70 | Penyamaran

558 59 20
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Reza menerima pakaian yang sama dengan yang akan Zuna pakai malam itu. Pakaian itu benar-benar persis seperti pakaian perawat rumah sakit di bawah pimpinan Rosna. Kedua pria itu bersiap-siap di dalam sebuah minibus yang disediakan oleh Septian. Bahkan, Septian sudah stand by di bagian depan minibus karena akan ikut memantau semua hal yang Zuna dan Reza lakukan di dalam rumah sakit.

"Kamera pada baju yang kalian pakai itu sudah terpasang dan aktif. Semua hal yang kalian lakukan nanti akan bisa kami lihat dari layar yang ada di mobil ini. Jangan lupa pakai alat komunikasi di telinga kalian. Saya akan memberikan arahan jika seandainya ada yang mencurigai kalian saat sedang menyelidiki ruangan khusus itu," ujar Septian.

"Baik, Pak Septian. Kami berdua akan memakai alat komunikasi dan akan selalu mengikuti arahan dari Bapak. Kami berdua tidak akan membantah," tanggap Zuna, sekaligus mewakili Reza yang sejak tadi diam saja.

Reza jelas sudah merasa tidak sabar ingin kembali ke rumah sakit. Ia ingin segera bisa memasuki ruangan khusus jenazah itu, agar semua rasa penasaran yang bercokol di dalam hatinya bisa segera diakhiri. Zuna memahami hal itu, sehingga mempercepat pembicaraannya dengan Septian. Mereka berdua keluar dari minibus tersebut tak lama kemudian, lalu segera memasuki area gedung rumah sakit melalui pintu dari bagian samping. Wajah keduanya sudah tertutupi dengan masker. Reza berinisiatif meraih sebuah troli berisi peralatan medis yang biasa dibawa oleh perawat. Tidak lupa, pria itu juga langsung memakai sarung tangan lateks agar tidak ditegur oleh siapa pun ketika mendorong troli tersebut.

"Kenapa kamu langsung memakai sarung tangan, Za?" tanya Zuna, merasa heran.

"Ini troli berisi peralatan medis yang akan dipakai untuk operasi, Zu. Lihat itu, ada pisau bedah dan lain sebagainya. Jadi kalau aku mendorong troli ini tanpa sarung tangan lateks, nanti aku akan ditegur karena dianggap telah membuat peralatan medis ini tidak lagi steril," jawab Reza.

Kedua mata Zuna membola dalam sekejap.

"Wah ... kenapa jadi kamu yang terlihat lebih ahli dalam tugas penyamaran daripada aku yang sudah sering berlatih? Aku malah enggak tahu apa-apa, loh, soal yang barusan kamu jelaskan."

"Makanya, kalau buka Google jangan cuma mencari topik 'cara memperlakukan pasangan secara romantis', Zu. Buka juga topik 'cara bersikap menjadi perawat di rumah sakit'. Dalami dulu peranan yang akan kamu jalani, baru menyamar," saran Reza.

Zuna langsung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal setelah Reza menyebutkan riwayat pencarian Google-nya dengan akurat. Keduanya langsung berjalan bersama dan membaur di tengah keramaian para penjenguk yang belum meninggalkan rumah sakit. Hal itu jelas menjadi kesempatan bagi Reza dan Zuna untuk mendekat ke arah ruangan khusus jenazah yang terkunci.

"Ini sudah pukul tujuh malam. Tapi tampaknya para penjenguk belum ada yang meninggalkan rumah sakit," bisik Zuna.

"Jadwal jenguk pasien di rumah sakit ini sampai jam sembilan malam, Zu. Tadi aku sempat membaca jadwalnya saat masih menunggu di depan ruang ICU," jelas Reza, ikut berbisik.

"Ah ... pantas saja keadaan masih seramai ini."

Septian melihat datangnya beberapa perawat lain dari arah belakang Zuna dan Reza. Hal itu membuatnya takut kalau kedua pria itu akan dihampiri oleh beberapa perawat tersebut.

"Segera bergerak dari sana, Pak Zuna. Ada kemungkinan yang harus kalian hindari," titah Septian.

Mendengar perintah itu, Zuna dan Reza pun langsung kembali beranjak dari posisi mereka saat itu. Keduanya memasuki lorong panjang yang berada tidak jauh dari ruang khusus jenazah yang mereka tuju. Tampaknya lorong panjang itu adalah kamar-kamar pasien kelas tiga. Langkah ke arah sana jelas membuat para perawat sungguhan di rumah sakit itu tidak lagi tertuju pada mereka. Para perawat itu kini mengambil jalan lain dan tidak lagi mendekat pada Zuna maupun Reza.

"Sebaiknya kalian tidak sering berhenti di tengah jalan. Banyak yang akan curiga kalau kalian mendadak berhenti di tengah jalan seperti tadi," saran Septian.

"Baik, Pak. Kami tidak akan lagi berhenti di tengah jalan," balas Zuna, sengaja memelankan suaranya.

Reza menarik lengan Zuna agar ikut dengannya mengambil jalan memutar di ujung lorong panjang tersebut. Zuna cukup kaget karena dirinya mendadak di tarik seperti itu oleh Reza. Namun ia tidak bisa protes karena Reza juga mendadak mempercepat langkahnya. Pria itu menepikan troli yang dibawanya tadi, lalu meninggalkannya begitu saja saat menemukan lorong panjang lainnya di bagian rumah sakit itu. Reza ternyata membawa Zuna ke sisi lain dari ruangan khusus jenazah yang menjadi tujuan mereka. Dari sana mereka bisa memantau gerak-gerik para perawat maupun cleaning service tanpa harus dicurigai oleh siapa pun.

"Para perawat akan segera bertugas mengecek kondisi pasien sekaligus memberikan obat di kamar-kamar sesuai dengan kelasnya. Tadi aku sempat membaca sekilas jadwal kerja mereka yang tertempel di dekat pos perkumpulan itu. Kalau mereka sudah mulai memasuki kamar-kamar pasien, maka kita akan memiliki waktu untuk mendekat ke ruang khusus jenazah itu," ujar Reza.

Lagi-lagi kedua mata Zuna membola seperti tadi.

"Ya ampun, Za. Cepat sekali matamu itu melihat sekeliling. Bisa-bisanya kamu membaca jadwal para perawat padahal tadi kita cuma lewat saja di depan pos perkumpulan mereka," heran Zuna.

"Aku memang hobi mengawasi sesuatu secara cepat, Zu. Sudahlah, jangan merespon berlebihan begitu," mohon Reza.

Ketika akhirnya para perawat benar-benar memasuki kamar-kamar pasien, Zuna dan Reza segera bergerak menuju ke ruangan khusus jenazah. Zuna baru saja akan mencoba membuka pintu digital ruangan itu dengan cara membongkarnya, ketika Reza mengeluarkan sebuah kartu yang terpampang nama dan foto Rudi di atasnya. Hal itu membuat Zuna kembali menatap ke arah Reza dengan ekspresi tidak percaya.

"Kamu nyopet dompetnya Rudi, Za?" tanya Zuna, ingin memastikan.

"Tidak perlu nyopet segala, ya, Zu! Jangan menuduhku seperti itu, nanti aku dikira pencopet betulan! Tadi siang 'kan dia sekarat. Mana ingatlah dia sama dompet dan ponselnya. Jadi aku berinisiatif mengamankan dompet dan ponselnya sebelum dia dibawa menggunakan ambulans. Lumayanlah, akhirnya aku bisa mendapatkan kartu ini dari dompetnya yang belum aku kembalikan," jawab Reza.

"Hm ... bahasamu. Me-nga-man-kan. Entah apa yang aman dari dompetnya Rudi setelah kamu memegang dompet itu," sindir Zuna.

Tit!

Pintu ruang khusus jenazah itu akhirnya terbuka, sehingga mereka bisa masuk ke dalam dengan aman. Pintu yang tadi mereka buka otomatis tertutup kembali, setelah mereka masuk ke dalam. Keadaan di dalam ruangan itu sangatlah dingin dan dipenuhi oleh lemari-lemari khusus penyimpanan jenazah.

"Kami sudah di dalam ruangan khusus jenazah, Pak Septian," lapor Zuna.

"Bagus. Segeralah bergerak sebelum ada orang yang masuk ke sana," tanggap Septian, yang masih fokus menatap ke arah layar.

* * *

Rahasia Di SekolahWhere stories live. Discover now