Bab 32. Sebuah Pujian

119 10 0
                                    

Draco turun dari mobil, dan segera masuk ke dalam mansion-nya. Para penjaga dan pelayan sudah menunduk menyapanya. Pria itu melirik sekilas jam yang melingkar di pergelangan tangannya—waktu menunjukkan pukul dua belas malam.

Draco mengembuskan napas kesal. Dia ingin pulang lebih awal, tapi semua rencananya gagal total, karena sosok wanita yang selalu membuatnya naik darah. Wanita yang sudah lama dia hindari, tapi semua menjadi rumit.

"Selamat malam, Tuan." Pelayan menyapa Draco sopan.

Draco menatap dingin pelayan yang ada di hadapannya. "Apa Luna sudah tidur?"

Sang pelayan menunduk. "Nona Luna berada di kamar, Tuan. Setelah selesai makan malam, beliau berada di kamar."

Draco mengangguk singkat merespon ucapan sang pelayan. Tanpa berkata apa pun lagi, dia melangkah pergi meninggalkan tempat itu—menuju ke kamarnya. Dia ingin segera menemui Luna.

Saat tiba di kamar, Draco melihat Luna tertidur di ranjang tanpa memakai selimut. Padahal AC di kamar sangat dingin. Namun, gadis itu tak memakai selimut. Pria itu mendekat dan hendak memakaikan selimut ke tubuh Luna. Tiba-tiba ...

"Draco, jangan tinggalkan aku," gumam Luna dengan mata yang masih terpejam. Gadis itu mengigau memanggil-manggil nama Draco. Nadanya begitu terdengar tengah memohon.

Diamnya Draco, bukan tidak peduli. Diamnya pria itu melainkan tersentuh sekaligus terkejut mendengar kata-kata Luna. Dia sama sekali tidak mengira di dunia mimpi, gadis itu memohon padanya untuk tidak meninggalkan. Jika diingat-ingat, Draco mengingat di mana Luna ingin melarikan diri darinya. Gadis itu selalu ketakutan berhadapan dengannya. Akan tetapi, sekarang semua telah berubah. Luna malah selalu ingin di dekatnya. Fakta itu membuat Draco melukiskan senyuman di wajahnya.

Draco membawa tangannya, membelai pipi Luna dengan penuh kelembutan. "Tidurlah, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, asalkan kau selalu patuh padaku," bisiknya sambil mengecup bibir Luna.

Luna kembali terlelap. Gadis itu tidak menyadari kalau Draco sudah pulang, bahkan menciumnya.

***

Luna merentangkan kedua tangan di kala rasa kantuknya sudah terusir. Gadis itu terbangun sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Tepat di kala Luna membuka mata—dia mengendarkan pandangan melihat dirinya berada di kamar.

Luna mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sontak, mata Luna langsung melebar panik dan terkejut. Dia tidak menyangka akan bangun sampai sesiang ini.

Luna menyibak selimut, dan mengikat rambut asal. Entah mimpi apa tadi malam sampai membuat dirinya tidur sangat pulas. Dia melihat ke ranjang—ternyata dia tidur sendiri.

Sejenak, Luna berpikir bahwa tadi malam dia tertidur karena menunggu Draco pulang. Namun, ke mana Draco? Kenapa sampai detik ini ketika dia terbangun, malah Draco tidak ada? Apa mungkin tadi malam Draco tidak pulang? Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepala Luna.

Luna memutuskan untuk keluar bertemu dengan pelayan. Dia ingin bertanya langsung pada sang pelayan, tentang Draco. Dia tidak sabar ingin tahu. Karena jika benar Draco tidak pulang, maka pertanyaan di kepala Luna semakin banyak.

"Selamat pagi, Nona Luna." Pelayan menyapa Luna yang baru saja keluar dari kamar.

"Pagi. Apa kau melihat Draco? Tadi malam dia pulang tidak?" tanya Luna cepat ingin tahu. Tatapannya tersirat menunggu pelayan untuk menjawabnya.

Sang pelayan tersenyum sopan. "Tadi malam Tuan Draco Riordan pulang, Nona. Sekarang beliau sedang berada di halaman belakang, tengah bermain dengan Samson."

"Draco tadi malam pulang? Benarkah? Lalu sekarang dia sedang bermain dengan Samson?" ulang Luna memastikan. Dia takut kalau apa yang dia dengar ini salah.

Sang pelayan mengangguk sopan. "Benar, Nona Luna. Tuan Draco Riordan berada di halaman belakang tengah bermain dengan Samson."

Luna tidak sabar. Gadis itu langsung berlari menuju ke halaman belakang. Padahal dia hanya tadi malam tidak melihat wajah Draco. Namun, entah kenapa hatinya sangatlah merindu.

"Draco?" Luna masuk ke dalam halaman belakang.

"Luna?" Draco menatap dingin Luna yang masih terbalut oleh gaun tidur tipis.

Para pengawal Draco langsung segera pamit undur diri di kala melihat Luna datang. Mereka semua menunduk tak sedikit pun melirik ke arah Luna. Jika salah satu pengawal berani menatap Luna—yang masih memakai gaun tidur—sudah pasti mereka akan dilempar ke kandang Samson.

"Draco? Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku pikir tadi malam kau tidak pulang." Luna menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Draco.

Draco mengurai pelukannya, menatap dingin dan tegas Luna. "Kenapa kau keluar memakai gaun tidur tipis seperti ini, Luna? Pengawalku melihatmu!" Nadanya penuh peringatan.

Luna mengerjap terkejut mendapatkan teguran dari Draco. Dia menundukkan kepalanya—menatap dirinya benar memakai gaun tidur tipis. Astaga! Luna sampai tak menyadari kalau tubuhnya masih terbalut gaun tidur tipis. Rasa ingin bertanya pada pelayan tentang keberadaan Draco—membuatnya menjadi lupa.

"M-maafkan aku, Draco," cicit Luna pelan.

Draco mengembuskan napas kesal. Dia langsung menarik tangan Luna—membawa gadis itu ke dalam kamar. Memang pengawalnya sudah pergi, tapi tidak menutup kemungkinan kalau pengawal lainnya datang. Dia tidak rela ada yang melihat Luna dalam keadaan tengah memakai gaun tidur tipis.

"D-Draco, maafkan aku." Luna berucap kembali, ketika dirinya dan Draco sudah tiba di kamar yang biasa ditempati mereka.

"Lain kali kau tidak boleh lupa! Di sini banyak pengawalku, Luna! Apa kau sengaja ingin membuat pengawalku tergila-gila padamu?!" seru Draco kesal. Sorot matanya tajam, menunjukkan seolah pria itu tengah marah.

Luna tersenyum mendengar apa yang Draco tuduhkan. Padahal mana mungkin pengawal Draco berani meliriknya. Jika berani, maka pasti Draco sudah mencongkel mata para pengawalnya yang berani dekat dengannya.

Luna memberikan pelukan pada Draco, demi membuat amarah pria itu menyurut. "Maafkan aku, Draco. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Tadi aku terburu-buru ingin menemuimu."

Draco mengatur emosinya. Dia tidak ingin sepenuhnya menyalahkan Luna. "Maaf, tadi malam aku sibuk sampai pulang larut malam."

Luna mendongakkan dari dalam pelukan Draco. "Tadi malam kau bertemu dengan client-mu?" tanyanya pelan ingin tahu.

Draco sedikit berdeham. "Ya, aku bertemu dengan client-ku."

"Pria atau wanita?" tanya Luna lagi ingin tahu.

Alis Draco menaut. "Kenapa kau bertanya sangat detail?"

Luna menggigit bibir bawahnya. "Maaf aku bertanya sangat detail. Aku hanya ingin tahu saja, Draco. Jika kau tidak menjawab, tidak apa-apa."

"Wanita." Draco memutuskan menjawab.

Luna mengangguk. "Pasti sangat cantik."

Draco terdiam sebentar mendengar ucapan Luna. "Tidak secantik dirimu."

Mata Luna melebar terkejut, menatap dengan tatapan berbinar-binar bahagia. "Benarkah, Draco?"

Draco mengangguk merespon ucapan Luna.

Luna semeringah bahagia. Gadis itu melompat memeluk Draco seperti anak kecil. Refleks, Draco melingkarkan tangannya ke pinggang Luna. Gadis itu ampak kegirangan mendapatkan pujian dari Draco.

"Tadi malam aku bermimpi buruk, kau pergi meninggalkanku, Draco. Tapi aku yakin itu hanya mimpi. Benar, kan?" Luna menatap Draco lembut.

Draco sempat terdiam, tapi dia langsung membelai pipi Luna. "Ya. Mimpi hanyalah bunga tidur. Tidak usah diingat-ingat apa pun mengenai mimpimu." 

Draco & LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang