Bagian Dua Puluh Dua (3)

31.2K 3.9K 228
                                    

Selepas berpamitan dengan Chocho, Labelina berjalan keluar kandang menuju kursi panjang dekat taman tak jauh dari tempat itu. Dia ingat ada bekal yang Nana siapkan di dalam tas teddy-nya.

Odetter mengikuti di belakang sambil mempelajari cara Lala melangkah dan berupaya menirunya semirip mungkin. Entahlah, bagi beberapa pelayan yang berpapasan, mereka terlihat seperti dua anak penguin yang mengitari taman. Imut sekali!

Sampai di bangku terdekat, Lala dengan susah payah menaiki tempat duduk yang begitu tinggi tersebut. Pertama, tempelkan dua tangan di atas bangku, naikkan satu kaki dulu, lalu putar badan, dan angkat kakinya yang satu lagi.

"Hupla!" Berhasil!

Lala melepas tas teddy dan meletakkannya di atas pangkuan. Betapa beruntung, dudukan orang dewasa itu masih muat untuk kaki pendeknya berselanjar.

Usai menyandarkan punggung, satu helaan napas panjang pun keluar dari mulut gadis kecil itu. "Huft, hidup ini belat," katanya.

Odetter terpengarah cengo. Apa sungguh akan baik-baik saja dia meniru sikap bocah aneh ini?

Selagi Labelina fokus mengobrak-abrik sesuatu di dalam tas, Odett akhirnya pasrah dan mau tidak mau ikut singgah di bangku tersebut.

"Sebentar lagi, 'kan, makan siang. Kenapa sekarang makan?" komentar Odett ketika Lala mengeluarkan sekotak macaron warna-warni dan botol dot berisi susu.

Sebetulnya, itu bukan dot. Hanya botol sedotan dengan dua gagang pegangan. Bentuknya saja yang menyerupai dot.

"Kalna Lala cedang beltalung dengan maca petubulan."

"Ha?" Odetter mengerutkan kening saking kerasnya berpikir. Maca petubulan apa?

"Lala halus menang!" imbuh Lala bertekad maksimal. Dia tengok kotak bekal tersebut dan mendapati hanya ada satu macaron cokelat diantara banyaknya rasa lain.

Raut mukanya seketika muram.

Tidak! Ini dia krisis kehidupan yang amat menyiksa batin balita! Labelina ingin macaron cokelat itu, tapi, bagaimana kalau Odett juga suka yang cokelat?!

Haruskah ia memberikannya? Bubu bilang anak baik harus berbagi. Tapi, hanya ada satu. Kalau diberikan Odett, kapan lagi ia bisa makan yang rasa cokelat?

Saat ini, bayi empat tahun itu sedang bergelut dengan dirinya sendiri.

K-kenapa dia mempelototi roti? batin Odetter merinding ngeri.

Dua menit berlalu. Akhirnya, Lala pun berhasil membuat keputusan setelah mempertimbangkan banyak hal matang-matang.

Karena Lala sudah dewasa, mari menjadi pribadi yang bijak. "Lala halus mengalah pada anak-anak," gumamnya, lantas menyerahkan macaron cokelat tersebut kepada Odetter dengan lapang dada.

"Otet mau?"

Mata karamel gadis sepuluh tahun itu menyipit curiga. Biasanya Lala akan membuatnya kesal, kenapa tiba-tiba dia berbuat baik?

"Otet halus banyak mamam. Bubu bilang kalau tak banyak mamam tak bica tumbuh tingi, loh."

"Aku tau, aku tau!" jengkel Odett segera mengambil macaron merah muda agar Lala berhenti mengomel.

Alih-alih tersinggung karena Odett melewatkan macaron cokelat yang dia sodorkan, wajah Lala justru berubah cerah seolah dia tak sengaja menemukan koin emas di jalan.

"Otet tak mau ini?" tanya Lala berbinar-binar.

Apa, sih? "Tidak."

"Cungguh? Ini buat Lala?"

Be My Father?Where stories live. Discover now