Kebenaran (2)

6.5K 488 30
                                    

Hingga suatu hari aku kehilangannya. Benar-benar kehilangannya. Kehilangan Dinarku yang berharga.

Pagi itu, aku ke toilet karena ingin buang air kecil. Aku memasuki bilik yang paling ujung. Dan... aku lagi lagi terpaku melihat seseorang terkapar di lantai toilet itu. Seseorang yang sangat sangat aku kenal. Aku menutup mulutku dan bersandar di tembok. Aku menangis meraung-raung.

Dinar, dia tergeletak bersimbah darah. Wajahnya rusak penuh darah. Rambutnya berantakan. Pergelangan tangannya begitu banyak mengeluarkan darah. Serpihan kaca, helaian rambut dan genangan darah mengelilingi tubuhnya.

Aku tidak sanggup melihat sahabatku seperti ini. Dinar ... apa yang kau lakukan? Kenapa kau berbuat seperti ini? Kenapa kau meninggalkanku? Dinar ... bangun Dinar, bangun ...

Ya Tuhan.. kenapa semua ini terjadi kepada Dinar? Apa salahnya? Dia orang baik. Tapi kenapa, kenapa takdirnya seperti ini? Apa yang harus ku katakan nanti?

"Dilla! Kamu ngapain lam-- Ya Allah ... kamu kenapa Dil?" Dian menghampiri dan memelukku. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukannya. Dia terus saja bertanya aku kenapa, lalu kemudian dia terdiam dan pelukannya melonggar.

Sampai akhirnya dia berteriak padaku "Astagfirullah. Dinar! Dilla itu Dinar kan? Itu Dinar kan? Jawab aku Dil! Jawab!" Dia mengguncang-guncangkan tubuhku.

Pertanyaannya membuatku semakin menangis. Aku hanya mampu mengangguk sambil terisak. Aku hanya dapat menangis tanpa mampu berkata apapun. Aku hanya dapat melihat tanpa tau harus berbuat apa. Tubuhku terlalu sulit untuk digerakkan. Seluruh badanku terasa kaku.

Dian keluar dari kamar mandi dan berteriak minta tolong. Sedangkan aku hanya menangis sambil memeluk tubuhku ini. Tidak lama, banyak langkah kaki yang terdengar mendekat. Kemudian sepasang tangan memelukku. Aku mendongak melihatnya, dia wali kelasku Ibu Wiji.

"Bu.. Dinar Bu.. hiks.. hikss.. Dinar ... hiks..."

Dia mengusap-ngusap punggungku seakan memberikanku kekuatan "Ssttt.. Tenang sayang.. Ibu disini.." Aku masih saja menangis. Tidak tau kapan akan berhenti. Bu Wiji menutup pintu bilik itu, mungkin dia tidak ingin melihatnya lebih lama atau dia tidak ingin membuatku semakin shock.

Beberapa langkah kaki terdengar mendekat kearahku, dan disana berdiri Om Evan dan juga Tante Kayla. Aku melepaskan pelukan Bu Wiji dan beralih memeluk Tante Kayla. Tante Kayla menangis tersedu-sedu, aku tau sekarang dia pasti hancur bahkan lebih hancur dari siapapun.

Putri yang dikandungnya selama sembilan bulan. Putri yang dirawatnya selama tujuh belas tahun dengan penuh kasih sayang. Satu-satunya bagian dari dirinya sekarang telah pergi, pergi untuk selamanya.

"Pak Evan.."

Bu wiji memanggil Om Evan, Om Evan pun mendekat. Kemudian Bu Wiji membuka kembali pintu itu. Ku lihat tubuh Om Evan menegang lalu dia menangis sambil memukuli dinding berkali-kali. Tante Kayla melepas pelukannya dan berjalan kearah Om Evan. Detik selanjutnya dia menutup mulutnya, air mata terus saja mengalir dari kedua matanya. Dan selanjutnya Tante Kayla tidak sadarkan diri.

Jenazah Dinar di bawa kerumah sakit untuk diotopsi. Aku tidak diperbolehkan ikut mengingat kondisiku yang seperti ini.

Esok harinya, hari pemakaman Dinar. Banyak orang yang datang untuk melayat. Tidak terkecuali guru brengsek itu.

Dia menghampiriku dan berbisik di telingaku "Perkataan saya waktu itu masih berlaku. Jadi jangan coba-coba berbicara sepatah katapun. Mengerti?" Aku mengangguk sebagai tanda aku mengerti perkataannya. Dinar, dia kembali mengancamku, apa yang harus aku lakukan?

TOILET LANTAI 2 (COMPLETED)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum