10. Aku, Kamu dan Rindu

27.6K 2.8K 523
                                    

"We can fall in love with qualities, gestures, or preferences—but the best kind of falling always happens in the middle of conversations."

***

Jakarta, 2016

Hujan lebat yang melanda kota Jakarta malam itu membuat kondisi jalan tergenang air dan menyebabkan lalu lintas jadi tersendat. Sudah dua jam wanita dengan tubuh proporsional yang rambutnya dikuncir kuda itu berdesak-desakkan di dalam bus, sementara tangan kanannya berpegangan pada tiang alumunium. Suara klakson yang terdengar nyaring dan saling bersahut-sahutan membuat Diandra memilih untuk mendengarkan lagu dengan earphone-nya—sekaligus untuk menghindari orang itu, yang kini persis berdiri di sebelahnya.

Tidak ada satupun kata yang terucap di antara mereka, baik Diandra maupun laki-laki di sebelahnya larut dalam pikiran masing-masing. Diandra memilih untuk mendengarkan The Beatles sambil mencoba memejamkan matanya, sementara laki-laki di sebelahnya memilih untuk menatap lurus-lurus ke depan—entah memperhatikan apa karena jelas-jelas kaca bus tertutupi oleh embun akibat hujan.

Sejak tadi Diandra sudah mencoba untuk bersikap biasa saja, bahkan selama sepersekian detik terlintas di benaknya untuk mengajak laki-laki itu mengobrol layaknya dua orang teman lama yang baru bertemu lagi, tapi ia mengurungkan niatnya. Lagipula, bagaimana ia membuka percakapan? 'Apa kabar?' terdengar terlalu klise, tapi 'kerja di daerah sini?' juga tidak terdengar sebagai suatu ide yang bagus. Di satu sisi ia ingin Arjuna tahu kalau ia sudah baik-baik saja dan mereka bisa bersikap seperti teman biasa, tapi di satu sisi ia takut... Ia takut mendengar suara laki-laki itu lagi setelah sekian tahun membiasakan diri dengan ketidakhadirannya. Ia takut mengenali suara itu lagi.

Ketika sedang mencoba untuk mengganti lagu, sebuah update dari Path muncul di notifikasi ponsel Diandra. Sebuah update yang ia berani jamin kalau sedang tidak ditatap oleh puluhan mata di depannya, sudah pasti membuatnya mengharu biru.

Mungkin tidak ada yang mengerti kenapa hal sesepele itu mampu membuat wanita sepertinya rela menjatuhkan segala dinding pertahanan yang sudah susah payah ia bangun selama ini, mungkin tidak akan ada yang paham apa yang selama ini ia rasakan—ketika semua rasa dan amarah melebur menjadi satu; rindu.

Arjuna Dewangga is listening to Hanya Kau by The Adams

***

April, 2009

"Kok belum pulang? Lagi latihan saman yaa buat lomba?"

Suara itu kontan membuat jantung Diandra kelojotan. Ia tahu persis siapa pemilik suara itu. Sial! Kenapa di saat-saat seperti ini Nayla malah sudah pulang? Kalau ada Nayla kan setidaknya suasana jadi tidak terlalu canggung. Lagipula, ia memang jarang sekali mengobrol dengan si pemilik suara—dan bahkan hampir tidak pernah lagi setelah diantar pulang beberapa waktu lalu.

Perlahan, Diandra memutar badan dan tersenyum kikuk. "Eh, nggak juga sih. Emang lagi baca-baca mading aja hehe."

Arjuna manggut-manggut mendengarnya kemudian memasukkan tangan kirinya ke saku celana abu-abu yang entah kenapa terlihat sangat cocok dipakai olehnya, seolah-olah ia adalah model pada brosur yang biasa digunakan untuk mempromosikan sekolah mereka.

"Lagi baca apa? Pamflet-pamflet acara sekolah lain, pengumuman calon anggota ekskul mading..." tanya Arjuna lagi sementara matanya menyusuri setiap sudut papan berbentuk persegi panjang itu.

"Atau puisi mingguan?" lanjutnya sambil senyum-senyum sendiri.

Merasa tertangkap basah, Diandra menelan air liurnya. Ia berdeham beberapa kali dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. Bisa-bisanya ia ketahuan!

Senja di JakartaWhere stories live. Discover now