Airru menganggukkan kepalanya paham. Afika dengan jujur menceritakan kejadian yang ia alami pada ketua kelasnya yang baru selesai rapat itu. Tentu saja, gadis itu dengan baik mendengarkan setiap tutur kata yang dirinya lontarkan.
"Begitu ya. Karena dua buku itu, keadaannya jadi kacau gini?" Afika mengangguk pelan, namun hal itu tak membuat raut wajah Airru berubah. Gadis itu tetap dengan santai mempertahankan senyum manisnya.
"Kalau begitu, nggak perlu khawatir! Soalnya tadi ada siswa yang ngembaliin bukunya Bu April ke kantor, terus kulihat kayaknya dia juga megang buku presensi kelas kita pas ruang guru. Paling juga nanti dikembaliin, kok..." terang Airru yang membuat semuanya tertegun.
"Bukunya... dipegang sama seorang siswa? Loh, kok bisa? Padahal aku nggak pernah ngeluarin dua buku itu dari tas, kok... Jadi mana bisa dia ngambil buku itu tanpa seizinku?" bantah Afika.
"Mungkin kamu lupa naruh di mana kali. Terus buku-buku itu ditemukan sama siswa lain," tukas Airru.
Afika mengepalkan tangan. Jadi ada siswa yang mengambil bukunya tanpa izin ya? Benar-benar tidak sopan. Entah murid itu tahu atau tidak, yang jelas murid itulah yang menjadi dalang di balik kejadian tak mengenakkan yang ada di kelas.
Membuat Afika takut adalah salah murid itu. Membuat teman-teman sekelas menyudutkannya adalah salah murid itu. Juga membuat Cyra dan Yoichi bertengkar adalah salah murid itu.
"Siapa sih memangnya? Kok berani banget ngambil barang tanpa seizin pemiliknya?!" kesal Afika.
"Anak MIPA, Akira. Gadis buta warna yang udah bikin heboh sekolah ini."
Sontak, hal itu membuat Afika semakin mengepalkan tangannya kuat. Akira yang anak MIPA ya? Ia janji akan menghajar gadis itu dengan sekuat tenaga suatu hari.
"Oh, sebuta itukah dia sampai nggak bisa melihat adab menemukan barang yang hilang. Akan kuhilangkan gejala buta warna dari Akira."
Sang ketua kelas memasang senyum penuh kemenangan. "Wah, wah. Aku kagum sama semangat kamu. Cuma inget juga kalau orang yang udah buta dari lahir itu nggak akan bisa disembuhin. Sekalipun bisa sembuh, mungkin peluangnya cuma satu persen doang."
"Tahan dulu! Apa yang mau kalian lakukan sama Akira?" Sebuah suara yang berat menginterupsi mereka berdua. Serentak keduanya menoleh ke sumber suara. Valentino Dzaki Rajendra, dengan wajah dan rambut yang berantakannya menatap kedua orang itu dengan tatapan nyalang.
"Apa peduli kami? Apapun yang akan kami lakukan buat Akira kan nggak ada sangkut pautnya sama kamu. Jadi, nggak usah ikut campur urusan orang lain, Valen." Afika tak ingin kalah dari Valen. Gadis itu membalas Valen dengan tatapan setajam pisaunya.
"Dia resmi jadi temenku. Kalau kalian menyakiti temanku, aku nggak bakal tinggal diam. Begini-begini, aku juga bisa membalas perempuan loh..." jawab Valen tanpa keraguan.
Airru kembali mematri senyum. "Valen, kami tidak akan menyakiti Akira. Kami berdua hanya berniat untuk mengobrol sedikit dengan gadis buta warna itu. Jadi tidak ada yang perlu kau cemaskan. Akira akan baik-baik saja, jangan khawatir."
Valen berdecak sebal. "Berhenti memanggilnya buta warna, keparat. Dia juga punya nama. Lagian kenapa kau amat yakin kalau si Akira yang bawa buku-bukunya? Memangnya kamu ada bukti?"
"Ara~ ada yang marah nih? Hahaha, tenang saja. Masalah bukti, aku juga punya dong!" Airru menggeledah tasnya lantas memberikan ponselnya ke Valen. Di galerinya, ada beberapa foto yang menunjukkan kalau Akira memang membawa dua buku yang semuanya cari.
Semuanya kecuali Airru dan Yoichi mengepalkan tangan. Semua terutama yang mencari pastinya kesal dengan fakta yang diberikan Airru. Mereka semua dibuat mencari barang hanya karena satu kesalahan kecil yang berdampak fatal? Kalau saja tak ada Airru, mungkin keadaan kelas ini akan jadi runyam dan hancur.
"Wah, parah sih!"
"Ayo kita hajar si Akira!"
"Dasar cewek buta warna yang bodoh!"
"Ternyata cewek yang kelihatan pendiam banget kayak dia punya nyali ya bikin keadaan kelas ini jadi kacau."
"Ayo balas dia!"
Kebanyakan siswa setuju untuk membalas Akira. Valen menatap wajah satu per satu mereka dengan tatapan geram. Satu, dua, tiga, empat,... hm, ada lima belas orang yang setuju ya?
Satu melawan lima belas, huh?
Dan salah satu lawannya adalah seorang gadis yang tak bisa membela dirinya sendiri. Sudah dipastikan kalau Akira akan kalah telak oleh lima belas orang ini.
Tu-tunggu. Mengapa Valen jadi berpikiran ke mana-mana? Dan juga sejak kapan lelaki itu jadi merasa peduli dengan orang lain?
Persetan dengan buku-buku yang sudah ditemukan itu. Yang paling penting buat lelaki itu adalah perasaannya yang mendadak jadi aneh. Jantungnya yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Lalu semacam ada beban berat yang menimpa tubuhnya tiap kali orang lain hendak berbuat jahat pada Akira.
Ia bingung dengan perasaannya. Ia tak biasa dengan hal semacam ini. Biasanya kalau ada perkelahian, pembullyan, begal, pencopetan, atau apapun, lelaki itu pasti dengan ringan tangan hanya tetap berjalan maju dan bersikap seolah-olah semua kejadian itu tak pernah terjadi. Ia sudah lama tutup mata, hati, dan telinganya pada orang-orang yang membutuhkan bantuannya.
Entah sejak kapan begini?
Ke mana sosok Valen yang sangat cuek dan dingin itu? Ke mana sosok yang selalu bersikap bodoamat pada segala hal. Ke mana sosok yang menginginkan kebebasan itu?
Entah sejak kapan, lelaki itu akan terpancing emosi dari hal-hal yang berhubungan dengan Akira. Lelaki itu jadi berpikir, apa gadis itu punya cara pembunuhan yang ampuh dengan cara mempercepat gerak jantung orang lain? Kalau iya, maka itu akan sangat menakjubkan. Soalnya tiap kali Valen ada di dekat gadis itu, rasanya ia jadi serasa seperti orang yang gagal jantung.
Sebentar, apa jangan-jangan Akira mampu membuat orang gagal jantung? Hm, menarik untuk diselidiki.
Valen mengambil napas dalam-dalam. "Baiklah, aku akan membiarkan kalian berbuat apapun pada Akira, tetapi dengan dua syarat. Pertama, apapun yang terjadi, tolong jangan lukain Akira. Yang kedua, hanya boleh dua orang yang akan membuatnya sadar."
Sekelas langsung memberi seruan tak terima dengan syarat yang Valen berikan. Namun, Airru dengan santai menerima syarat yang diberikan Valen. "Baiklah, Valen. Aku mengerti... Kalau begitu, biarkan aku dan Cyra saja yang akan membuat orang itu sadar tanpa harus melukai fisiknya."
Tanpa mereka sadari, sebenarnya Airru telah menahan senyum puasnya daritadi. Awal rencananya sudah dimulai dan gadis itu benar-benar tak sabar untuk melanjutkan langkah yang telah ia pilih.
'Nah, Akira. Apa yang akan kau lakukan setelah ini? Jangan harap kamu bisa kabur dari ini setelah kamu membuat kakakku masuk penjara. Aku menantikannya, Akira. Aku benar-benar menantikannya. Aku harap kamu bisa membuat wajah yang sangat menarik untuk kuperlihatkan pada kakak."
YOU ARE READING
Hei, Apa Warna Kesukaanmu? (TAMAT)
Teen FictionBagaimana rasanya jika kalian tidak diperbolehkan mendaftar ke sekolah yang kalian inginkan? Bagaimana jadinya kalau kalian dipaksa untuk masuk ke sekolah pilihan orang tua kalian? Marah, sedih, kecewa? Itulah yang terjadi pada Valen. Sejak itula...