Bab 38. Terluka

122 9 1
                                    

Draco melangkah keluar ruang rawat Mireya, di kala wanita itu sudah berhasil tidur. Tampak raut wajah Draco menyimpan rasa kesal. Dia terpaksa tidak pulang, karena kegilaan Mireya yang bunuh diri.

Sebenarnya, bisa saja hari ini Draco pulang, tetapi jika dia nekat pulang, bisa saja Mireya melakukan kegilaan lagi. Terpaksa, Draco memilih untuk menginap di rumah sakit, demi Mireya tak melakukan tindakan konyol.

"Tuan." Nigel menunduk sopan pada Draco.

Draco memejamkan mata singkat. "Minta orangku berjaga di sini. Siapkan juga pelayan yang selalu menemani Mireya. Aku tidak mau dia bertindak gila lagi,"

Draco memutuskan untuk meminta Nigel menyiapkan pengawal dan pelayan. Jika tidak seperti ini, maka besar kemungkinan Mireya kembali melakukan hal nekat. Paling tidak, dia sudah berjaga-jaga sebelum hal yang tak diinginkan kembali terulang.

Nigel mengangguk sopan. "Baik, Tuan."

"Nigel, apa Luna sudah tidur?" tanya Draco seraya menatap Nigel. Dia ingin tahu apa yang dilakukan oleh Luna. Hati dan pikirannya tidak tenang. Dia ingin sekali pulang, tapi tidak bisa. Semua itu karena Mireya yang menyusahkan dirinya.

"Sudah, Tuan. Tadi saya bertanya pada pelayan dan pelayan mengatakan Nona Luna sudah tidur," jawab Nigel sopan memberi tahu.

Nigel sudah menduga ini. Dia yakin pasti Tuannya itu akan menanyakan tentang Luna. Itu kenapa dia sudah lebih dulu bertanya pada pelayan, tentang apa yang dilakukan Luna di rumah.

Draco mengembuskan napas panjang, dia sedikit lega mendengar Luna sudah tidur.

Nigel nampak takut-takut untuk bertanya, tapi dia memutuskan untuk memberanikan diri, "Tuan, kenapa Anda tidak memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Nona Mireya saja? Tindakan Nona Mireya sudah semakin nekat. Takutnya beliau malah akan berniat melukai Nona Luna. Lagi pula, Nona Mireya juga pernah melakukan kesalahan besar. Setidaknya, Anda memiliki alasan untuk meninggalkan Nona Mireya."

Nigel menyarankan ini, karena dia tahu pasti ke depannya Mireya akan berbuat lebih nekat. Seperti contoh ingin melukai Luna. Tidak ada yang tidak mungkin. Mengingat sifat temperamental Mireya—maka apa pun bisa dilakukan wanita itu.

Mireya Light bukanlah orang yang sembarangan. Apa pun bisa saja dilakukan wanita itu, jika kondisi hatinya tengah marah besar. Sejak dulu Mireya sangatlah terobesesi pada Draco. Hanya saja ada satu kesalahan yang telah dilakukan Mireya—hingga membuat Draco Riordan menjadi mati rasa padanya.

Draco terdiam mendengar apa yang dikatakan Nigel. Tatapannya menatap lurus ke depan, dengan sorot mata tajam dan menyimpan sesuatu hal di sana. Sesuatu di mana tersirat menyimpan segudang siasat.

"Aku belum bisa meninggalkan Mireya, Nigel. Aku masih membutuhkannya," ucap Draco dengan tatapan yang semakin terhunus tajam penuh dendam.

***

Luna tidak bisa tidur pulas. Gadis itu hanyalah berpura-pura tidur di kala sang pelayan menengok dirinya di kamar. Hati dan pikirannya tidak tenang mengingat ada seorang foto wanita di ruang kerja Draco.

Begitu banyak pertanyaan muncul di kepala Luna. Gadis itu ingin tahu siapa wanita yang ada di foto itu. Dari foto, wanita cantik itu sudah cukup dewasa mungkin sudah mendekati usia kepala tiga.

Sarapan sudah terhidang di atas meja. Gadis itu sudah diantarkan sarapan oleh pelayan, tapi sayangnya dia tidak memiliki nafsu makan. Tentu pelayan sangat sigap mengantarkan makanan. Pastinya Draco sudah memberikan pesan pada pelayan untuk mengantarkan makanan padanya. Tetapi Luna tidak lapar! Yang diinginkannya adalah segera bertemu dengan Draco.

Tiba-tiba sesuatu hal muncul di dalam benak Luna. Gadis itu segera mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan mencoba menghubungi nomor Draco. Dia ingin segera berbicara pada Draco.

"Luna?" sapa Draco lebih dulu saat panggilan terhubung.

"D-Draco, maaf mengganggumu," ucap Luna pelan dan hati-hati.

"Kau tidak nenggangguku. Maaf tadi malam aku tidak pulang."

"Apa kau pulang masih lama, Draco?"

"Aku akan usahakan pulang lebih cepat."

"Draco..." Suara lembut dan manja seorang wanita terdengar dari seberang sana—dan sukses membuat raut wajah Luna berubah.

"Luna, nanti aku akan menghubungimu lagi."

"Draco, tapi—"

Tuttt ... tuttt ...

Panggilan tertutup sepihak. Pancaran mata Luna memancarkan jelas kesedihan yang mendalam. Dia mendengar suara wanita di dekat Draco. Itu menandakan bahwa Draco sedang asik bersama wanita lain.

Air mata Luna berlinang jatuh membasahi pipinya. Hati gadis itu merasa sangat hancur berkeping-keping. Pikirannya melayang-layang jauh memikirkan akan kenyataan di mana Draco bersama dengan wanita lain.

Draco tidak pulang.

Draco bersama wanita lain.

Dua fakta ini membuat Luna menarik kesimpulan Draco sudah bosan dan jenuh padanya. Padahal kemarin, dia meminta Draco untuk bekerja di rumah. Tapi sayangnya Draco malah pergi dengan wanita lain.

Draco lebih memilih bersama dengan wanita lain daripada menghabiskan waktu bersamanya. Pria itu tega meninggalkan Luna sendiri. Pun Draco tega mengabaikan keinginan Luna yang ingin berada di dekatnya kemarin.

Air mata Luna bercucuran jatuh membasahi pipinya. Gadis itu menyentuh dadanya yang terasa nyeri. "Apa mungkin Draco sudah bosan padaku?" isaknya sesegukan.

***

Draco menyalang menatap tajam Mireya yang memanggilnya saat dirinya tengah melakukan panggilan telepon pada Luna. Aura wajah pria itu menunjukkan jelas betapa dia tengah murka. Tapi sayangnya, dia tak bisa meledakan kemarahan karena kondisi Mireya masih terbaring di ranjang.

"Kau itu kenapa menggangguku, Mireya?! Kau tahu aku tadi sedang melakukan panggilan telepon!" seru Draco tegas. Jika Mireya sedang tidak sakit, maka dia pasti akan berteriak keras.

Bibir Mireya menekuk. "Kau tadi telepon dengan siapa?" tanyanya curiga.

Draco mengatur napasnya di tengah-tengah emosi melanda. "Aku berbicara dengan rekan bisnisku!" Pria itu terpaksa berdusta. Jika dirinya mengatakan menerima telepon dari Luna, pasti urusan akan menjadi panjang. Bukan karena dia takut, tapi dia malas berdebar dengan Mireya.

Bibir Mireya semakin tertekuk. "Kau tidak bohong, kan?"

Draco berdecak. "Untuk apa aku berbohong padamu! Cepat kau minum obat! Aku harus ke kantor. Aku memiliki banyak urusan."

Mireya merajuk. "Nanti dulu. Aku ingin dipeluk."

"Mireya," geram Draco emosi.

"Aku ingin dipeluk, Draco. Aku tidak mau minum obat. Aku juga tidak mau makan kalau kau tidak memelukku." Mireya berkata penuh ancaman.

Draco ingin sekali meloloskan umpatan kasar, tapi dia berusaha keras menahan emosi. Dengan raut wajah terpaksa Draco mendekat—dan refleks Mireya memberikan pelukan erat di tubuh Draco.

"Draco, aku sangat mencintaimu. Kau tahu itu, kan?" bisik Mireya lembut.

Draco hanya diam tak mengindahkan ucapan Mireya. Benaknya sekarang hanya memikirkan Luna. Dia yakin pasti Luna mendengar suara Mireya memanggilnya. Sialnya, dia membenci kondisi yang seperti sekarang ini.

Mireya seperti sengaja mencari-cari masalah. Jika sudah seperti ini, maka rencana Draco akan berantakan. Tapi tidak, pria itu sudah memiliki alasan tepat untuk beralasan pada Luna.  

Draco & LunaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin