Part 12

11.7K 859 24
                                    

"Whoa... keren banget! Ini dimana, kak?" Keira menunjukkan foto kenampakan puncak gunung yang beberapa ratus meter dibawahnya dipenuhi oleh kabut.

"Jayawijaya."

"Kapan? Kok aku gak tahu?"

"Dua tahun lalu. Seminggu sebelum tugas di Papua, kakak hiking dulu buat pemanasan."

Keira melongo. Hiking buat pemanasan? Kakaknya ini sejenis kingkong atau apa sih? Karena tidak ada tanggapan berarti untuk keterkejutannya, dia melanjutkan scroll gambar di galeri ponsel kak Ana. Sampai pada akhirnya dia melihat pria itu lagi, dia langsung menaruh ponsel itu ke atas pangkuan kakaknya yang tengah menyetir. Suhu AC mobil diturunkan karena tiba-tiba saja wajahnya terasa panas.

Setelah kejadian tersedak kemarin, dia cukup lama bersembunyi di toilet karena rasa malunya tak kunjung hilang. Entah malu karena habis tersedak hebat atau karena dia akhirnya bertemu dengan sosok tampan yang ada di galeri kakaknya. Mungkin dua-duanya. Beruntung saja mereka berdua tidak bertanya apapun saat dia kembali ke meja.

"Tadi ngomong apa aja sama Papa?" tanyanya lagi, berusaha mengalihkan pikirannya.

"Masalah tugas baru."

Keira mendadak diam. Dia memperhatikan kemacetan di depan mereka beberapa saat sebelum menatap kak Ana. "Kapan? Lama gak?"

Ana mengerjap. "Belum tahu. Masih wacana."

"Aku," Keira menarik napas dalam. "nyusahin kakak banget ya? Kakak pasti akan terima tugasnya, kan, kalau lagi gak jagain aku? Rasanya pasti gak nyaman. Kakak, kan, gak pernah menolak tugas apapun."

Lama tak ada jawaban, keterdiaman itu sudah nyaris membuat Keira menangis tapi akhirnya sang kakak buka suara.

"Kakak ambil, tapi Ayah bilang tunggu hasil tes kepala kakak dulu yang terakhir. Kalau oke, kakak bisa pergi," lalu Ana merendahkan suaranya. "Nyusahin itu kalau kakak keberatan untuk nolongin kamu. Tapi ini kan termasuk salah satu bentuk tanggungjawab kakak juga. Dan gak ada tanggungjawab yang menyusahkan."

"Aku janji akan berusaha untuk lebih mandiri. Nanti aku mau ambil les beladiri juga. Kakak gak bisa selamanya jagain aku. Kalau perlu, mulai besok kakak gak usah ikut aku ke kampus lagi. Aku mau belajar tanpa Kak Ana... dan Kak Rakha."

Ana melirik adiknya lewat ujung mata. "Yakin?"

Keira mengangguk mantap. "Tapi kakak yang bilang ke Papa ya? Kalau aku yang bicara, nanti yang ada malah perang lagi."

"Oke."

"I love you."

Walaupun tak dijawab, Keira selalu tahu kalau kak Ana menyayanginya juga. Dia sudah sangat paham kalau kakaknya adalah tipe orang yang tidak begitu suka berbicara banyak tentang apa yang dia pikirkan atau inginkan. Dia langsung melakukannya.

×××

"Gila ini sambel level berapa sih?!" seru Yoga setelah berhasil menelan air mineral dingin dari botol. "Pedes gila! Tapi nagih."

Keira tertawa jahat. Benar, dialah dalangnya disini. Yoga bilang untuk memakai 4 butir cabe rawit saja, tapi dia menambahkannya jadi dua kali lipat. Dengan santai, dia mengambil potongan mangga muda dan mencocolkannya ke sambal rujak. Ana menggeleng melihat kelakukan kedua orang itu.

Mereka sekarang tengah menghabiskan waktu makan siang di Taman Teduh dekat gedung Fakultas Ekonomi. Agak lumayan jauh dari gedung Fakultas Teknik. Setelah makan makanan yang berat, mereka berdua—Yoga dan Keira—sepakat untuk membeli rujak buah di depan kampus dan memakannya sambil berselonjor di atas rumput. Lumayan untuk menghilangkan rasa ngantuk yang mendera pada jam-jam rawan seperti ini.

Final Masquerade Series (#1) : No One Needs To KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang