10. Hujan dan Memoar

2.2K 162 11
                                    

"Masih jelek aja ya lo, Jar." Sehan mengejeknya saat sahabatnya sedang fokus menyetir mobil.

"Lo mau mati muda? Pake ngata-ngatain gue, lagi. Sadar diri, Bang! Lo lebih tua dari gue."

Sehan hanya bisa terbahak. Fajar memang masih sama seperti Fajar yang dulu. Fajar yang selalu mengajak Sehan untuk bolos setiap pelajaran Profesor Hudson. Tapi, selalu juga ditolak Sehan. Akhirnya, karena tidak ada yang jadi teman bolos, Fajar juga ikut pelajaran Profesor, walau ia masih sempat-sempatnya memberi gombalan receh ke perempuan keturunan Inggris bernama Stefannie.

Jiwa gombalannya masih terpatri awet sampai sekarang.

"Lo kenapa balik lagi ke Indo? Katanya gak mau. Bohong banget lu, Han." Fajar menodong Sehan dengan pertanyaan menjebak.

"Bokap gue meninggal. Jadi, gue udah gak punya rasa tanggung jawab sama dia."

Fajar melongo. "Maksud lo apaan? Tunggu. Jangan-jangan, lo emang gak niat untuk tinggal di Jerman?"

Sehan mengangguk. "Tumben pinter."

"Lo seneng kalo kenyataannya Bokap lo meninggal?"

"At least, gue seneng. Juga enggak. Gini-gini gue bukan cowok yang mengharapkan kematian orang tuanya demi kebahagiaan gue."

"Bahasa lo kayak orang bener aja. Kita kan sama-sama gak waras, Han. Pertahankan itu."

"Kalo gitu, kenapa harus belajar jauh-jauh sampe ke Jerman kalo lo masih mau jadi orang gak waras?"

"Kalo lo gak belajar ke Jerman, mungkin kita gak bakal ketemu dan jadi sahabat kayak sekarang ini."

"Kok gue geli ya, Jar? Lo straight, kan?" Sehan bergidik ngeri sendiri.

Seolah gantian, kini Fajar yang hanya bisa terbahak dan membawa suasana keceriaan di sepanjang jalan menuju apartemen sementara Sehan.

***

Setelah sepuluh tahun lamanya, Jakarta sudah berubah. Semuanya terlihat lebih metropolitan. Gedung-gedung pencakar langit yang semakin banyak mencengkram langit. Pembangunan transportasi massal yang semrawut, menambah kesal para pengendara.

Dua hal Jakarta yang masih sama bagi Sehan. Pertama, macetnya masih sama. Kedua, kenangannya dengan Jakarta.

Baginya, Jakarta memiliki sejuta kenangan masa remajanya. Di sinilah ia merasakan yang namanya masa-masa indah putih abu-abu. Sebagai remaja labil yang malu terhadap perasaannya.

Setiap jengkal kehidupan di Jakarta, terukir masa-masa itu. Setiap jengkalnya yang mengingatkan pada suatu kenyataan yang pahit. Sebuah pengkhianatan terhadap garis persahabatan.

Rintik hujan yang mengalir di kaca jendelanya, melempar Sehan pada kejadian itu.

"Aku benci hujan." Embun memecah suara hujan dengan suaranya yang gemetaran akibat terlalu lama kehujanan.

"Kenapa?" tanya Sehan.

"Soalnya hujan itu selalu dateng keroyokan. Gak fair aja, gitu."

Sehan terkekeh geli mendengar alasan Embun membenci hujan. "Kalo aku suka sama hujan."

Embun mendongak lantas mengernyitkan dahinya seolah-olah meminta jawaban yang masuk akal dari Sehan.

"Karena ketika kita berdo'a saat hujan turun, do'a kita pasti dikabulkan."

Kernyitan di dahi Embun semakin jelas. Sehan menghapusnya lewat tangannya. "Ada beberapa waktu yang Allah kabulkan ketika kita berdoa kepada-Nya." lanjutnya.

Homichlove (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang