72 | Kembali Ke Rumah Sakit

546 62 18
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Zuna menatap ke arah jasad yang sedang ditangisi oleh Reza. Tatapnya kemudian beralih ke arah sosok Sekar yang tengah berdiri tidak jauh dari lemari penyimpanan jenazah tersebut. Di wajahnya tergambar kesedihan yang begitu dalam ketika menatap Reza yang tengah menangis. Sekar pasti merasa sedih, karena harus melihat bagaimana sakit hatinya Reza ketika menemukan jasadnya yang selama ini disembunyikan oleh Rudi. Zuna tahu akan hal itu, karena ia juga pernah ada di posisi Reza dan melihat sendiri bagaimana raut wajah arwah Rania terakhir kali sebelum dimakamkan.

"Sudah, jangan menangis terlalu lama, Za. Sekar sedang melihatmu. Dia ikut bersedih karena kamu bersedih seperti ini saat melihat jasadnya," bisik Zuna.

Bisikan itu langsung menyadarkan Reza dan membuatnya menyeka airmata yang membanjir di wajahnya. Ia tidak mau Sekar melihatnya bersedih. Ia tidak mau Sekar ikut merasa sedih atas dukanya yang mendalam. Sekar harus tahu, bahwa Reza akan berbahagia mulai sekarang, terutama setelah ia menemukan jasadnya.

"Sebaiknya kalian segera keluar dari sana. Jangan sampai ada yang masuk," saran Septian.

"Baik, Pak Septian. Kami akan segera keluar dari sini," tanggap Zuna.

"Keluar dari sini? Lalu bagaimana dengan jasad Sekar?" tanya Reza, yang tidak rela meninggalkan jasad Sekar di ruang khusus jenazah itu.

"Jasad korban saat ini tetap harus dibiarkan di sana, Pak Reza. Hal itu harus dilakukan agar kita bisa menangkap Rudi Herbowo tanpa membuatnya bisa mengelak," jawab Septian.

"Benar, Za. Jasad Sekar harus tetap ada di sini. Karena aku dan Diana akan membuat Rudi tidak bisa membantah fakta yang kami temukan mengenai keterkaitannya," tambah Zuna, agar Reza bisa memahami.

Reza pun mengangguk, pertanda bahwa ia paham bahwa Zuna dan Diana memang sudah punya rencana yang rapi untuk penangkapan Rudi. Zuna mengambil gambar beberapa kali menggunakan ponselnya. Jasad Sekar pun kemudian kembali dimasukkan ke dalam lemari penyimpanan jenazah, setelah Zuna selesai dengan kegiatannya. Ketika pintu lemari itu tertutup kembali, keduanya segera beranjak dari sana dan keluar dari ruangan tersebut. Mereka kembali membaur dengan para penjenguk yang masih berada di rumah sakit. Keberadaan mereka benar-benar tidak terlihat, hingga akhirnya bisa keluar dari sana tanpa mendapat hambatan.

Septian menatap kedua pria itu ketika mereka berhasil kembali ke minibus. Semua hal yang tadi mereka lalui sudah terekam jelas dan rekamannya akan disimpan sebagai bukti untuk memberatkan hukuman yang Rudi terima nantinya. Setelah Zuna dan Reza kembali berganti pakaian, Septian tampak ingin bicara dengan keduanya sebelum pergi.

"Sekarang bantulah Diana di dalam sana agar tidak terlalu dekat dengan tersangka. Meski Diana masih berada dalam tugas penyamarannya, dia tetap harus menjaga jarak sedikit dari tersangka," ujar Septian, kepada Zuna.

"Baik, Pak. Tentu saja kami berdua akan membantu Diana malam ini. Kebetulan, saya memang ingin membuat tersangka menggondok semalaman sebelum nantinya kita akan menggiring dia ke penjara," janji Zuna.

Reza jelas tahu apa maksud dari ucapan Zuna. Zuna jelas sudah merasa geram seharian karena terus saja melihat Diana berada di dekat Rudi. Pria itu mungkin tidak menunjukkannya secara langsung soal rasa geramnya, tapi caranya bicara sangat kentara sekali bahwa dirinya merasa cemburu berat.

"Sebaiknya memang begitu. Diana tidak boleh terlalu dekat dengan tersangka, karena kamu akhirnya juga berhasil menemukan keterkaitan antara tersangka dengan kasus kematian Helmi Rosadi. Jadi, akan ada dua kasus pembunuhan yang menjerat tersangka nantinya," tambah Septian.

Setelah Septian pergi bersama anggota kepolisian yang lain, Zuna dan Reza pun kembali berjalan menuju ke arah rumah sakit. Kali ini, mereka berjalan memasuki rumah sakit itu dari pintu bagian depan. Reza masih memikirkan ucapan Septian yang terakhir. Hal itu membuatnya terus menatap ke arah Zuna.

"Yang dimaksud oleh Pak Septian tadi itu apa, ya, Zu? Rudi akan menghadapi dua kasus sekaligus? Apakah, Rudi adalah orang yang membunuh Almarhum Helmi dan membuatnya terlihat seperti bunuh diri?" tanya Reza.

Zuna pun mengangguk.

"Ya. Itu benar, Za," jawab Zuna. "Soal ruangan yang didatangi oleh Rudi saat jam pelajaran di sekolah masih berlangsung, yang kamu kabarkan padaku siang tadi, adalah ruangan yang menyimpan barang-barang milik Rudi yang terkait dengan usaha pembunuhan terhadap Almarhum Helmi. Semua buktinya aku dapatkan di sana dan sudah aku amankan di kantor. Jadi, setelah dia tertangkap nanti, tidak akan ada lagi kesempatan baginya untuk lolos dari dua kasus pembunuhan tersebut. Baik itu kasus pembunuhan terhadap Helmi ataupun kasus pembunuhan terhadap Sekar."

Reza sedikit merasa lega setelah mendengar soal penemuan bukti penting itu. Hal itu jelas akan membuat jalannya penangkapan Rudi semakin lebar terbentang. Keduanya akhirnya tiba kembali di depan ruang perawatan yang Rudi tempati. Mereka masuk ke sana bersama-sama, bertepatan dengan baru selesainya Diana menyuapi Rudi. Reza melirik sekilas ke arah Zuna, namun Zuna jelas hanya memasang wajah biasa meski tahu kalau Rudi baru saja mendapat perlakuan istimewa dari Diana.

"Assalamu'alaikum," ucap Reza dan Zuna, kompak.

"Wa'alaikumsalam," jawab Diana. "Loh, kalian datang berdua? Bukannya tadi yang akan datang ke sini hanya kamu, ya, Zu?"

"Tadinya begitu. Tapi karena ada yang merengek minta dijemput dan dibawa ke sini, otomatis aku jadi putar balik mobil di tengah jalan untuk menjemputnya," jawab Zuna, sambil melirik sengit ke arah Reza.

Reza menutup kedua matanya sambil berusaha mengikuti alur cerita yang dibangun oleh Diana dan Reza. Kali ini ia jelas harus siap menjadi sasaran, karena ternyata arisan atas namanya akan jatuh dengan sangat mulus.

"Aku enggak merengek sama sekali, Na. Zuna terlalu melebih-lebihkan," balas Reza, setelah berpikir sejenak.

"Terlalu melebih-lebihkan, katamu? Siapa yang batal jalan-jalan sama pacar di malam minggu yang cerah ini dan terus-terusan curhat di sepanjang jalan? Siapa? Aku atau kamu?" sindir Zuna, sambil menaikkan salah satu alisnya.

"Oh ... jadi kamu merengek minta dijemput oleh Zuna karena tidak jadi pergi ngapel, ya? Hm, ck-ck-ck-ck-ck! Makanya, segera nikahi pacarmu. Kalau sudah kamu nikahi, jangankan malam minggu, Za. Malam senin, malam selasa, malam rabu, dan malam-malam mana pun pasti bisa kamu ajak dia jalan," ujar Diana, sambil tertawa pelan.

"Heh! Aku enggak butuh diberi wejangan, ya, Na!" protes Reza. "Aku juga tahu kalau sudah menikah dengan kekasih hatiku, ya, pastinya bisalah aku ajak dia jalan-jalan kapan pun yang aku mau! Sudah ... jangan diteruskan. Kita ada di sini untuk menjaga Pak Rudi yang masih sakit. Bukan untuk memberi ceramah rohani kepadaku."

Zuna dan Diana pun melakukan tos dengan perasaan puas. Menjatuhkan arisan atas nama Reza memang selalu membuat mereka merasa terhibur.

"Kalau begitu, ayo, sekarang bantulah aku membuat Rudi meminum obatnya. Dia benci obat dan harus dipaksa minum jika ingin obatnya tertelan," ajak Diana.

Rudi mendelik seketika, saat tahu kalau Zuna dan Reza yang akan membantunya minum obat.

"Loh, kok jadi mereka yang akan membantuku, Na?" tanya Rudi, berupaya menolak.

"Tenaga mereka berdua lebih kuat dari tenagaku, Rud. Jadi, akan kuserahkan urusan minum obatmu itu kepada mereka," jawab Diana, seraya tersenyum sangat manis.

* * *

Rahasia Di SekolahWhere stories live. Discover now