Blue Blanket *7

59.3K 4.9K 487
                                    

[Note: Biasakan baca Author's Note, please. Karena terkadang kalian menanyakan hal yang udah terjawab di sana].

Ujian telah berakhir.

Aku yang selama ini belajar dengan keras bersama Kayaka—dibantu Kayato-Senpai pun yakin bahwa nilaiku tidak akan terancam. Pokoknya, aku percaya sekali bahwa aku bisa naik ke tingkat selanjutnya. Aku tahu aku terlalu percaya diri, tapi bukankah kepercayaan diri seperti ini malah bagus?

Liburan kali ini, aku terpaksa meninggalkan sarangku (baca: kamar), karena keluarga Kayaka mengajakku ikut mereka berlibur, baik sekali mereka.

Omong-omong kami akan berlibur di puncak, dan tentu saja aku senang karena aku tidak perlu berurusan dengan nenek sihir itu selama dua hari—karena nenek sihir itu menetap di rumah sendirian.

Kami sudah berangkat sejak subuh tadi, namun sampai sekarang—hampir siang—kami belum juga menemukan tempat penginapan yang akan kami tinggali nanti. Liburan ini tergolong tak terencana, sebab tiba-tiba saja Ayahnya Kayaka mengirimkan voucher untuk menginap di salah satu penginapan di puncak ini.

Bukannya Tante Izumi atau kami tidak memilih naik kendaraan sampai atas saja, kami memang lebih memilih menaiki puncak dengan manual. Kami cukup ekstrem kan?

Oh, bukan cukup ekstrem, kami sangat ekstrem.

Bayangkan, kami menaiki puncak hanya membawa ransel kami yang berisi pakaian untuk dua hari ke depan. Tanpa alat-alat untuk mendaki.

Kami benar-benar menaiki puncak dengan manual.

Dan terima kasih kepada Kayato-Senpai yang memberi usul. Katanya, teman-teman kecilnya bisa membantunya menemukan jalan, dan kalau memang diperlukan, kekuatan teleportasi Kayaka akan digunakan jika memang terdesak. Dan aku tidak percaya bagaimana Tante Izumi segitu percayanya dengan ide konyol Kayato-Senpai.

"Rin, ayo yang cepat." Tegur Kayato-Senpai sambil mengulurkan tangannya, memberi bantuan agar aku bisa naik menyusulnya.

Memang, saat itu aku yang berada di paling bawah. Tapi aku memang sengaja, karena jika seandainya salah satu diantara mereka bertiga terjatuh, aku bisa memasang sayap dengan sangat cepat di punggung mereka. Aku mengganggap diriku sebagai si emergency, dan kupikir mereka juga beranggapan begitu.

"Kayato-Senpai duluan saja,"

Kayato-Senpai malah tersenyum menyeringai dan meraih pergelangan tanganku tanpa izin, lalu menarikku ke atas yang membuatku memekik tertahan.

"Kita naik bersama, ada sesuatu yang perlu kita diskusikan diam-diam."

Aku menaikkan alisku sejenak, lalu mulai berpikir tentang apa yang ingin dibicarakannya. "Apa ini tentang sekolahmu yang masih belum rela melepaskanmu karena kau terlalu pintar, Senpai?"

"Bukan, Rin. Mereka sudah datang ke rumahku kemarin malam dan membawa surat itu." Kayato-Senpai melirik Kayaka yang naik ke atas sambil sesekali berbicara dengan Tante Izumi. "Ini tentang Kayaka, sayang."

Aku hanya mengangguk termanggut, sedetik kemudian aku menyadari kata-kata yang dilontarkan Kayato-Senpai. "Hei, aku bukan sayang-mu."

"Iya, bukan sekarang."

Aku langsung memukuli kepalanya keras-keras, sedangkan Kayato-Senpai hanya tergelak, membuatku ingin sekali membuat otak jeniusnya itu keluar dari kepalanya. Kurasa sesekali aku harus memukulnya seperti tadi lagi agar otaknya yang miring itu kembali lurus.

"Ayo bicara serius, Rin."

"Sedaritadi kau yang bicara tidak serius, biar kuberitahu." Balasku malas.

The Sorcery : SKY Academy [Telah Diterbitkan]Where stories live. Discover now