang melangkah masuk ke dalam ruang makan. Tampak raut wajah Luna begitu muram dan sedih. Akan tetapi gadis itu, tetaplah berusaha untuk tenang.

***

Jemari kokoh Draco mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Sepasang iris mata cokelat gelapnya berkilat menatap Elina dengan tatapan tajam, membendung kemarahan. Di hadapan Draco kini sudah ada Elina.

"Kau tahu apa tujuanku memintamu ke sini?" Draco mulai bersuara.

Elina tersenyum anggun. "Mungkin kau merindukanku. Was I right?"

Draco bangkit berdiri melangkah menghampiri Elina. Aura wajah bengis dan kejam begitu sangat menonjol di wajahnya. "Kau bicara apa pada Luna, Elina?" geramnya tak suka berbasa-basi.

Senyuman anggun yang bertengger di wajah Elina langsung berubah mendengar apa yang Draco katakan. Jika Draco sudah mengatakan itu padanya, maka Luna sudah bercerita pada Draco. Shit! Gadis itu benar-benar membuat kesabaran Elina menipis.

"Luna sudah mengadu padamu?" Alih-alih menjawab, Elina membalikan pertanyaan Draco.

"Jawab saja pertanyaanku, Elina!" bentak Draco.

Elina mengembuskan napas kesal. "Kenapa kau semarah ini padaku, Draco? Apa yang aku katakan ini fakta. Luna itu kan hanya selingkuhanmu. Kau memiliki Mireya. Kau juga sering kan meminta pelacur-pelacur untuk menemani harimu yang bosan dengan Mireya." Nadanya tenang, seolah tidak sama sekali mengucapkan semua dusta. Malah baginya, apa yang dikatakannya merupakan sebuah hal yang benar.

Kilat mata Draco semakin menajam mendengar apa yang Elina katakan. Rahangnya mengetat. Tangannya mengepal kuat. "Elina West! Aku ingatkan padamu, jangan pernah ikut campur apa yang bukan menjadi urusanmu!" bentaknya keras.

"Draco, aku hanya—" Perkataan Elina terpotong di kala Draco menangkup kasar kedua rahangnya. Sorot mata pria itu tajam, tidak sama sekali main-main.

"Akh, Draco. Sakit. Lepaskan aku." Elina merintih kesakitan seraya menatap Draco dengan tatapan mengiba. Wanita itu merasakan sakit luar biasa di kala rahangnya dicengkram kuat oleh Draco.

Draco tak memedulikan rintihan Elina. "Aku katakan padamu, jangan pernah kau ikut campur apa yang bukan menjadi urusanmu. Ini peringatan pertama dan terakhirku. Aku tidak segan-segan akan melenyapkanmu jika kau tetap ingin ikut campur urusanku." Pria itu berdesis penuh ancaman.

Mata Elina melebar dan memucat mendapatkan ancaman Draco. Dia mengenal pria yang ada di hadapannya ini, tidak pernah main-main dalam berkata. "I-iya, Draco."

Draco melepaskan cengkeraman tangannya di rahang Elina. Tepat di kala cengkraman sudah terlepas—Elina langsung berlari pergi seraya meringis kesakitan. Rahang Elina sampai memerah akibat cengkraman kuat Draco.

Sorot mata Draco menatap tajam Elina yang sudah melarikan diri. Pria tampan dan gagah itu terpancing emosi ketika Elina mengungkit-ungkit tentang Mireya. Dia tidak main-main. Jika sampai Elina tetap masih ikut campur dengan urusan pribadinya, maka sudah pasti dia akan melenyapkan Elina dari muka bumi ini. 

Draco & LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang