Bagian Dua Puluh Dua (2)

18.5K 2.9K 44
                                    

"Lala, katanya mau beri makan Chocho sendiri?" tanya Joviette, menjinjing sekeranjang rumput sementara kepalanya menoleh ke anak empat tahun yang sedang jongkok di pojokan kandang.

"Lala cibuk."

Pria itu meringis gemas mendengar jawaban singkat Lala. Apalagi yang dia lakukan sekarang, tekun mengamati koloni semut yang berbaris melewati celah kakinya. Pffttt, sibuk apa sampai alisnya menyatu begitu?

"Cemutnya, meleka mau pelgi kemana?"

"Mereka mau berpindah ke tempat yang lebih hangat," sahut Joviette, lanjut memberi makan si kuda poni yang sudah kelaparan sejak tadi.

"Kenapa?"

"Karena sebentar lagi musim dingin."

"Kenapa?"

"Mereka bisa mati kedinginan kalau tidak berlindung di tempat yang hangat," jelas Joviette dengan sabar.

"Cepelti bluang?"

Bluang? Oh-, "Benar, seperti beruang."

Omong-omong soal beruang, binatang buas yang beberapa waktu lalu sempat diresahkan warga karena berkeliaran di kawasan penduduk itu akhir-akhir ini tidak kelihatan lagi. Tampaknya, karena musim dingin telah dekat, mereka bermigrasi ke tempat lain sebelum masa hibernasi.

"Darimana Lala tahu kalau beruang berpindah ke tempat hangat saat musim dingin? Apa Bubu-nya Lala yang bilang?" tanya Jov. Usai memastikan Chocho dapat menyantap makanannya dengan baik, pria berseragam ksatria itu menepuk-nepuk tangannya dari debu, kemudian menyusul jongkok di dekat Lala.

"Butan. Lala tahu dali Mimi."

"Haha, siapa lagi Mimi itu? Apa dia juga teman Lala?"

"Ung."

Joviette usap noda tanah yang menempel di pipi tembam si balita dengan jubahnya yang bersih. Sungguh mengesankan bagaimana takdir dapat mempertemukan dua manusia yang mustahil bertemu di tempat tak terduga.

Siapa sangka, bocah balita yang tidak sengaja mereka temui di tengah hutan rupanya adalah cucu kandung Margrave?

Jujur, selepas mengetahui bahwa ayah ibu Lala adalah orang yang Joviette kenal, pandangannya mengenai gadis kecil itu sedikit berubah.

Bukan benci atau kecewa, melainkan justru perasaan hutang budilah yang melingkupi hati Joviette.

Atlanika berisi orang-orang jahat, namun Jov yakin Hergan Crestio adalah pengecualian. Yeah, meski lelaki misterius itu menggunakan nama samaran tiap kali berkunjung ke panti asuhan.

Sedangkan Hara, jangan tanyakan. Dialah sosok yang paling dihormati Jov selain Duke dan Margrave. Ketika muda, gadis itu telah menjadi lanteranya anak-anak.

Dia banyak membantu meningkatkan semangat anak yatim piatu hingga mereka sama sekali tidak merasa kesepian. Tanpa usaha Nona Hara, Duke dan Margrave mungkin tidak akan mendanai seluruh panti asuhan di wilayah Aslett.

Joviette jadi ingin bersumpah setia untuk melayani balita menggemaskan ini seumur hidupnya sebagai ksatria.

"Eh, cuma ada kalian. Kak Danzel ada dimana?" tanya Odett tiba-tiba masuk kandang Chocho dan menginterupsi mereka. Dengan gaya angkuh, dia bersandar ambang pintu sambil bersedekap dan memainkan kuku.

"Alo, Otet."

"Sudah ku bilang namaku Odett!" sungut Odetter berkacak pinggang.

"Odyet?"

"Kau!" Tatapan Odett menggelap. Aura di sekitarnya mendadak menguarkan asap hitam pekat. Bak medusa, rambut kepangnya mendesis menyerupai ular berbisa. Sshhh!

Ralat. Sebenarnya, ilusi mengerikan yang dilebih-lebihkan ini hanya terlihat di mata panik Joviette saja.

"N-nona, Tuan Muda sedang ada ujian pedang hari ini! Beliau akan selesai sebentar lagi." Sebelum Odetter benar-benar meledak, Joviette cepat-cepat mengalihkan pembicaraan mereka.

Beberapa hari berlalu sejak Ilthera dan Odetter datang ke kastil, mereka sudah beradaptasi dengan baik. Sementara Ilthera fokus dengan pemulihan kondisi tubuhnya, Odett memanfaatkan waktu dengan mengintili Danzelion.

Karena pada jam-jam ini biasanya Danzel mengunjungi Lala, makanya ia datang kemari. Rupanya, Danzel belum terlihat batang hidungnya.

Yah, mau bagaimana lagi? Selagi menunggu Kakak tampan itu datang, dia bisa mengganggu anak rakus ini, 'kan? Begitu pikirnya sembari meneliti penampilan Labelina dari atas ke bawah.

Bagus, sesuai rencana. Ia berhasil meniru bajunya sama persis. Dengan cara ini, sedikit demi sedikit mungkin ia dapat menarik perhatian anak laki-laki Tuan Deus.

"Lala dan Nona Odetter silakan mengobrol berdua sebentar, ya? Paman mau ambilkan air dulu buat Chocho minum," pamit Joviette, pura-pura menyingkir.

Padahal, ia ingin mengambil kesempatan ini guna mengawasi apa yang kira-kira akan Odetter lakukan pada Lala ketika mereka sendirian.

Bukan maksud Jov mencurigai anak kecil berusia sepuluh tahun, hanya saja bocah perempuan dari Henvitas itu mewarisi kekuatan langka dari darah ayahnya. Jadi, seperti kata Tuan Duke, dia tidak boleh lepas pengawasan dari mereka.

"Hei, kenapa tiap hari kau kemari, sih? Apa bagusnya kuda itu?" Odetter mengajukan pertanyaan ketika Joviette sudah pergi.

Lala mengerjap. Lehernya yang tertutup syal tebal terarah pada Odett seorang. "Otet mau?"

"Mau apa?"

"Chocho."

Odetter tersentak dengan wajah merah padam. "Aku bertanya bukan karena menginginkan kudamu!"

Padahal dia cuma ingin meminjamkan kudanya sebentar. Kenapa Odett marah? Labelina benar-benar tidak mengerti. Oh, jangan-jangan dia kesal karena ...,

"Otet ili, ya?"

"Apa?"

"Ili."

"Siapa yang ili? Aku?"

"Iya. Otet ili, makanya malah-malah telus."

"Hah? Ili itu apa, sih?" Bisakah seseorang menjelaskan bahasa planet macam apa ini?

"Itu, loh, yang cuka dilakukan manucia jahat. Bubu bilang, anak-anak tak boleh ili. Yang cuka ili anaknya cetan."

Mulut Odett menganga lebar. Dia ingin melawan tapi tak tahu harus mengatakan apa. Pertama, dia tidak tahu apa itu 'ili'. Kedua, anak pemakan segalanya ini benar-benar lawan yang tangguh.

Segala macam gangguan tak berpengaruh padanya. Mau memprovokasi dengan cara apapun, nanti justru dia sendiri yang ujung-ujungnya kesal.

Jadi, Odett memutuskan untuk tak lagi mengajaknya berdebat atau dia hanya akan terserang darah tinggi. Lebih baik mencari tahu apa spesialnya putri Tuan Deus ini sampai orang-orang di kastil begitu menyukainya.

Be My Father?Where stories live. Discover now