03. Beban semesta

103 14 4
                                    

"JENA, kamu dipanggil ke ruang BK sekarang," kata Bu Riana selaku wali kelas XII A yang datang ke kelas ketika pembelajaran berlangsung.

Pak Tono yang sedang mengajar kimia mengedarkan pandang, menemukan Jenaya yang entah sejak kapan tidur pulas di pojok ruangan tanpa mendengarkan semua penjelasan. "JENAYA!" panggilnya berteriak, membuat si pemilik nama terlonjak.

"E-eh, Iya Pak?" sahut Jenaya kelipungan.

"Kamu ini, dari tadi malah tidur! Gak dengerin penjelasan dari Bapak, hah?" Pak Tono menggelengkan kepala setelah berucap demikian.

Jenaya merotasikan matanya dan menguap. "Lagian Bapak yang gak nyadar, padahal murid di kelas ini cuma lima orang. Masih aja kecolongan," sahutnya tidak sopan.

"Kamu tidurnya posisi nulis begitu! Bapak kira sedang menulis penjelasan," timpal Pak Tono tak mau kalah.

Bu Raina yang tadi memanggil Jenaya menghela napas, kelakuan anak didiknya ini memang nakal bukan main. Dia juga ikut bingung bagaimana cara mendidik mereka supaya menaati peraturan sekolah. Otak minus, kelakuan juga minus. Gaya yang digedein.

"Sudah-sudah. Jena, mari ikut Ibu," lerai Bu Raina dibalas anggukan.

Dengan langkah malas Jenaya menikuti langkah Bu Raina. Dia memasukan kedua tangan pada saku hoodie yang dikenakan, tidak peduli dengan peraturan melepas hoodie ketika pembelajaran berlangsung. Kaos kaki sebetis juga laging hitam yang dipadu padankan dengan rok selutut sekolah, rambutnya yang tergerai di antara tudung hoodie menjadi penampilan si cewek preman. Jika dari penampilan, dia cukup tertutup.

Jenaya langsung berhadapan dengan Bu Siska ketika masuk ruang BK, juga adik kelas yang kemarin dibuat babak belur bersama orangtuanya. Melihat itu, Jenaya menghela napas dan duduk di salah satu kursi sementara Bu Raina memilih tetap berdiri.

"Apa benar kamu memukuli anak ini sampai babak belur?" tanya Bu Siska memastikan.

"Iya," sahut Jenaya tanpa tendeng aling. "Lagian dia yang buat masalah duluan, Bu," lanjutnya memberikan pembelaan.

Si adik kelas yang ternyata bernama Jaya ikutan bicara, "Saya gak sengaja nginjak kaki, dianya yang terlalu emosian padahal bisa diselesaikan dengan cara baik-baik."

"Heh, gue gak bakalan nonjok lo kalau lo gak nyerang gue dari belakang," sanggah Jenaya.

Jaya mendengkus. "Kamu tetap salah karena membuat anak saya luka-luka seperti ini sedangkan kamu tidak luka sama sekali. Kalau seandainya anak saya yang pukul kamu duluan, kenapa kamu tidak cidera?" Ibunya membela.

"Itu sih dianya aja yang payah, tonjokannya meleset," ceplos Jenaya membuat Bu siska dan Bu Raina tersenyum paksa.

Wanita yang diketahui sebagai guru BK itu menceramahi Jenaya, tetapi yang diceramahi malah memainkan kukunya seperti tidak mendengarkan. "Ibu putuskan kamu akan mendapat skors selama satu minggu," tutup Bu Siska membuat Jenaya tersenyum lebar.

"Asik gak sekolah," katanya kegirangan.

Bu Raina mencubit lengan Jenaya, membuat gadis itu mengaduh. "Harusnya kamu gunain buat intropeksi diri, bukan malah liburan," ujarnya menasehati.

Bu Siska memijat keningnya, merasa pusing karena tingkah laku Jenaya yang berada di luar nalar. "Gak jadi skorsing, setiap pukul dua belas siang kamu harus lari keliling lapangan sepuluh balik selama satu minggu," ungkapnya.

Kali ini Jenaya berdecak. "Yah, item dong gue," gerutunya. Padahal jelas-jelas warna kulit Jenaya tidak bisa dikatakan putih, justru berwarna sawo matang.

Keputusan Bu Siska sudah dikatakan mutlak sementara Jenaya misuh-misuh di tempat.

Setelah meminta maaf kepada Jaya dan Ibunya dengan terpaksa, gadis itu keluar dari ruang BK. Melangkah malas kembali ke kelas dengan kaki menendang-nendang angin. "Udah item, makin item aja gue. Kapan coba glow up," ocehnya kesal.

Sampah-Sampah SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang