71 | Ditemukan

619 80 27
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Kedua pria itu kembali saling menatap satu sama lain, setelah mendengar perintah yang Septian katakan melalui alat komunikasi. Tatapan mereka mulai terarah pada lemari-lemari penyimpanan jenazah yang ada di dalam ruangan itu, setelah Zuna menunjuk salah satunya.

"Sepertinya kita harus membuka satu persatu lemari penyimpanan jenazah itu, Za," ujar Zuna.

"Tidak masalah, Zu. Meski harus melakukan hal yang lebih gila lagi sekalipun, aku tetap akan melakukannya demi menemukan jasad Adikku," tanggap Reza.

"Hm, aku paham. Ayo, sebaiknya kita segera memulai," saran Zuna.

Mereka pun memisahkan diri. Pintu-pintu lemari penyimpanan jenazah mulai mereka buka satu-persatu. Mereka menarik pegangan alas jenazah yang terdapat pada bagian bawah, ketika pintu lemari penyimpanan itu terbuka. Dengan begitu, mereka bisa memastikan jenazah siapa yang ada di dalam lemari penyimpanan tersebut, berhubung tidak adanya nama yang tertulis pada pintu depan lemari.

"Semua jenazah dalam ruangan ini adalah jenazah yang tidak diketahui asal-usulnya dan juga tidak pernah dicari oleh pihak keluarga yang merasa kehilangan anggota keluarganya. Jadi mau tidak mau, kita harus bekerja keras seperti ini," ujar Zuna.

"Kalau semua lemari penyimpanan jenazah ini penuh oleh jenazah tanpa nama dan asal-usul, maka sudah jelas kita harus membuka sekitar delapan puluh pintu," sahut Reza, yang sedang membuka pintu keenam dari lemari nomor dua.

"Aku rasa kita akan membutuhkan tukang pijat setelah penyamaran ini selesai," pikir Zuna.

"Nanti saja urusan pijatnya, Zu. Sebaiknya kita fokus saja pada urusan Rudi lebih dulu, karena dia adalah target utama kita yang hampir sekarat," saran Reza.

"Kalau urusan Rudi biarlah Diana yang mengurus, Za. Diana jelas lebih handal dalam urusan menghalau langkah Rudi daripada kita berdua," balas Zuna.

Perawat yang masuk ke ruang perawatan VVIP yang Rudi tempati baru saja selesai menyuntikkan obat pereda nyeri melalui selang infus. Perawat lainnya--yang mendampingi--sedang mencatat tekanan darah dan juga suhu tubuh Rudi yang baru selesai diperiksa. Diana terus memperhatikan dalam diamnya. Ia benar-benar mendampingi Rudi dan tidak pernah meninggalkannya, seakan hal itu adalah bentuk perhatian khusus yang Diana berikan. Rudi merasa senang karena Diana ada di sisinya. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran Diana setelah beberapa jam mereka lalui bersama.

"Berapa suhu tubuh dan juga tekanan darahnya, Suster?" tanya Diana, seakan ingin memastikan.

"Tekanan darah Bapak Rudi saat ini sangat normal, Bu. Seratus dua puluh per delapan puluh. Sementara suhu tubuhnya masih agak meningkat, yaitu tiga puluh delapan koma dua derajat celcius," jawab Suster yang tadi mencatat perkembangan Rudi.

"Obat yang harus diminum jangan lupa diminumkan, ya, Bu. Lalu perbanyak saja minum air putihnya, agar suhu tubuh Pak Rudi bisa cepat turun," saran Suster yang satunya lagi.

"Baik, Suster. Akan saya perhatikan minum obatnya, minum airnya, dan juga suhu badannya. Terima kasih banyak, Suster," ucap Diana.

"Sama-sama, Bu," jawab kedua Suster tersebut, kompak.

Setelah para perawat itu keluar dari ruangan tersebut, Diana pun segera kembali menuangkan air mineral ke dalam gelas.

"Tuh, sudah dengar sendiri, 'kan? Apa yang kubilang tadi benar-benar tidak meleset. Suhu tubuhmu sudah meningkat sejak memasuki waktu maghrib dan kamu terus menolak untuk banyak minum air. Kamu itu terkadang susah dinasehati, ya. Padahal aku membujukmu sejak tadi demi kebaikanmu sendiri, loh, Rud," omel Diana, seraya membantu Rudi untuk minum.

Setelah menghabiskan air minumnya, Rudi pun kembali berbaring seraya menatap ke arah Diana.

"Maaf, Na. Aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Maaf juga kalau aku tidak mendengarkan bujukanmu sejak tadi. Aku akan rajin minum mulai sekarang. Aku janji," ujar Rudi, bersungguh-sungguh.

Diana--yang sedang membuka tempat makan setelah tadi dibawakan oleh perawat--hanya diam saja dan tidak menanggapi. Ia mulai menyuapi Rudi pelan-pelan, agar laki-laki itu tidak kesakitan saat membuka mulutnya. Rahang kiri Rudi masih sedikit bengkak akibat terkena lemparan laci yang dilakukan oleh arwah Helmi. Jadi sudah jelas hal itu akan membuat Rudi kesulitan membuka mulutnya.

"Makanan ini harus habis. Kalau kamu tidak mau habiskan, maka aku akan menganggap janjimu barusan adalah dusta," cetus Diana.

Kedua mata Rudi mendadak membola usai mendengar hal itu. Ia segera menelan makanannya dengan susah payah, agar bisa kembali bicara dengan Diana.

"Kenapa sekarang kamu malah mengancam aku, Na? Kenapa harus begitu?" tanya Rudi.

"Karena aku bosan membujukmu. Kamu semakin dibujuk, semakin enggan mau mendengarku. Jadi, ya sudah, aku lebih memilih mengancam kamu daripada membujuk," jawab Diana, apa adanya.

Rudi pun tertawa pelan usai mendengar jawaban yang Diana berikan. Diana pun ikut tertawa, lalu kembali menyodorkan satu sendok makanan ke mulut Rudi. Rudi merasa Diana begitu lucu dan menghibur, sehingga membuat dirinya tidak segan-segan untuk tertawa. Baginya, ancaman yang Diana berikan jelas bukan ancaman sungguhan. Ancaman itu hanyalah bahan lelucon yang Diana cetuskan untuk membuat Rudi merasa terus nyaman bersamanya.

"Nanti bantu aku minum obat juga, ya, Na. Soalnya aku benar-benar tidak suka minum obat dan sering sekali tidak mau minum meski dibujuk," pinta Rudi.

"Tenang saja. Jangankan membantumu minum obat, Rud. Kalau nanti kamu tidak bisa tidur akibat rasa sakit di seluruh tubuhmu yang masih terasa, aku juga akan membantumu agar bisa tidur. Itu sudah tugasnya orang yang menjagai orang sakit. Paham, 'kan?" balas Diana, benar-benar terlihat seperti sedang menceramahi Rudi.

Di ruangan khusus jenazah yang sedang disusupi oleh Reza dan Zuna, keadaan masih setenang saat mereka masuk ke sana. Tidak ada yang datang dan tidak ada yang berusaha masuk ke sana untuk memeriksa sesuatu. Hal itu membuat Reza maupun Zuna leluasa melakukan tugas mereka di tengah pantauan Septian dari jauh. Reza tiba pada bagian ujung lemari nomor enam. Hanya tinggal satu pintu lagi dari lemari nomor enam itu yang belum ia periksa. Ia terdiam sejenak untuk mengatur nafasnya yang agak sedikit terengah-engah. Ada sedikit perasaan putus asa yang terselip di dalam hati Reza saat itu. Ia merasa benar-benar sulit untuk melanjutkan tugasnya, karena takut kalau ternyata jasad Sekar tidak ada pada salah satu lemari penyimpanan jenazah di ruangan itu. Ia takut harapan besarnya kembali hancur berantakan. Ia takut kalau akhirnya akan kembali mendapatkan kecewa.

Saat dirinya sedang menghadapi gelombang rasa bimbang itu, sesuatu yang terasa sangat dingin mendadak menghampirinya. Ia sudah sering merasakan hawa sedingin itu saat berada di SMP GENTAWIRA, dan ia menyadari bahwa itu adalah hawa dingin yang sama dengan hawa kehadiran arwah Sekar saat sedang bersamanya.

"Sekar? Dek? Apakah ini adalah kamu?" tanya Reza, sangat lirih.

Tangan Reza mendadak bergerak sendiri menuju tuas pada pintu lemari yang sedang ia hadapi. Sosok Sekar memang ada di sisinya dan saat ini sedang menuntun Reza untuk segera membuka pintu tersebut. Ketika akhirnya pintu lemari itu terbuka, Reza pun bergegas menarik pegangan alas jenazah yang ada di bagian bawah. Tubuhnya mendadak menegang dan terserang gemetar yang sangat hebat, kala akhirnya menatap wajah pucat nan cantik milik Sekar dari jarak yang begitu dekat.

"Zu," panggil Reza.

Zuna mendengar panggilan itu, lalu segera berlari mendekat ke arah lemari nomor enam.

"Iya, Za? Ada apa?" tanya Zuna, seraya mendekat.

Sayangnya, kedua kaki Reza tidak dapat lagi menopang tubuhnya, hingga akhirnya pria itu jatuh berlutut di lantai. Zuna segera meraihnya sebelum benar-benar jatuh terbaring akibat hilang keseimbangan. Reza masih sadar, namun wajahnya sudah dibanjiri airmata ketika Zuna menatapnya dengan jelas.

"Itu ... itu jasad Sekar, Zu. Itu ... itu jasad Adik kesayanganku," lirih Reza, sambil menahan sakit yang menusuk-nusuk di hatinya.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

Rahasia Di SekolahWhere stories live. Discover now