Darimu

100 9 1
                                    

"Kamu sebentar lagi ulang tahun, kan? Enggak mau dirayakan?"

Waktu itu memang sedang ramai-ramainya diadakan pesta ulang tahun. Hampir tiap bulan ada saja yang menyampaikan undangan, bahkan bisa lebih dari satu. Satu orang bisa mengundang hampir seluruh angkatan. Entah apa tujuannya.


Aku menggeleng, kemudian melempar senyum ke kamu. "Pusing aku ngurusinnya, lagian nggak terlalu penting juga, kan?"


Kamu hanya mengangguk seadanya, sambil tetap memperhatikan teman-temanmu di bawah yang sedang bermain bola.


Hari itu, jam itu, hanya kita yang menelusuri lorong di lantai dua. Aku tau pasti kalau kamu ingin segera pergi dari sini dan bergabung ke bawah. Entah kenapa, kamu masih sama seperti satu tahun lalu, saat awal kamu mengajakku melangkah bersama: tidak banyak bicara. Sering kamu hanya menanggapiku dengan senyum simpul. Bahkan melihat ke arahku pun jarang. Memang aku salah apa?


"Eh, tunggu!" Teriakku, yang akhirnya membuatmu menoleh. "Ya ampun, sol sepatuku lepas! Lihat, deh!" Aku terbahak sambil menunjukan sol yang lepas padamu.


Kamu menyengir sedikit, lalu angkat bicara. "Nanti aku kasih sepatu baru aja, ya, kadonya.""Enggak perlu, kamu temani aku beli sepatu baru aja sebagai kadonya. Oke?"


Samar-samar aku melihatmu menggerakan kepala dengan ragu, sebelum akhirnya hilang menuruni anak tangga dengan cepat.
Sebulan kemudian, tepat di hari ulang tahunku, aku menemukan sebuah kotak di depan rumah. Di atasnya, sebuah kartu ulang tahun menempel dengan mantap. Belakangan aku akhirnya tau bahwa kado ini dari kamu. Tau darimana? Dari tulisan tanganmu—satu-satunya tulisan tanganmu di kartu—yang menuliskan namamu sendiri. Dan tepat sesuai ucapanmu, kotak ini berisi sepatu kets berwarna abu-abu, model terpopuler saat itu, yang katanya mencapai bilangan jutaan. Hingga hari ini sepatu itu masih tersimpan rapi di dalam kotak, jauh di bawah tempat tidurku.


Dengar-dengar, kamu mengantarkan ini pada pagi buta, ya? Terima kasih, tapi aku lebih ingin menghabiskan waktu bersamamu dibanding sepatu mahal ini. Seharian aku menunggu kabar dari kamu, tapi sia-sia. Kamu tanpa kabar sampai keesokannya, esoknya lagi, dan lagi, dan lagi. Sampai seminggu kemudian akhirnya aku mendapat kabar tentang kamu yang sudah dengan orang lain.


Sakit, tapi lebih sakit saat tau bahwa kamu akhirnya berbalik 180 derajat saat dengan dia.


Dan sejak saat itu, kamulah dibalik deraian air mataku.
Setahun kemudian, aku sudah lupa rasanya menangis. Aku sudah lupa kamu, sebelum akhirnya kamu datang kembali dengan tenang bagai kita tidak punya masa lalu.


"Tadi aku lihat sepatumu rusak, besok aku temani cari sepatu baru, ya, sebagai kado?"


Aku diam sejenak, menguatkan hati untuk menolakmu. "Enggak perlu, kok, makasih. Kadomu tahun lalu lebih dari cukup, masih bisa kupakai sampai bertahun-tahun nanti."


"Sepatu yang kuberikan itu?"


"Bukan, ajaranmu untuk merelakan."

***

HAPPY BIRTHDAYWhere stories live. Discover now