Bahagianya Taufan

163 20 10
                                    

"Gar? Lu!" Laut menunjuk Gara yang hanya menunjukkan cengirannya.

"Ape kabar lu? Sehat?" Tanya Gara berusaha terlihat biasa saja. "Gue mah sehat-sehat aja. Lu! Kesel gue ama Lu!" Laut memukul adik sepupunya sedikit kuat. Untung saja Gara adalah adik sepupunya, jika tidak, sudah ia hantam orang itu.

"Tenang... Tar lagi gue punya ponakan. Lu kapan?" Tanya Gara mengejek Laut. Laut sudah terbiasa akan hal itu. Ia menatap sinis Gara. Gara sudah seperti emak-emak yang kata-katanya menusuk banget dihati kecilnya.

"Cih, tenang aja! Gue udah punya calon! Tunggu aja undangan gue didepan pintu rumah lu!" Laut memukul pundak Gara sedikit kuat. "He eleh! Lamban lu! Gue tunggu sebulan lagi!"

"Tunggu aja,"

Disisi lain, Yana diinterogasi oleh Blaze. Blaze menatap tajam Yana seolah ia tengah berhadapan dengan pelaku kriminal.

"Kak," panggil Blaze saat sudah beberapa menit lamanya ia diam. Yana diam menatap takut Blaze yang akan menginterogasinya.

"Gara Deeparco, bukan? Apa motif mu?" Tanya Blaze seakan sudah tau apa yang akan terjadi. Ais yang baru saja bangun itu menatap datar saudaranya. Duri juga ikut menatap bingung.

"Memang kenapa?" Tanya Yana, matanya mengerjap bingung.

"Kau tidak bisa melupakan kejadian puluhan tahun itu. Keluarga Deeparco musnah karena kakek mu," jawab Ais jengah. Yana menetralkan nafasnya yang tak beraturan akan penuturan Ais.

Masih ingatkan, Ais yang selalu mengetahui rahasia saudaranya?

"Itu tak ada hubungannya dengan ku,"

"Tapi Hamam ada hubungannya dengan ibu mu," kata Ais memotong perkataan Yana. Blaze dan Duri menganga tak percaya. Ais sudah mengetahui sejauh itu.

Yana langsung menangis. Membuat mereka sedikit iba. Mereka mengerti rasanya tidak memiliki siapa pun, namun malah dituduh sebagai pelaku tindak kriminal seperti itu. Tapi bagaimana pun, Yana adalah 'keturunan' dari seorang psikopat.

Tak lama setelahnya Yana tertawa renyah. "Aku sudah merelakan seseorang yang kucintai, Ais. Dan kau, malah menuduhku 'lagi' sekarang." Yana langsung saja memasang wajah datar. Ia menunjuk tiga orang dihadapannya itu.

"Jika kalian berbicara, maka kalian akan menjadi korban berikutnya." Bisik Yana yang masih dapat terdengar oleh Blaze, Ais dan Duri.

---

"Solar!" Angkasa mendekat menuju anak bungsunya itu. Solar menunduk tak berani menatap ayahnya. Kenapa harus berdua begini?

Angkasa meraih tangan kiri Solar hendak membuka lengannya, "Ayah dengar, kau_" Solar menepis tangan Angkasa dengan tangan kanannya. "Jangan dibuka!" Pinta Solar dengan nada bergetar.

"Maaf, maaf Ayah gelap mata." Angkasa mengusap kepala Solar sayang. Pundak Solar bergetar menahan diri untuk tidak menangis. Dirinya sudah lelah.

"Solar hebat! Sudah sampai sejauh ini. Ayah bangga dengan mu. Jika saja Ayah mencari tau dulu, mungkin Ayah tidak akan menuduh mu begitu, dulu." Angkasa mengusap tangan anaknya.

"Ayah, bangga dengan mu!" Angkasa membawa Solar kedalam pelukannya. Solar yang diperlakukan begitu manangis mengeluarkan semua beban yang ia rasakan.

"Ayah jahat!" Hardiknya.

"Ayah memang jahat pada mu, Nak. Maka dari itu, izinkan orang jahat ini untuk memperbaiki perbuatannya," Angkasa mengelus sayang kepala Solar. Anak bungsunya ini memang memiliki kepala emas. Jangan sampai dirusak dengan sesuatu yang buruk.

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang