BAB 2

427 68 9
                                    

Jika semesta berbaik hati untuk membatalkan takdir, mungkin aku sudah bahagia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jika semesta berbaik hati untuk membatalkan takdir, mungkin aku sudah bahagia

Suara hujan berhasil membuat bising di bawah payung berwarna maroon. Waktu menunjukkan malam, tetapi hujan tak kunjung memberikan tanda akan berhenti walaupun sudah turun sejak pagi. Kali ini, prakiraan cuaca salah, mereka mengatakan hujan akan turun hingga senja dan senja menuju malam akan cerah. Kabar baiknya, beberapa orang sedia payung sebelum hujan tiba, seperti yang dilakukan sosok pemuda yang tengah berjalan- jalan di sebuah taman yang cukup jauh dari rumah. Bermodalkan payung dan ponsel yang ia bawa, terduduk tenang di atas kursi bawah dekat dengan pohon rindang.

Mungkin, ia lupa jika pohon bisa menjadi sarang petir. Namun, pemikirannya terlanjur melupakan hal itu dan memilih duduk, menghabiskan waktu sampai ia benar- benar bosan. Biasanya, ia akan menghabiskan waktu di taman yang tak jauh dari rumah, tetapi entah ingatan apa yang membawa nya kini duduk di taman sepi dan memberikan pemandangan bangunan sekolah yang begitu besar tak jauh dari tempat nya, bahkan lapangan terlihat jelas dari tempat ia duduk.

Hidupnya mungkin kini berada di tahun 2024, tetapi pikirannya tertinggal begitu jauh seolah kejadian di sekolah itu adalah kejadian kemarin yang masih ia ingat dengan jelas. Aroma kantin, aroma ruang penyiaran bahkan aroma musim semi yang begitu khas waktu itu masih ia ingat. Beberapa kenangan mengenai penyiaran pertama nya, sapaan dari beberapa teman di luar kelas, bahkan cerita pertama yang ia siarkan melalui radio pun pun masih diingat dengan jelas dan sosok yang menemaninya, senyuman nya dan suara nya masih mampu didengar.

Ia tak pernah lupa. Entah karena ingatannya terlalu bagus atau memang ia sengaja tidak melupakannya. Seharusnya, ia tidak menyimpan aroma pria itu bersama dengan musim semi hingga ia kesusahan sendiri ketika musim itu hadir. Harusnya, ia tidak menyimpan tawa pria itu di tengah hujan hingga ia tidak kesakitan sendiri. Benar, Jeon Jungkook merasa sakit karena hanya tersisa kenangan tawa belasan tahun lalu dan Jungkook tak pernah mendengar nya lagi setelah itu. Apa mungkin semesta memberikan kesempatan kedua untuknya? Atau mungkinkah semesta sudi membawa nya kembali ke masa lampau dan mengubah semua penyesalannya seperti di film- film? Tampaknya tidak. Belasan tahun ia menyesal dan belasan tahun juga semesta tidak membantunya.

"Jungkook, berhenti makan es krim ketika hujan." Jungkook mampu mengingat nya, ketika ia tengah melangkahkan kaki di tempat yang sama dan hujan juga turun begitu deras, bersama dengan Taehyung yang memegang payung dan menatapnya jengkel. Pria itu selalu mengatakan hal yang sama dan ia akan melakukan hal yang sama juga. "Jungkook, jika kau sakit, aku benar- benar akan melarangmu makan es krim." Suara itu memanggil ingatan yang lain, memanggil juga kenangan dan air mata yang lain hingga Jungkook hanya mampu melamun dan terpaku di tengah ingatan yang tak pernah ia lupakan.

"Taehyung, kau tahu? Dulu aku menentang untuk pindah sekolah." Suara itu membuat Jungkook memilih untuk menunduk dengan mata yang terpejam. Ia mampu merasakan nyeri di dada nya dan napas yang terasa begitu sesak. Dulu ia menentangkan keras untuk pindah ke kota bersama orang tua nya, ia pernah kabur ke pegunungan dan tak ingin pulang karena ia harus berpisah dengan teman- teman nya. Namun, semua yang ia lakukan gagal seolah semesta memang meminta nya untuk bertemu dengan pria yang masih dicintainya hingga hari ini, Kim Taehyung.

Obscure SorrowsWhere stories live. Discover now