MyT>>9

1.5K 128 1
                                    

Digo menutup buku dihadapannya. Menarik secangkir kopi untuk dinikmati. Membayangkan betapa berkesan kisah SMAnya itu membuat digo terkekeh pelan. Sejak kelulusan SMA digo sengaja kuliah diluar kota, selain karna memang beasiswa karna ia ingin menyimpan rapat kenangan pahit masa lalunya.

Senyumnya kembali mengembang ketika menyadari kehadiran seseorang dihadapannya. Semenjak pindah tugas ke daerah malang. Cafee ini sudah menjadi tempat favorit digo.

"udah lama? Maaf ya tadi kejebak macet, jam pulang kerja nih"

Digo menggeleng kembali tersenyum. Mungkin saat ini bisa dibilang wanita dihadapannya merupakan sosok yang menjadi penyejuk hatinya. Kegundahaannya selama bertahun-tahun perlahan memudar.

"nunggu lo satu jam berasa satu menit sil" digo terkekeh sendiri dengan gombalan yang ia lontarkan.

Sila gadis berusia 22 tahun ini berhasil sedikit menutup luka hati seorang digo. Berawal dari sebuah pekerjaan yang mengharuskan mereka saling bekerja sama berlanjut dengan sebuah rasa. Sila merupakan asisten digo, hampir seluruh jam kerjanya ia habiskan bersama digo. Mungkin itulah yang membuat digo berani membuka lembar baru dan perlahan menutup lukanya.

"eh dig lusa bakalan ada konser Sheila on 7 loh. Nonton yuk"

"boleh si, asal kita udah free dari tugas gue mah gak masalah. Oh iya sil dalam waktu dekat ini orang tua gue bakalan dateng kesini" jawab digo santai, entahlah saat dengan sila digo bisa bersikap santai dan menjadi dirinya sendiri. Satu persatu jati dirinya ia buka untuk sila masuki.

"yang bener? Mau dong gue ketemu mereka" sorak sila menggebu.

Lagi lagi digo tersenyum, inilah yang membuat digo bisa membuka hati. Sila merupakan pribadi yang unik. Ia selalu bisa memposisikan dirinya untuk seorang digo si diam mencinta.

"iya gue bakal ajak lo ketemu. Tapi, bisakan lo gak usah teriak gitu. Gue gak suka jadi pusat perhatian karna lo" digo menggelengkan kepala, selalu saja seperti itu. Sila tak pernah bisa mengontrol suara emas miliknya.

"map deh, gue bakalan jadi pendiem kok" sila menundukkan kepala menikmati kentang goreng diatas meja dihadapannya.

"lo pendiem?" jawab digo sedikit menekan tak percaya.

"iya gue pendiem digo, lo gak percaya?" sila mendongakkan kepala menatap digo dengan alis yang saling bertaut.

Digo terkekeh dan menggeleng pelan. Memang sudah tidak mungkin jika sila menjadi seorang pendiam. Selalu saja ada tingkah konyol yang dia lakukan.

"sini deh dig, coba lo peluk gue. Gue pasti diem. Karna gue emang pendiam" sila menaik turunkan alisnya menggoda digo.

Digo yang sedang terkena modus sila hanya mampu melototkan matanya ketika mendengarnya. Digo sedikit memajukan kursi yang ia duduki, dengan gerak cepat ia menoyor kepala sila.

"aduh, gue ini udah di fitrahin dig, jangan seenaknya dong" gertak sila, sedikit menajamkan tatapannya pada digo.

"udah jangan marah, gue traktir lo malam ini" dengan nada selembut mungkin digo merayu gadis cantik dihadapannya, dengan sedikit mengusap lembut ujung kepalanya.

**

Pagi ini adalah pagi pertama miliknya untuk keputusan besar yang akan dia ambil. Satu bulan mengenal sila banyak merubah diamnya menjadi tawa. Salah satu alasan kuat bagi digo untuk menjadikan sila miliknya.

"pagi pak dokter" sapa sila saat digo sampai dikoridor rumah sakit. Hal sederhana yang selalu sila lakukan untuknya, dan tak ubahnya membuat hatinya sedikit bergetar.

"pagi asisten dokter tampan" jawab digo secepat mungkin berlalu dari hadapan sila. Selalu saja ia berusaha menggoda sila, dan tak satupun berhasil.

"tapi masih cantik asistennya kok percaya deh" bisik sila dengan langkah lebar menyeimbangkan dengan langkah digo.

"jelaslah, lo cewek suster" sahut digo cepat dengan nada sedikit keras. Dan lagi lagi ia menjadi pusat perhatian para sanak saudara para pasien yang berada dikoridor rumah sakit.

Digo mengumpat dalam hati, sila selalu bisa membuat wajah tampannya menjadi pusat perhatian. Dengan santai sila melambaikan tangannya dan berlari. Ruangan mereka terpisah, tapi mereka akan sering bersama jika saat jam kerja.

"awas lo ya suster cantik" desis digo membuka ruangannya.

Kopi hitam yang selalu menjadi teman kegundahannya, berubah menjadi secangkir capucino. Dengan sebuah node disisi kirinya.

'jangan berhenti berharap, yakin jika suatu saat harapan itu akan menjadi kenyataan'

Senyum kembali terlukis dibibir digo. Sebuah kata pagi penyemangat harinya. Dulu disetiap pagi selalu berharap untuk dipertemukan dengan sisi dalam keadaan yang lebih baik dan menjadikan sisi takdir hidupnya. Sekarang ia selalu berharap tak dipertemukan kembali dengan sisi, sudah ada kebahagian yang siap menyambutnya.

"sisi hanya ada dalam masa lalu gue, masa depan gue adalah sila. Lo harus percaya itu digo" gumam digo dengan mata yang terus tertuju pada buku ditangan kanannya. Buku yang menjadi saksi kehidupan cinta pertamanya, pahitnya mencintai tanpa dicintai.

Tok tok tok

"masuk" dengan masih sibuk menyembunyikan saksi kisah cintanya digo mempersilahkan orang dibalik pintu itu masuk.

"pagi dokter ganteng, pemeriksaan dimulai dari ruang mawar kamar 405 samapi 420. Siap bekerja?" sila menyebulkan kepalanya dari balik pintu tanpa mendorong tubuhnya masuk kedalam ruang kerja digo.

Digo hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah konyol asistennya itu. Awal ia ditugaskan dan mengetahui asistennya seperti ini, digo selalu tak bersemangat bertugas. Rasanya sudah lelah sebelum beraktvitas, sekarang digo selalu meminta jam kerjanya diperpanjang. Berangkat lebih pagi pulang lebih lambat, hanya untuk menikmati tingkah konyol sila.

"siap suster" digo sedikit merapikan baju dinasnya didalam rumah sakit, meraih stetoskop dan mengalungkannya dileher. Sungguh terlihat sangat tampan.

"kalo dokternya ganteng gini mah semua pasien pasti betah lama lama sakit juga" celetuk sila saat mengiringi digo menuju ruang rawat pasien.

"lo kira lagi bermalam dihotel pakek betah segala. Ini rumah sakit, penjara bagi mereka yang sakit" dengan wajah serius, berwibawa dan sangat tampan digo menjawab sila dan melebarkan langkahnya. Terus meladeni ocehan sila maka digo akan semakin mebiarkan dirinya masuk kedalam pesona sila.

"sebagian dari mereka berfikir seperti itu saat dokter tampan ini berada di rumah sakit" jawab sila. Pandangannya mentap digo tapi tangan kananya sudah sigap membuka pintu ruang rawat pasien.

Tanpa menjawab digo terus berlalu masuk. Digo berhasil menjadi perantara Allah untuk membrei kesembuhan pada mereka yang membutuhkan, tapi untuk lukanya sendiri digo masih membutuhkan waktu.

"bahkan mereka rela loh untuk selalu stand by saat para perawat yang berjaga bilang dokter ada jadwal periksa" lanjut sila saat sudah keluar ruangan.

"salah satu pasien kemarin ada yang gak mau pulang, meskipun rumah sakit sudah mengijinkan untuk pulang. Dia berdalih masih sakit hanya demi bisa selalu bertemu dokter tampan ini" celoteh sila tak henti tanpa mendapat jawaban serius dari digo.

"apakah ketampanan gue yang harus disalahkan? Bukan mau gue jadi tampan. Ketampanan gak akan ada artinya jika kebahagian gak menyertainya" jawab digo enteng.

"oke deh dokter tampan, gue yang bakal menghadirkan kebahagian itu"Digo hanya terkekeh, sila selalu bisa memberi warna dalam harinya akhir-akhir ini.

Setelah menyelesaikan jadwal pemeriksaan pasien digo kembali keruangan kerjanya. Membaca hasil lab beberapa pasiennya.

"sisi aprilia..." gumam digo saat membuka map biru yang diberikansila.

Menghapus Yang TerukirWhere stories live. Discover now