13. Sudut Kota yang Berdebu

7.4K 753 308
                                    

"Masa lalu tidak pernah hilang. Ia ada, tetapi tidak tahu jalan pulang. Untuk itu ia menitipkan surat-kadang kepada sesuatu yang tidak kita duga; kita menyebutnya kenangan."

— Kukila

***

Maret, 2016

Jam sudah menunjukkan pukul satu lewat lima belas menit dan artinya kini sudah memasuki akhir pekan, tapi sepasang bola mata kehitaman milik Arjuna masih menolak untuk terpejam dan otaknya masih terus ingin bekerja, walaupun respon dari badannya mengindikasikan ia sudah cukup lelah untuk melakukan aktifitas apapun lagi malam itu—dan bukannya menurut pada dirinya sendiri, ia malah memilih untuk berada di balik meja kerjanya ditemani dengan lampu kecil yang setia memancarkan cahaya kekuningan serta secangkir kopi yang sudah tidak lagi hangat. Untung saja besok adalah akhir pekan, jadi ia tidak perlu bangun terlalu pagi dan masih punya waktu untuk tidur sedikit lebih lama.

Sudah beberapa minggu ini Arjuna bersikap seperti itu, tepatnya sejak hari di mana ia bertemu dengan sosok yang ia tidak sangka-sangka akan muncul—dan sejak hari itu pula Arjuna berhenti untuk makan di kantin kantornya, atau berkeliaran ketika jam istirahat. Ia akan memilih untuk tetap di ruang kantornya dan memesan makan siang melalui penyedia jasa ojek online, atau kalau pikirannya sedang tidak kacau, ia akan sesekali mengajak Elena untuk makan siang bersama di luar kantor. Arjuna juga sudah mulai menggunakan kendaraannya sendiri ke kantor dan tidak lagi menggunakan transportasi umum—di mana sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan Arjuna sejak ia melanjutkan studi sarjananya di London.

Alasannya? Ia hanya ingin menghindari kemungkinan bertemu atau melihat lagi gadis itu—yang bahkan tidak berani ia sebutkan namanya walau dalam hati, karena mendengar nama yang sudah cukup lama asing di telinganya itu membuat sesuatu dalam dirinya bergejolak. Seperti seolah-olah jantungnya beresonansi dengan nama itu, karena tiap kali ia melihat nama itu muncul di news feed akun Path miliknya atau muncul di Insta Story, jantungnya akan berdegup lebih kencang. Terdengar hiperbola memang—gila, bahkan!—tapi itulah yang dirasakan Arjuna, dan ia menolak untuk memberi definisi atas apa yang ia rasakan. Tidak semua hal yang ia rasakan, perlu ia cari tahu justifikasinya.

Ada sesuatu tentang hari itu yang mengganggunya; sesuatu yang tidak perlu repot-repot ia cari tahu apa, karena sesungguhnya ia sudah tahu, tapi menolak untuk mengetahuinya lebih dalam. Demi Tuhan, ia tidak ingin delusi di otaknya mengacaukan semua yang sudah ia miliki sekarang—termasuk rencana masa depannya yang sudah ia susun baik-baik.

Samar-samar terdengar lantunan instrumen piano menggantikan lagu Honeymoon on Ice-nya The Trees and The Wild yang ia mainkan melalui laptopnya. Bukannya memperbaiki malamnya, lagu gubahannya itu malah semakin membuatnya frustasi. Itu adalah lagu yang ia buat ketika masih SMA dulu—yang ia buat dua versi; versi akustik dan versi piano—dan sampai sekarang ia biarkan tak berjudul*. Di dalam otaknya kini berkecamuk banyak hal, bahkan hal-hal yang ia pikir tidak akan pernah mencuat lagi ke permukaan.

Sambil menatap layar laptopnya yang sedang menampilkan dokumen sebanyak dua puluh lembar itu, Arjuna memutuskan untuk mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan.

I miss you, Elena.

Setelah memencet tombol kirim, Arjuna kembali berpikir selama beberapa detik sebelum akhirnya mengirimkan satu pesan lagi. Setidaknya, ia merasa sedikit lebih lega dan tidak terlalu merasa bersalah setelah memutuskan untuk mengetik kalimat itu.

Maaf ya, belakangan ini aku lagi sibuk banget sama urusan kantor. I'll make up to you as soon as possible. Sleep tight, Len.

Senja di JakartaWhere stories live. Discover now