04 (21+)

1.1K 4 0
                                    

"Anda sudah ditunggu sejak tadi oleh Bos Carzer, Miss Vandora. Cepatlah ke dalam supaya bos tidak marah."

"Saya sudah ditanyakan mengenai Anda beberapa kali. Bos sudah sangat ingin bertemu Anda, Miss Vandora."

Belum sempat terlontar satu pun kata dari mulutnya, saat menginjakkan kaki di depan meja sekretaris sang kakak, ia sudah diberikan sebuah perintah.

Dan, tak akan bisa ditunjukkan satu pun penolakan atau perlawanan pada Mr. Amess Corner. Apalagi, pria berusia tiga pulu delapan itu berkata dengan serius.

Yang lantas bisa diperlihatkan hanyalah anggukan pelan. Tanda paham sekaligus akan melakukan ucapan Amess Corner.

Vandora tak mengatakan apa-apa pula, saat mulai menjauh dari meja pria itu. Ia lebih memfokuskan konsentrasinya untuk segera menemui sang kakak.

Misalkan menyiapkan kalimat-kalimat yang dapat menunjang pembelaan bagi dirinya sendiri, nanti di depan Carzer.

Tidak mungkin, sang kakak menyuruh dirinya datang tanpa tujuan mendesak dan penting. Ia yakin akan hal tersebut.

Dan jika tidak pergi menemui saudara sulungnya itu, maka kemungkinan besar ia akan tetap dipaksa berjumpa. Tentu, dengan cara yang kasar.

"Oke, tenangkan diri." Vandora berikan sugesti untuk meraih ketenangan.

Posisinya sudah berada di depan pintu ruangan kerja Carzer. Tinggal digeser ke samping guna membuka. Dan, sudah pasti tidak akan terkunci dari dalam.

Entah mengapa, menggerakkan tangan saja, cukup sulit bagi Vandora. Bahkan, gagang tengah dipegang jadi bergetar karena tangan yang juga gemetar.

"Miss Vandora, apa Anda mengalami kesusahan? Perlu saya bantu?"

Ketersiapan mendadak menyerang oleh pertanyaan diajukan sekretaris utama kakaknya, kaget juga akan keberadaan Amer Corner yang sudah di sebelahnya.

Namun, demi mencegah diri tampak kaget dan gugup, segera diberi respons atas apa yang pria itu tanyakan.

Kepala digelengkan pelan. Senyum pun direkahkan lebar, hingga deretan gigi putihnya terlihat. Bentuk sikap ramah.

"Tidak ada pertolongan yang ingin aku minta darimu." Vandora melontarkan jawaban dengan nada santainya.

"Tidak ada, ya? Kenapa tidak masuk ke ruangan bos segera? Anda sejak tadi sudah ditunggu. Nanti bos marah."

"Oke, oke." Vandora menjawab cepat. Ia loloskan suara semakin tegas.

"Saya akan masuk sekarang agar kakak saya tercinta itu tidak perlu menunggu lebih lama." Vandora menambahkan.

Disadari bola matanya yang mendelik karena kesal akan perintah diberikan oleh sekretaris saudara sulungnya itu.

Vandora juga membusungkan dada dan menegakkan kepala. Seolah tunjukkan kesan menantang pada Amess Corner.

Nyatanya, provokasi balik yang baru ia perlihatkan, mendatangkan senyuman mengejek pada wajah pria itu.

Dirinya diremehkan, begitu kesimpulan yang lantas Vandora ambil. Ia jelas tidak akan bisa menerima hal tersebut.

Harus ditunjukkannya reaksi balik ke Amess Corner dalam bentuk provokasi sama, seperti pria itu tadi tampakkan.

Bukan senyuman meremehkan, namun jenis ekspresi andalan yang biasanya dipamerkan, saat ingin menggoda pria.

Dan terbukti, raut wajah Amess menjadi berubah. Tatapan pria itu pun semakin intens padanya. Seolah terpukau.

Tak mungkin salah disaksikan sebab ia sudah sering melihat. Rupanya, Amess tidak berbeda dengan mereka.

"Ada apa, Mr. Corner? Apa Anda sedang memikirkanku yang telanjang?"

"Kebanyakan laki-laki akan bilang yang seperti itu kepada saya. Dan, saya mau Anda tidak berpikiran mesum ke saya."

Vandora senang bukan main saksikan mata Amess Corner lebih lebar, reaksi atas permainan rayuannya yang manis.

Kemenangan sudah di depan mata, tak perlu lagi mengeluar lagi godaan untuk tahu akan bagaimana reaksi pria itu.

"Astaga, aku harus masuk sekarang!" ujar Vandora ketika sadar bahwa sang kakak sudah menunggu dirinya.

Tepukan pada jilat turun dilakukannya dengan gerakan spontan. Tentu dilihat oleh Amess Corner. Pria itu tertawa.

Rasa puas yang beberapa menit lalu, telah menyelimuti Vandora pun hilang. Tergantikan malah dengan kekesalan.

Ingin ditunjukkannya semacam balasan, tapi tak ada waktu yang tersisa. Mesti segera menghadap saudara sulungnya.

Namun, saat ingin melangkah melewati ambang pintu, tangannya malah diraih oleh Amess Corner. Langkah terhenti.

"Apa yang mau kau katakan?" Vandora bertanya dengan seketus mungkin.

Matanya waspada karena pria bernama Amess semakin mendekat ke arahnya, sambil menyeringai lebar juga. Tampak sama tentunya, seperti tadi ditunjukkan.

"Daripada berpikiran mesum, aku lebih tertarik melihatmu telanjang langsung di kamar bersamaku, Nona Vandora."

Perkataan Amess bagaikan ejekan bagi dirinya. Hendak dibalas, namun pria itu sudah berjalan menjauh darinya.

Tak lama kemudian, didapat tepukan di bagian bahu. Tanpa menolah dulu ke belakang, sudah diketahui pelakunya.

"Cepat masuk. Kau harus menjelaskan apa rencana Sellysa melibatkanku, Van. Tidak boleh kau sembunyikan dariku. Sekalipun kau memihak Sellysa."

DEWASA II [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang