07. What a Lucky Man He Was

32.2K 3K 292
                                    

Februari, 2009

Bulan puasa adalah bulan favorit Diandra, karena dengan begitu akan ada libur panjang sekitar dua minggu. Pada hari libur itu Diandra bukannya diam saja di rumah, tapi setiap sorenya pada akhir bulan puasa sampai Hari Lebaran ia akan membagikan ta'jil bagi orang-orang yang tidak mampu, seperti pengemis di pinggir tol dekat rumahnya, serta ke beberapa panti asuhan dan yatim piatu.

Sejak kecil, Diandra sudah diajarkan untuk memiliki nilai-nilai sosial yang tinggi dari kedua orang tuanya. Ia sudah aktif dalam kegiatan sosial sejak SMP, dari hal-hal sederhana seperti ikut menyumbangkan buku-buku bacaan yang sudah tidak terpakai, baju-baju layak pakai untuk korban bencana alam, sampai ikut turun tangan untuk mengikuti kegiatan penanaman pohon di pinggir pantai dan pemungutan sampah di daerah Bekasi.

"Makanannya sudah semua?" tanya Diandra lembut sambil tersenyum pada anak-anak kecil yang berasal dari panti asuhan yang diundang oleh sekolahnya ke acara buka puasa bersama yang diadakan di lapangan sekolah itu.

Seorang gadis kecil dengan kerudung berwarna merah muda mengacungkan tangan dengan ragu, wajahnya terlihat takut.

"Kenapa, dik? Kamu belum kebagian nasi kotak?" tanya Diandra lagi, yang disusul oleh anggukan anak gadis itu.

Diandra menelan ludahnya, terus terang saja hari itu ia lapar sekali. Pasalnya, sejak siang Diandra sudah sibuk menjadi panitia acara buka puasa bersama. Ia sempat kesana-sini untuk memastikan agar nasi kotak dapat dikirim sebelum Maghrib, lalu menelepon penceramah berkali-kali untuk memastikan bahwa ia bisa datang untuk memberikan kultum, dan memastikan agar uang transportasi bagi anak-anak panti asuhan sudah cair dan dapat diberikan ketika mereka akan pulang.

Ah, bukan apa-apa. Toh di rumah nanti masih bisa makan, gumam Diandra dalam hati sambil menepis perasaan egois yang muncul dari dalam dirinya dan kemudian memberikan nasi kotak miliknya ke anak gadis itu, yang langsung disambut dengan ucapan terima kasih.

Nah, begitu sudah cukup.

Mendengar ucapan terima kasih yang begitu tulus terlontar dari bibir mungil anak itu saja sudah cukup membuat Diandra merasa senang, seolah-olah rasa laparnya bukan apa-apa. Benar apa yang dikatakan Christopher McCandless di film Into The Wild, bahwa kebahagiaan hanya terasa nyata bila dibagi.

Teman-temannya yang lain tidak ada yang terlalu memperhatikan dan mengecek apakah nasi kotak yang dibagikan pada anak-anak panti sudah cukup, ataukah ada yang kekurangan. Mereka sibuk dengan urusan perut mereka masing-masing yang meronta minta diberi asupan makanan. Sebuah ironi bagi Diandra yang sejak kecil sudah terbiasa untuk peduli dengan sesama, terutama dengan yang membutuhkan.

Selang beberapa menit setelah Diandra memberikan makanan miliknya, tiba-tiba saja tersaji nasi kotak lengkap dengan air mineral dan buah jeruk tepat di depannya.

Eh?

Diandra menatap sajian di depannya itu selama beberapa saat sebelum akhirnya menengadah untuk melihat siapa yang baru saja berbaik hati memberikannya makanan.

"Jangan nggak makan. Nanti maag," ucap sosok itu sebelum berlalu.

Belum sempat mengucapkan terima kasih, tahu-tahu punggung Arjuna sudah menjauhi Diandra, membuat gadis itu mematung selama beberapa saat. Sejak kapan memandangi punggung seseorang terasa begitu... menyenangkan?

Mungkin ini yang dirasakan orang-orang yang hanya bisa menjadi pengagum rahasia. Mereka selalu dan hanya bisa melakukan satu hal; mengagumi dari jauh.

***

Jakarta, 2016

"Lagi nggak enak badan ya?" tanya Adrian khawatir, "Kita nggak jadi nonton aja deh, gimana?"

Senja di JakartaWhere stories live. Discover now