Bagian Dua Puluh (3)

30.2K 3.3K 449
                                    

Dia abaikan si gadis bergaun hijau pendek tersebut mengekorinya sampai ke ruang bermain dimana Labelina seringkali menghabiskan waktu.

Bocah mini itu, dengan keringat bercucuran dan jidat mengerut serius, berayun cepat di atas kuda-kudaan kayu. Punggungnya membungkuk meniru orang dewasa saat mereka ngebut menyalip penunggang lain satu per satu. 

Baru juga melihat, Danzel sudah tak tahan ingin tertawa. Namun, ia menahannya sekuat tenaga hingga yang terjadi adalah reaksi kembang kempis di hidungnya.

Memang boleh menghayati peran dengan cara segemas itu?

Odetter melirik mereka bergantian, lantas memicing. Tuan Deus bilang Danzel dan Lala kakak-adik, tapi mereka sama sekali tidak mirip, tuh.

"Boleh aku numpang naik di belakang?" goda Danzel, menggoyahkan konsentrasi Lala.

Si Kecil spontan menengok ke punggung sesaat. Di belakangnya ada sandaran, jadi tidak muat. "Tak bica."

"Kenapa tidak langsung tunggangi kuda kerdilmu saja?"

"Lala halus belajal dulu."

"Oh, ya?" Memangnya bisa membandingkan kuda asli dengan mainan? Danzel menggigit bibir, mencegah tawanya pecah.

Pada kesempatan itu, Odett menyela dialog mereka. Dia sapa Lala dengan ekspresi biasa saja, tentu tak seniat saat dia mendekati Danzel. "Hai."

"Alo."

"Kau pasti sudah tahu aku, 'kan?"

"Ung."

Tentu saja tahu. Duke mengenalkan anak yang rambutnya dikepang dua lalu ditekuk seperti gantungan ini sebagai calon anaknya.

Ini mirip seperti teman-temannya dulu ketika mereka dibawa pulang oleh orang asing. Apa ya sebutannya? Otopsi? Otopet? Tidak, tidak. Harusnya ada huruf 'd'-nya. 

"Hei, kau dengar aku?"

Labelina mengerjap teringat sesuatu. Disaat begini dia harus memberi ucapan selamat atas otopsinya, 'kan?

"Celamat, ya, Nak," cicit Lala, menepuk-nepuk kepala Odett pelan.

"N-nak? Aku lebih besar darimu, tahu." Odetter tepis tangan Lala dengan sedikit kasar.

Kenapa Odett terlihat marah? Dia hanya menjiplak apa yang sering dilakukan orang dewasa pada anak yang akan diotopsi.

"Kenapa kalau becal?"

"Tentu saja kau tidak bisa memanggilku begitu."

"Kenapa?"

"Ku bilang karena aku lebih besar. Jangan panggil aku 'Nak'!"

"Lalu Lala halus panggil apa?"

Odett menepuk jidat saking frustasinya menghadapi Lala. "Odetter! Panggil aku Odett."

"Ung. Otet."

"Huh?"

Wajah cengo Odett semakin tak terkondisikan. Membuat Danzelion yang sedari tadi memperhatikan dari bangku gagal menahan kotak tertawanya menggelora.

Dia terpingkal sampai harus memegangi perutnya. "Puahahahahaha!"

Percuma mengganggu Lala, dia adalah makhluk polos sejagad raya yang tak mudah disenggol dengan kata-kata. 

*****

Matahari sudah begitu tinggi ketika Ilthera terhenyak dari ranjangnya. Sudut-sudut kamar yang dilapisi dengan ornamen warna emas sempat membuatnya pangling sekali. Dimana ini?

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang