30.
Mulai sejak itu, tiap dimarahi seperti apapun, disinggung sebanyak apapun, melihat pertengkaran sehebat apapun, Al hanya diam, emosinya terkontrol sesuai keinginannya. Al juga mulai mendengarkan lagu-lagu yang aku rekomendasikan.
Dan hari ini, Al membawaku dengan motornya ke tempat terjadinya kecelakaan yang menyebabkan amarahnya gampang meledak, ke jalan layang satu arah di mana mobil maupun motor menggas dengan kencang. Al pun menepikan motornya di pinggir jalan. Kami turun dan melihat ke sekitar.
"Di sini?" Tanyaku dan mendadak mengenang, mengamati sekeliling jalan layang ibu kota. Sambil membuka helm, aku seperti terhipnotis akan permandangan yang sama saat aku kecelakaan dulu. Pembatas jalan dari beton yang ditabrak supirku, dan bagaimana pelukannya yang masih bisa kurasakan. Firasatku amat buruk, bahkan aku tak sanggup melihat wajah Al, bila ternyata kita sama-sama berada di kecelakaan serupa.
"Tahun 2005, hari senin, pernah ada kecelakaan di sini."
"Al," panggilku pelan di belakang punggungnya, aku tentu tak bisa memotongnya karena dia begitu terlihat sendu.
"Waktu itu Mama pengin sarapan Vongole di restoran Italia. Demi calon ade gue, Ayah rela cuti buat nyari restoran Italia yang buka. Gue tadinya nggak diajak, tapi paksa ikut dan bolos sekolah. Akhirnya kita semua pergi sarapan di luar. Gue begitu senang karena ada Ayah yang jarang gue temui karena kesibukannya. Selama perjalanan, gue nggak bisa duduk diam di kursi belakang. Dan tanpa tahu konsekuensinya, gue tutup mata Ayah bermaksud main tebak-tebakkan. Gue pikir Ayah bakalan buka mata dan ketawa kayak tiap habis pulang kerja.
Tapi akibat kejahilan gue, malah bikin jalur mobil nggak stabil, gue nggak pakai sabuk pengaman dan terpental ke belakang. Kecelakaan beruntun terjadi. Yang kayak gue bilang, diumur tujuh tahun gue bunuh lima orang dalam lima detik, terus gue malah dibiarin hidup buat tanggung semuanya. "
Otakku terguncang, mengingat peristiwa yang seharusnya sudah kulupakan. Semua pusat kejadian ini, dia pelakunya?
Aku tertawa miris sebagai tanggapan ceritanya, Al melihatku prihatin, mengelus rambutku, dia mengira aku berduka akan ceritanya, bukan, bukan itu.
"Tapi karena lo udah perbaiki gue-"
Aku menepis tangannya dari kepalaku, marah besar, "kenapa kamu tutup mata Ayah kamu? Dikasih makan apa jadi idiot begitu? Gara-gara kamu jadi banyak korban, terutama supir aku, yang paling utama emosi aku yang terbalik dan nggak bisa disembuhin sampai sekarang. Kamu harus tanggung semuanya!" Aku mendorong dadanya, "semuanya salah kamu!"
Al terbelalak, "Bi?"
"Asal kamu tahu, kamu dibiarin hidup dan punya mental kayak gitu, terus dijauhin orang-orang sebagai hukuman karena jadi pembunuh dan perusak!"
"Bi, bukan salah gue," Al menggeleng, matanya berkaca-kaca, memegang bahuku, seperti minta tolong agar tidak disalahkan. Tapi tidak bisa. Aku menolaknya.
"Aku nyesel bantu perbaikin kamu, buang-buang waktu!" Aku melempar helm ke dadanya, "kamu emang pantas buat dijauhin dan disalahin!"
Kemudian aku berjalan cepat berlawanan arah, dadaku terlalu sesak untuk terbahak-bahak, tapi kalau tidak kukeluarkan jantungku terasa terbelah. Guncangan otakku terpulihkan saat aku melihat cairan dari mataku jatuh ke telapak tangan.
Air mata?

YOU ARE READING
AL BI CI DI
Mystery / ThrillerTentang empat orang remaja yang mengalami berbagai kelainan mental setelah mengalami kecelakaan beruntun. Al: berkepribadian ganda Bi: emosi silang Ci: kebal dari rasa sakit Di: buta warna Kau akan temukan rasa sakit mereka serta tindakan ya...