08. Ibarat kumpulan puzzle

42 7 1
                                    

Ingin mengingatkan, jangan terlalu berharap sama cerita ini. Ditekankan kembali, ini hanya cerita orang-orangan sampah.

•°•°•°•

SUDAH biasa keluar-masuk ruang BK, tetapi yang tidak biasa adalah keluar bersama gengnya Nata The Coco. Bodoamat, Jenaya ingin menyebutnya begitu.

Diceramahi habis-habisan, lalu Jenaya yang disudutkan karena memiliki banyak riwayat kasus. Dan yang paling parah, Natasa mendapat hukuman lebih ringan daripada Jenaya. Gadis itu harus berlari mengelilingi lapangan selama sepuluh putaran, sementara Jenaya dua puluh putaran!

Menyebalkan.

"JENA! JANGAN LOYO GITU KAMU! CEPETAN LARI! SEBELAS PUTARAN LAGI!"

Ditambah lagi Bu Siska memantau dari pinggir lapang sambil menyeruput es kelapa muda, hal yang biasanya Jenaya bisa lari dari hukuman malah harus menyelesaikannya sampai tuntas.

"NATASA! KAMU JUGA! LARI, BUKAN JALAN!"

"Haduh, capek banget Bu! Gimana kalau wajah saya jadi item gara-gara terpapar matahari langsung?" keluh Natasa sambil menyentuh keningnya dengan gerakan yang terkesan lebay.

"Ctih, makanya pake sunscreen itu jangan yang murahan," ejek Jenaya ketika berlari di samping Natasa, hingga gadis itu kesal dan berakhir mengejar Jenaya.

Karena hukumannya berbanding setengah, Natasa dan dua temannya tentu selesai lebih dulu. Jenaya misuh-misuh ketika keluar dari lapangan Natasa malah disodorkan berbagai macam minuman oleh para fans-nya, salah satunya Galen dan Alden.

"Modal cantik doang gila, segitu butanya mereka?!" Jenaya bahkan meninju udara, menendang-nendang lantai semen sambol mengomel geram.

"JENAYA! MASIH SAYA PANTAU YA KAMU! CEPETAN! EMANGNYA KERJAAN SAYA CUMA NUNGGUIN KAMU DIHUKUM APA?" teriak Bu Siska karena melihat Jenaya tak serius menyelesaikan hukumannya.

Jenaya masih sempat-sempatnya menyahut sebelum mempercepat lari, "Siapa coba yang minta ditungguin."

•°•°•°•

Hustara menatap tubuhnya di cermin dengan bantuan kacamata. Sepulang sekolah tadi terpaksa harus mandi keramas karena rambutnya sangat lengket. Ulah siapa lagi kalau bukan geng-nya Natasa.

Gadis berkacamata itu berada di kontrakan, mengepanng rambutnya yang masih sedikit basah, bersiap pergi ke Kafe Senandika. Hustara masih melakukan kerja paruh waktu seperti biasanya, sekalipun tubuh terasa lelah membutuhkan istirahat.

Hustara tidak mau dipecat.

"Lama-lama hidup kayak gini, mati aja aku," monolongnya.

Gadis itu sungguh lelah untuk semua tuntutan yang memintanya untuk tetap kuat. Untuk berjuang tanpa bantuan siapa pun, tanpa support system, tanpa punya planing yang akan membahagiakan di kemudian hari.

Dulu Hustara sempat bertanya pada Ibu panti, perihal hidup. Menurut Hustara, hidup itu ya hidup aja, dijalani selayaknya air mengalir. Tapi katanya, kurang tepat.

"Emangnya kamu mau terus hanyut dalam aliran sungai sampai akhirnya tiba di tengah lautan, terus mau lanjut ke mana? Bingung 'kan? Antara kembali terbawa ombak hingga kamu terdampar di pantai, atau termenung jadi air dingin di lautan dalam."

Lalu Hustara kecil bertanya, "Lalu yang benar itu apa?"

"Hidup itu seperti kumpulan puzzle, kita harus ngumpulin pecahan puzzle yang sempat hilang. Harus letakin dan bentuk puzzle itu menjadi apa yang kita mau."

Sampah-Sampah SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang