9. Welcome Home

2.5K 176 8
                                    

Sejenak ia melihat setiap barang yang kini sudah terlipat rapi tersusun di dalam koper hitamnya. Semua keperluan besarnya dan hal yang tidak terlalu penting, dimasukkan ke sana. Sedangkan berbagai macam dokumen penting lintas negara seperti pasport, lalu laptop, lembaran uang, dan hal berharga lainnya, ia letakkan di dalam ransel army yang ia sampirkan di bahunya.

Matanya menyalang ke seluruh ruangan. Untuk pertama kalinya, ia akan meninggalkan tempat ini untuk jarak yang sangat jauh dan mungkin dalam jangka waktu yang lama, karena kini ia berniat untuk menetap di negara kepulauan itu.

Semoga apa yang sudah menjadi keputusannya, tidak membuatnya menyesal.

Semoga.

Akhir tahun ini memaksanya untuk mengenakan pakaian berlapis. Hoddie berwarna abu-abu melekat di kepalanya untuk membuat hangat telinga dan sebagian tengkuknya.

Mata hitamnya membesar seketika menyadari perubahan suhu tepat saat kakinya melangkah keluar rumah. Setiap angin yang berhembus, seakan-akan menampar pipi dan kulit lainnya yang tidak tertutup secara rapat oleh pakaian musim dingin.

Setelah menunggu beberapa menit, taksi yang ia pesan sudah tiba di depannya. Dengan cekatan, sang supir meletakkan koper di belakang mobil.

Sang supir melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat. Ia tidak keberatan dengan hal itu. Karena jam penerbangannya masih sekitar lima jam lagi, dan dalam kemudi yang relatif, biasanya hanya memakan waktu hampir satu jam.

Matanya terus melihat setiap hal yang berlari menjauhi mobil selama terus membelah jalanan yang sedikit ramai.

Sudah sepuluh tahun lebih, ia menetap dan tinggal di salah satu negara di Eropa. Sehingga membuat dirinya mengerti bahasa negara tersebut. Seperti sekarang ini, dia sesekali merespon celotehan supir yang ada di depannya. Bercerita mengenai anak perempuannya yang sudah menikah. Supir itu mengatakan begitu berat perasaannya saat melepaskan anak perempuannya untuk dilamar seorang lelaki. Saat itu, calon menantunya disidang selama satu jam dengan keringat dingin yang terus meluncur di pelipisnya. Namun, pada akhirnya, cincin perak itu melingkar indah di jari manis putrinya yang menangis bahagia.

Ia dapat merasakan betapa bahagianya lelaki itu saat sudah menemukan separuh hatinya yang baru. Selama ini, ia belum cukup untuk merasakan yang namanya kebahagiaan sesungguhnya. Lebih tepatnya, hanya dipaksa untuk mendapatkan kebahagiaan.

Sudahlah. Itu masa lalu. Saat ini, ia sudah akan kembali untuk menjemput yang namanya kebahagiaan itu.

Kini, dirinya sudah duduk di ruang tunggu penumpang di bandara. Penerbangannya sekitar satu setengah jam lagi. Jemarinya menghidupkan ponsel dan mulai menyentuh menu galeri.

Tak terlalu banyak foto yang terpampang di galeri ponselnya. Hanya foto keluarga inti dan sahabatnya yang selalu membuatnya tersenyum mengingat senyum geli dari mereka.

Foto pertama, terpampang dua orang laki-laki berangkulan yang tersenyum lebar sambil mengangkat toganya ke udara. Di belakangnya, terlihat gedung klasik dari fakultasnya yang menjulang tinggi.

"Say aaaaa..." lelaki di balik kamera itu memberi aba-aba dan langsung bergabung dengan kawan di sampingnya. Mereka berteriak dan melepaskan semua beban kuliahnya.

Suara kamera mengambil gambar, mengakhiri teriak lebarnya. Bahunya menubruk bahu kawannya dengan tangan yang saling mendekap satu sama lain. Tawaan itu tidak lantas berhenti. Justru mereka semakin menggila dengan menggoyangkan tubuhnya di tengah lapangan yang dapat dilihat banyak orang yang hadir di acara wisuda itu.

They are crazy mate.

"Congrats, Bro!" kawannya sekali lagi menepuk pundaknya. Yang dibalas rangkulan oleh si empunya pundak.

Homichlove (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang