Hari ini Valen merutuki dirinya. Kemarin dia berencana untuk berkunjung ke rumah Akira untuk menemani gadis itu. Namun setelah dipikir-pikir, buat apa Valen memikirkan gadis seperti Akira? Benar juga. Sebenarnya apa yang terjadi pada Valen? Selama ini, ia tak pernah merasakan hal seperti ini. Rasa peduli pada orang lain. Entahlah. Ia tak tahu rasa ini hilang atau memang tak ada dari dalam dirinya.
Sekarang kalau ia berkunjung, bisa-bisa ia dikira punya tujuan lain. Tidak mungkin seorang Valen akan mengakui kalau ia rela membolos sekolah demi menemani Akira? Mau ditaruh di mana harga dirinya? Apa yang harus ia lakukan? Berpikir, Valen... ayo berpikir...
Oh ya, oleh-oleh! Aduh... saking gugupnya, Valen sampai lupa membawakan Akira sesuatu. Apa ia pulang saja? Lah kalau pulang, bakal lebih memalukan karena sedari tadi banyak tetangga yang melihat ke arahnya yang berjalan mondar-mandir di depan rumah Akira.
Ceklek...
Valen menutup matanya erat-erat. Detik-detik sebelum rasa malunya menguar.
"Loh Valen? Kenapa kamu di sini?"
Hanya dalam hitungan detik, wajah lelaki itu memerah menahan malu, "Nggak ada apa-apa kok! Aku nggak tahu kalau kamu tinggal di sini. Aku juga nggak berniat mengunjungimu! Tadi aku hanya kebetulan lewat sini dan nggak ada niatan apa-apa!"
Merasa ada yang ganjal dari ucapan Valen, Akira langsung terkekeh geli. Ada-ada saja jawaban Valen. Padahal gadis itu hanya bertanya kenapa di sini tapi malah dijawab sepanjang lebar itu. Yah, ketahuan deh bohongnya.
Namun gadis itu tak berkomentar dengan jawaban Valen. Akira tersenyum. Gadis itu mendongakkan kepalanya. Ternyata... Valen bisa kelihatan semanis dan seimut ini ya? Seperti anak anjing...
"Ya sudah kalau kamu cuma kebetulan lewat. Aku mau beli sampo sama beberapa bahan makanan yang udah mau habis. Mau ikut?"
Valen mengerjapkan matanya. Ia memalingkan wajahnya dan menjawab dengan lirih, "Ya... kalau kamu mau, aku bisa menemani kamu kok..."
Tuh kan! Akira diam-diam tersenyum dalam hati. Ia berteriak tak karuan dalam batinnya. Merutuki sifat Valen yang begitu menggemaskan.
"Ya udah. Temani aku buat sebentar... aja biar aku nggak kesepian belanjanya ya?"
"Iya."
Jujur ini adalah pertama kalinya Valen ke toko kelontong yang menjual barang-barang dengan harga yang sangat murah menurutnya. Bahkan total harga yang dibeli oleh Akira tak lebih dari harga permen yang menjadi cemilan sehari-harinya di rumah.
Dan Akira kelihatan bahagia karena berhasil mendapatkan barang-barang yang dibelinya. Padahal hanya sesederhana itu, tapi kenapa gadis di sebelahnya bisa kelihatan senang seakan-akan tak ada yang terjadi padanya di sekolah?
Apa gadis itu menyembunyikan perasaannya yang asli?
Kalau iya, Valen ingin tahu rahasia gadis itu mempertahankan aura bahagia yang begitu terasa menular itu. Tanpa sadar, ternyata lelaki itu jadi lebih tertarik dengan Akira.
_-_-_-_-
Selesai berbelanja, Akira mengajak Valen untuk masuk ke rumahnya. Tentu saja dengan penuh rasa sungkan (baca: penasaran), lelaki itu akhirnya menginjakkan kakinya ke dalam rumah Akira. Rumah Akira begitu kecil dan sederhana meski terlihat begitu nyaman untuk ditinggali. Pun dengan tatanan barang yang cukup rapi dan teratur.
Ia belum melihat bagian dalamnya, tapi ia yakin kalau bagian dalamnya juga kelihatan rapi. Tunggu, Valen memiringkan kepalanya. Ada TV di ruang tamu? Apa penataannya tidak salah?
"Akira, ruang tamunya mana? Kenapa kamu malah membawaku ke ruang keluarga?"
"Ruang keluarga? Kamu kan sekarang lagi duduk di ruang tamu..."
"Kalau ini ruang tamu, kenapa ada TV di sini? Harusnya kan TV ditaruhnya di ruang keluarga atau ruang tengah?"
"Ck, sorry ye. Emang TV harus ditaruh di ruang tengah? Toh juga di mana aja boleh. Nggak ada tuh peraturan suruh naruh TV di ruang keluarga di kertas panduan penggunaan."
"Oh begitu? Terus remotnya mana? Aku mau nonton cuplikan ulang timnas kemarin."
"Nggak ada remot-remotan. Remot itu dah rusak. Pakai tombol yang di TV itu."
"Hah? Berarti aku harus merangkak buat ngeklik tombol di sana gitu?"
"Iya donk! Kalau mau dapet sesuatu tentu aja harus usaha dulu..." ujar Akira sembari bersidekap dengan senyum terukir.
"Ribet amat sih." Valen kembali melanjutkan perkataannya, "Padahal kalau di rumah, aku nggak minta aja udah dikasih duluan."
Oh iya, gadis itu lupa kalau sosok di depannya adalah anak dari keluarga kaya yang membelikan dirinya coklat mahal seharga tiga rumahnya. "Y-ya pokoknya kalau mau dapetin sesuatu di sini harus ada usahanya dulu. Paham?"
"Hm, ya aku ngerti..."
Hening mendekap kedua insan itu. Valen yang merasa kalau urat malunya akan segera putus dan Akira yang bingung dengan situasi akward ini. Setelah beberapa menit, Akira berhasil memutus suasana hening di antara mereka. "Ya udah aku mau bikin pancake dulu di dapur."
"Bentar, Akira. Apa kamu bisa mengajariku materi logaritma? Pelajarannya si Aziz benar-benar nggak mudengin."
"Boleh kok. Habis bikin pancake ya aku ngajarinnya dan btw, panggil namanya pakai embel-embel 'Pak' dong biar kedengeran sopan."
"Toh Aziz nggak denger kok..."
"Terserah kamu aja deh..." Akira melarikan diri ke dapur. Ia bergegas mengambil bahan-bahan dari berbagai sudut dapur.
Pertama-tama campurkan tepung, air telur dan gula. Lalu goreng di teflon yang sudah diolesi mentega. Goreng hingga kecoklatan dan tuang susu kental manis di atasnya. Pancake low budget buatan Akira sudah siap dihidangkan.
"Susu kental manis? Bukannya pancake itu pakai madu atau sirup ya?" tanya Valen dengan enteng.
Gadis itu menggertakkan giginya. Oho, tamu di depannya ini sudah mulai melunjak ya? Padahal tinggal makan saja apa susahnya sih?
"Sopankah begitu, wahai kisanak?Kamu cuma tamu jadi nggak usah protes."
"Tapi kan--"
Satu suapan mendarat di mulut Valen yang sontak membuat pemuda itu terkejut. Akira dengan wajah muaknya menyuapi Valen dengan pancake low budget milik gadis itu.
"Ternyata... rasanya tidak buruk juga..." gumam Valen yang masih bisa didengar oleh Akira. Gumaman itu tentu saja mengundang rasa bangga tersendiri buat Akira.
'Siapa dulu yang masak? Akira gitu loh...'
"Mau... lagi dong," pinta Valen dengan lirih yang tentu saja masih bisa terdengar oleh Akira. Gadis itu tersenyum senang melihat Valen saat ini. Oh lihatlah Valen yang memintanya dengan memalingkan wajah padahal kelihatan jelas bahwa wajah lelaki itu memerah hebat. Telinga lelaki itu juga ikut memerah menahan malu.
Dan sialnya Akira agak menyukai sisi imut lelaki ini.
"Nah, ketagihan juga kan kamu. Sekarang buka mulutmu lebar-lebar. Sesendok pancake akan segera datang." Lelaki itu tentu saja dengan senang hati membuka mulutnya. Akira menyendokkan satu potongan pancake sebelum--
"AKIRA! KALIAN BERDUA NGAPAIN?!"
YOU ARE READING
Hei, Apa Warna Kesukaanmu? (TAMAT)
Teen FictionBagaimana rasanya jika kalian tidak diperbolehkan mendaftar ke sekolah yang kalian inginkan? Bagaimana jadinya kalau kalian dipaksa untuk masuk ke sekolah pilihan orang tua kalian? Marah, sedih, kecewa? Itulah yang terjadi pada Valen. Sejak itula...