09. Theory of Lock and Key

31.1K 2.8K 282
                                    

April, 2009

Pelajaran Biologi bukanlah mata pelajaran favorit Diandra, ia lebih suka Matematika dan Fisika. Ia suka menghitung dan berpikir secara logis, bukannya menghafal. Namun mau tidak mau ia harus menyukai pelajaran itu karena orang tuanya meminta ia untuk masuk ke Fakultas Kedokteran—dan tidak tanggung-tanggung, mereka menaruh harapan besar agar Diandra dapat masuk ke Universitas Indonesia. Untunglah ketika pembagian rapot semester pertama di SMA-nya kemarin, nilai Biologinya cukup tinggi; 87. Walaupun begitu, kedua orang tuanya tetap meminta Diandra untuk meningkatkan lagi nilai yang nantinya akan menentukan apakah ia diterima di jurusan IPA atau tidak, seperti Fisika dan Matematika.

Cita-cita? Diandra tidak punya cita-cita. Sejak kecil ia hanya menuruti kemauan orang tuanya saja. Alternatif lain apabila ia tidak diterima di jurusan Kedokteran yaitu dengan masuk jurusan Akuntansi dan menjadi seorang auditor seperti ayahnya, atau menjadi seorang financial analyst seperti ibunya. Diandra merasa wajar saja dituntut untuk memasuki jurusan-jurusan favorit itu, karena kedua orang tuanya memang sosok yang—harus ia akui—hebat.

Ayahnya adalah perantauan yang ketika SMA hijrah ke Jakarta bersama kakak laki-lakinya, sedangkan dulu nenek dari ibunya membesarkan ibunya sejak SMA sampai lulus kuliah seorang diri karena kakek dari ibunya telah berpulang lebih dahulu. Bagaimana mungkin Diandra tidak mengagumi sosok mereka yang membangun segala sesuatunya dari nol itu? Kerja keras mereka lah yang membuat Diandra terpacu untuk belajar dengan giat, agar kelak ketika mereka sudah memasuki usia uzur, mereka tidak perlu repot-repot mencari uang untuk kehidupan sehari-hari dan bisa hidup dengan tenang tanpa banyak tanggungan dan pikiran. Diandra ingin melihat kedua orang tuanya bahagia di akhir hayat mereka. Kalau ditanya cita-cita, mungkin itulah yang akan ia jawab. Ia ingin orang tuanya bahagia.

Selain itu, Diandra juga anak pertama—yang berarti adalah investasi pertama sekaligus terbesar kedua orang tuanya dibandingkan adik laki-lakinya, Devano Wijaya. Ia mengerti kenapa orang tuanya terus menerus mendorongnya dan memiliki demand yang tinggi atas dirinya; karena ia adalah sosok kakak yang akan menjadi panutan bagi adiknya.

Maka dari itu, Diandra sangat menyukai orang-orang yang cerdas, apalagi yang seumuran dengannya. Ia selalu kagum dengan usaha dan keinginan orang-orang sekitarnya untuk mencapai apa yang mereka impikan—karena itu semua mengingatkannya akan kedua orang tuanya.

"Ada yang tahu bagaimana cara kerja enzim?" tanya Bu Retno, guru Biologinya yang pada siang hari itu mengadakan kelas tambahan di aula sekolah bagi anak-anak yang bertujuan masuk IPA, mulai dari kelas Diandra, kelas 10-1, sampai kelas 10-7 yang terletak di paling ujung koridor.

Hari itu adalah hari pertama, dan akan terus diadakan kelas tambahan setiap dua minggu sekali pada akhir minggu khusus untuk membahas soal-soal IPA secara intensif.

Ternyata dari tujuh kelas, tidak terlalu banyak murid yang berminat masuk ke IPA. Mungkin karena stereotip orang-orang kebanyakan bahwa anak-anak IPA biasanya pemikir dan kaku, apa-apa harus prosedural dan tidak bebas serta inovatif seperti anak-anak IPS. Padahal menurut Diandra, IPA dan IPS adalah dua jurusan yang memiliki khasnya masing-masing—yang menjadi keunggulan komparatif mereka dan tidak bisa dibandingkan antara satu jurusan, dengan jurusan lainnya. Satu-satunya hal yang berbeda di antara kedua jurusan itu adalah ketika pemilihan jurusan untuk universitas kelak, jelas anak-anak IPS tidak bisa asal memilih jurusan Teknik, begitu pula anak IPA tidak bisa asal memilih jurusan Psikologi—kecuali di universitas tertentu seperti Universitas Padjajaran, jurusan Psikologi boleh diambil oleh anak IPA.

"Kalau tidak ada, saya tunjuk ya."

"Di, sana lo jawab! Kan waktu itu lo presentasi tentang enzim-enzim kan?" bisik salah satu teman kelasnya sambil menyikut lengan Diandra tidak sabar, "Sana giiih! Lumayan lho, siapa tau nanti dimasukin ke nilai."

Senja di JakartaWhere stories live. Discover now