C u D (Death) 15

164 27 0
                                    

87.

Setelah gue mengkodekan Di agar menjadi kekuatan gue, gue segera peka orang pertama yang akan dia datangi, pastilah Zee.
Lantas gue menemui Zee untuk melakukan penawaran. Sudah lama gue nggak bertatap muka dengannya selepas insiden Al, kejadian yang bikin gue ingin mengakhiri riwayatnya. Dia sayangnya terlalu pengecut, dan memilih tempat di pinggir lapangan yang ramai. Dia cari aman.

“Mampus lo, sekarang Al jauhin lo!” Zee tersenyum kemenangan.

“Terima kasih banyak karena itu gue jadi dekat sama Di,” balas gue tenang.

“Gue akan lindungi Di gimanapun caranya.”

“Jangan sok! Lo aja nggak bisa lindungi diri lo sendiri. Gue nggak akan sakiti dia, pemikiran gue dan Di kebetulan sama. Gue nemuin lo, cuma mau buat perjanjian, jangan kasih tahu apapun soal pembullyan dan perjanjian kita kalau dia bertanya. Sebagai imbalan, setelah ini gue nggak akan ganggu lo dan teman-teman lo. Kalian bisa lulus dengan tenang tanpa teror, gue janji.”

“Mana mungkin gue percaya sama penipu?”

“Lo bisa sumpahin gue, kutuk gue, katain apa aja, lo bahkan bisa visum dan tuntut gue kalau semuanya salah. Gue juga akan bungkam rahasia lo. Atau kalau lo punya nyali buat bongkar semuanya, lo akan hidup penuh siksa tiap hari, teror dari gue bahkan Di nggak akan bisa selamatin lo. Lo itu cuma remaja yang nggak bisa ngelakuin apapun selain bergaya.”

“Lo akhirnya bisa dapatin Di, Al juga udah lo bungkam. Monster!”

“Terus lo maunya apa? Posisi kita ditukar? Lo mungkin akan pilih bunuh diri diumur sembilan.” Gue sedikit emosi mengatakannya, “kalau bisa, gue akan minta pengganti atau pemain cadangan untuk gantiin sejenak kehidupan gue. Tapi bukan lo yang gue cari, bukan. Nggak ada yang pantas. Mungkin lo bakalan bully orang lain setelah ini, lakuin aja, dan pembullyan ini nggak ada habisnya. Balas dendam udah jadi bagian dari hidup. Itu yang gue pelajari selama ini. Siapa yang udah mulai ini sebenarnya?”

Zee bungkam.

Gue anggap itu sebagai akhir perdebatan kita, kemudian pergi untuk menyimak esok harinya.

88.

Di pun menemui Zee di belakang sekolah. Gue mengintip dari balik dinding. Zee gemetar berteriak berusaha memberitahu Di bahwa gue nggak baik, memakai topeng, agar segera menjauhi gue dengan begitu keras. Sampai gue menunjukkan wujud kemudian Zee terbelalak, bungkam lalu pergi. Zee selalu mencoba membeberkan rahasia agar Di percaya padanya, tapi selalu gagal, karena gue selalu di belakangnya.

Si dungu Di kebingungan dengan tingkah Zee, lalu dia tersenyum saat bertemu gue di kantin berpikir dia melakukan hal benar, mengusir pembully macam Zee, merasa sudah menjadi pahlawan dengan kekuatan lembeknya. Karena dia masih belum berguna, gue memintanya membully Zee sebagai penyambutan kelulusan. Ini hukuman untuk Zee yang terlalu banyak mulut.

Gue menyimak euforia Zee dan teman-temannya di lapangan dari lantai dua seolah dia telah bebas. Dia merasakan tatapan gue dan balas memandang dengan takut, dia seharusnya sadar selama dia masih menginjakkan kaki di sekolah ini, semuanya belum berakhir. Zee sudah banyak bully orang sejak dia sok berkuasa. Masih belum adil.

Gue membenarkan firasat ketakutan Zee, dia dimasukkan ke tong sampah oleh Di, dan segera bersumpah nggak ganggu siapapun lagi. Itu udah cukup. Saat Di pergi, Zee menuntut ke gue, “lo langgar perjanjian, bukannya lo janji nggak akan bully gue lagi!”

“Yang bully lo itu Di, gue nggak ada sangkut pautnya, tangan gue bersih. Lagi pula, ini pembalasan karena berani bongkar sesuatu saat itu, tapi untungnya gue kerjasama dengan orang dungu.”

“Lo udah jadi monster!”

Zee yang berani akan kalah pada orang yang tidak punya rasa takut, dan Zee mengakhiri hari terakhir di sekolah dengan menangis.

AL BI CI DIWhere stories live. Discover now