Sidang

228 36 8
                                    

Bus tahanan datang membawa para tahanan untuk melaksanakan sidang. Gempa turun menjadi salah satu dari para tahanan tersebut.

Ketidakadilan ia rasakan saat melihat siapa yang seharusnya berada dibalik jeruji besi sedang tersenyum penuh kemenangan.

Gempa melihat para saudaranya yang tersenyum menyemangatinya. Ia tersenyum seakan ia tidak kenapa-napa.

"Gem, bagaimana dengan pengacaranya? Kau selalu menolak saat akan dicarikan pengacara oleh Taufan."

"Aku tidak ingin merepotkan kalian. Kalian tidak perlu khawatir, aku sudah ada pengacara yang bisa diajak kerja sama." Jelas Gempa.

"Sungguh?" Gempa mengangguk. "Keadilan akan ada ditempat yang seharusnya. Kalian tak usah khawatir," Kata Gempa berbisik kepada Ais.

Gempa berjalan kearah Blaze yang sedang menenangkan diri sendiri. Ia merapalkan banyak kata-kata agar tetap tenang saat mendengarkan pernyataan orang atau mungkin ayahnya di ruang sidang nanti.

Gempa menepuk bahu anak itu, tersenyum padanya. Sedetik kemudian Blaze menyadari tatapan Gempa lalu mengangguk. "Tunggu suasana memanas." Blaze mengangguk patuh.

"Aku menuntut kebebasan mu, Gem. Buat ayah kehilangan mukanya yang selama ini ia agung-agung kan," Celetuk Blaze yang dihadiahi anggukan oleh Gempa.

Mereka semua berjalan beriringan ke dalam ruang sidang. Gempa dibawa ke tempat duduk khusus sebagai terdakwa.

Tidak beberapa lama mereka semua menjalani sidang. Awal-awal lancar sebelum nama Gempa disebut.

"Gempa Raenggae, anak yang dilaporkan telah membunuh sang ibu sesaat setelah izin pulang sekolah karena sakit. Saat itu Gempa berumur 15 tahun dan melakukan aksinya disore hari pada waktu 15.40 Wib." Jelas sang hakim saat membaca laporan.

"Diduga terdapat bukti sidik jari di pisau yang digunakan untuk menusuk ibunya, juga foto korban saat ditempat kejadian." Lanjut sang hakim.

"Kepada terdakwa, apakah laporan ini benar adanya jika anda melakukan pembunuhan kepada ibu anda?" Tanya hakim tersebut memastikan.

Gempa diam sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Laporan tersebut tidak benar adanya. Saat itu saya sedang tidur untuk beristirahat setelah minum obat yang ibu berikan." Ucap Gempa. Sang hakim mengangguk.

"Baik. Lalu, apa benar sidik jari yang berada dipisau yang digunakan untuk membunuh ibu anda adalah sidik jari anda?"

Gempa terdiam. Ia menatap hakim mantap lalu mengangguk. "Benar, itu sidik jari saya."

"Bisa anda jelaskan tentang itu?" Pinta sang hakim. Gempa tetap menatap sang hakim berusaha untuk tidak gentar.

"Saya sempat menyentuh pisau tersebut setelah kejadian berlangsung."

"Apakah ada saksi yang melihat itu?" Gempa menggeleng.

"Sudah jelas tidak ada. Dia pasti menunggu waktu yang pas untuk membunuh. Sejak kapan ada yang membunuh disaat semua orang melihatnya." Ujar sang pengacara ayahnya memanasi ruang sidang.

"Tidak bisa begitu! Sudah dijelaskan oleh anaknya sendiri bukan kalau saat itu ia sedang sakit!" Jawab Hamam. Seluruh saudaranya melongo melihat pengacara milik Gempa. Halilintar mengenal jelas siapa pengacara tersebut.

Yang dikatakan Blaze benar, jika sang pelaku sudah 10 langkah, maka Gempa sudah 50 langkah kedepan.

"Bisa saja saat itu dia hanya beralasan." Jawab sang pengacara andalan ayah mereka. Bisa dilihat jika muka ayahnya tampak masam walaupun tetap berusaha tenang.

Banyak yang datang di persidangan mereka. Faro dan Yian juga ikut memperhatikan persidangan. Jangan salah, sang pelaku juga berada disana.

"Apakah ada yang tau jika Anda sedang sakit saat itu?" Tanya sang hakim setelah mengetok palu menyuruh kedua pengacara itu untuk diam.

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang