Shades of Red

191 14 3
                                    

[ANOTHER STORY FROM UNDERGROUND BULLET]

***

Aku menjejakkan kaki ke luar kamar. Seisi rumah gelap sekali, tak terlihat sedikitpun sumber cahaya. Walau mataku terbuka lebar, tapi tidak ada bedanya antara merem dengan melek.


Sekelumit makian lolos dari mulutku saat jempol kakiku menabrak sesuatu yang keras. Sepertinya kaki meja atau semacamnya, apa pun itu rasanya sakit sekali hingga setetes airmataku keluar.

Mengapa rumah terasa sunyi? Aku ingat betul kalau Mama dan Papa tidak lembur, mereka pasti sudah pulang.

Perlahan, aku menuruni tangga. Anak demi anak tangga kulalui sembari meraba-raba, mencari pegangan. Langkahku terdengar jelas, bagai menggema di dalam rumah. Seraya menundukkan kepala, aku menelusuri ruang tengah. Di sana gelap gulita. Aneh, karena Papa pasti tidak akan melewatkan malam ini. Ada pertandingan bola yang seru di televisi.

Tak sengaja aku mendapat sebuah senter dari meja kecil di samping telepon. Seberkas sinar terang langsung memancar begitu tombolnya ditekan. Dengan benda ini, setidaknya aku bisa melihat lebih jelas.

Senter kuarahkan ke pintu dapur saat tiba-tiba terdengar suara mencurigakan dari sana. Suara itu seperti benturan antara dua logam. Pasti Mama di dapur, pikirku.

Tetapi, begitu kubuka pintu dapur, ruangan itu gelap gulita. Kusorotkan cahaya senter dan aku sadar tak ada seorangpun di sana.

Gruunggg....

Suara lagi! Kali ini dari halaman belakang, pasti Mama dan Papa ada di sana! Aku melangkah dengan tak sabaran dan meraih pintu. Tetapi ada sesuatu yang cair menempel di kenop pintu itu. Cepat-cepat kusorot tangan dengan senter.

Cairan itu berwarna merah kental.

Isi perutku langsung bergejolak begitu melihat cairan itu. Karena penasaran, aku mendekatkan tanganku yang berlumur cairan itu ke wajah.

Hei, ini bukan darah! Aku hampir memekik kegirangan begitu mencium aroma ceri dari cairan merah itu, walau ada sedikit bau aneh yang bercampur. Mungkin karena terlalu lama menempel di kenop pintu.

Aku tahu, orangtuaku pasti sedang menyiapkan kejutan di halaman belakang. Aku yakin, saat ini keduanya pasti tengah bersembunyi di kamar. Bermaksud menuju kamar, aku langsung berpaling dan keluar dari dapur.

Pintu kamar Mama dan Papa sedikit berderit saat aku membukanya. Kusorotkan senter itu ke dalam, tak ada siapapun. Tapi aku mendengar bunyi napas seseorang dari dalam lemari.

Perlahan-lahan aku mendekati lemari itu. Membukanya sedikit dan langsung mengarahkan sinar senter ke dalamnya. Bagaikan disambar geledek di siang bolong, yang ada di dalam lemari itu Mama!

"Ma, kenapa sembunyi di sini?"

Mama langsung berdiri dan memelukku. Pelukannya kuat sekali, aku melihat penampilannya dan Mama benar-benar kacau! Rambutnya acak-acakan, kemeja cokelat yang dikenakannya kumal dan bernoda hitam di di bagian depan, terlebih lagi aku bisa merasakan debaran jantung yang sangat cepat. Seperti mau keluar dari tubuh Mama.

"Roni, selamat ulang tahun." Mama membisikkan kalimat itu di telingaku.

"Makasih Ma," balasku, "oh ya, kenapa kemeja Mama kotor?"

Mama melirik sedikit ke kemejanya dan dengan senyum kecil ia menatapku. Entah kenapa aku merasa tatapannya campur aduk. Antara senang, sedih, dan takut?

Lalu Mama bersimpuh di depanku dan mengacak-acak rambut hitamku. "Roni, dengar Mama baik-baik. Jangan keluar dari lemari ini sampai matahari terbit. Jangan bersuara dan jaga dirimu di dalam. Mama sudah memanggil Papa dan dia baru akan datang sebentar lagi. Jangan keluar kalau yang datang kemari bukan Papa, paham?"

Aku menganggukkan kepala. "Ini kejutan ya Ma?" tanyaku.

Ia tersenyum lagi, kali ini aku bisa melihat ada setetes air di ujung matanya. "Iya Roni, ini kejutan."

Kemudian aku masuk ke dalam lemari. Dari sela-sela lemari aku bisa melihat Mama yang keluar dari kamar.

Gruuung! Gruuung!

Suara itu lagi! Kali ini semakin keras. Aku tak tahu suara itu berasal dari benda apa, tapi aku sama sekali tidak merasa nyaman mendengarnya.

AAAAAAAAKKKK!

Iris mataku terasa melebar saat telingaku mendengar teriakan Mama. Kakiku memberontak menyuruhku keluar dari tempat sempit ini. Tapi bukannya aku sudah janji akan keluar saat Papa datang?

AAAKKKK!

Mama berteriak lagi, kali ini aku mengenyahkan pikiran tentang janji-janjiku dan langsung menendang pintu lemari. Tapi pintu ini tidak bergeming sama sekali, aku mencoba mendorongnya tapi tak berhasil. Suara aneh itu sudah berhenti, teriakan Mama juga tak terdengar lagi, sekarang aku malah mendengar suara langkah kaki dari lorong.

Langkah kaki itu berat dan seperti diseret. Aku yakin sekali langkah kaki itu bukan milik Mama. Juga bukan punya Papa. Lalu suara kaki siapa?

Langkah kaki itu hanya berlalu kemudian menghilang. Keadaan kembali sunyi senyap. Aku menyandarkan punggungku dan menghantam pintu lemari memakai kedua kaki dengan segenap tenaga. Itu berhasil! Dengan langkah tergesa-gesa, aku membuka pintu kamar.

Yang kulihat saat itu, sama sekali tidak pernah kuharapkan. Mama tertelungkup di lorong. Kaki dan tangannya seperti dipotong dan ada cairan merah di mana-mana. Aroma anyir cairan itu membuat perutku terasa mual. Tetapi aroma itu tetap saja kalah dengan perasaanku yang campur aduk.

"Mama!" Aku mendekati Mama yang masih diam tak bergerak. Kemudian perlahan-lahan kepalanya berpaling dan senyum masih tersungging di wajahnya.

"Selamat ulang tahun Roni, maaf Mama tidak bisa menemanimu tahun depan. Mama titip Papamu ya? Jaga dia baik-baik, jangan lembur terus. Mama yakin, Roni anak baik."

Tepat setelah mengucapkannya, Mama menutup matanya. Dalam sekejap aku merasa baru kehilangan sesuatu. Seperti ada yang baru saja pergi dan pasti tak akan kembali. Aku bahkan tak diberi kesempatan untuk mengalirkan air mata karena kata yang ditulis di dinding. Kata itu menggunakan darah sebagai tintanya.

"Puppet," gumamku. Mendadak kepalaku terasa berat, potongan demi potongan kejadian sebelumnya seperti bertabrakan di dalam pikiranku.

Langkah kaki, cairan di kenop pintu, suara aneh yang meraung-raung, teriakan Mama, lalu....


Darah.

Darah.

Darah.

*****

Happy birthday, Roni!

Aku seolah terhisap ke dalam pusaran masa lalu dan kembali ke masa sekarang dengan pendaratan yang keras. Kini irisku bertemu pandang dengan pound cake yang ada di hadapanku. Kue itu diberi lilin berbentuk angka 17 dan api yang membakat sumbu di atasnya.

"Kenapa, Roni? Ayo ditiup lilinnya!" seru Rinka yang sudah terlihat tidak sabar.

"Lama-lama entar Holmes yang niup nih." Budi mengancam seraya mengangkat Holmes, kucingnya. Gumpalan bulu abu-abu itu mengeong kesal karena tubuhnya diangkat seenak jidat.

Iris mataku bertemu pandang dengan Elena yang dari tadi mengangkat nampan berisi kue. "Roni, kuenya berat nih. Cepetan dong!" serunya.

Melihat wajahnya itu, senyumku tak dapat ditahan lagi. Mama memang sudah pergi, tapi setidaknya aku dapat penggantinya. Nggak bisa dibilang pengganti sih, tapi bagiku dia sama baiknya.

Elena Grimm, partnerku.

[TAMAT]

HAPPY BIRTHDAYDove le storie prendono vita. Scoprilo ora