25. Jalan-jalan di Jogja

1.7K 124 0
                                    

Dari selepas shalat maghrib berjama’ah dengan Sehan sebagai imamnya, sampai jam sepuluh malam, Embun terus-terusan merengek meminta untuk menemaninya jalan-jalan. Perlu digaris bawahi kalau Embun meminta menemaninya. Itu tandanya, hanya Embun dan Sehan. Tanpa mengajak Fajar yang jelas-jelas berada di tengah-tengah mereka.

Tak pelak, Fajar sudah tidak berujung sebalnya. Lucunya adalah ketika Fajar absen makan malam. Ia keras kepala akan mogok makan sampai Embun mengijinkannya ikut jalan-jalan keliling Jogjakarta. Ya ... Namanya juga Embun. Dia tetep bersikukuh dengan pendiriannya. Kecuali, kalau Sehan yang meminta. Tapi inipun, Sehan seperti berkubu dengan Embun. Makin terpuruklah Fajar.

“Kamu nanti pulang sendirian loh, Mbun.” Fajar sudah tahu kelemahan Embun yang takut naik pesawat. Jadi, ini adalah salah satu dari usahanya untuk membujuk Embun.

“Mainannya ngancem. Han, cowok bukan tuh?” rajuk Embun.

Tanpa disangka, Fajar langsung berdiri dan berpura-pura membetulkan letak kerahnya. “Ayo kita jalan sama-sama. Dateng sama-sama, pergi sama-sama, pulang juga harus sama-sama. Dimengerti, Nona Embun?” suara Fajar sudah persis seperti dayang-dayang keraton Jogjakarta. Penuh kesabaran. Padahal, Embun tahu kalau sebenarnya di dalam hati Fajar, sudah tersimpan amarah yang siap diledakkan. Embun sih pura-pura jual mahal.

Sehan terkekeh pelan melihat kelakuan mereka. Tangannya mengangkat ke udara. Menyudahi perkelahian mulut mereka.

“Fajar ikut aja. Dia bisa jadi supir kita.”

Embun baru menyadarinya. Astaga ... Betapa ia menyayangi laki-laki jenius seperti Sehan. Sedangkan Fajar masih berdiri membatu. Namun akhirnya senyum tersungging di bibirnya. Tak apalah, yang penting bisa jalan-jalan bareng Embun. Rela kok, rela!

“Jadi kita mau jalan kapan, Han?” suara Embun terdengar sangat bersemangat.

“Jam dua kita udah berangkat.”

“Hah? Pagi banget, Bang. Mau kemana?” Tangan Fajar sudah kembali bersidekap di dada.

“Kita ke daerah Mangunan. Perjalanan bisa satu jam kalau dari sini.”

Kedua lawan bicaranya manggut-manggut sok mengerti. Padahal, mereka pun tidak tahu apa itu Mangunan, dimana letaknya. Keduanya benar-benar polos. Walaupun sebagian keluarga besar Fajar berada di Jogja, tetap saja ia tipikal orang yang susah menghafal jalanan. Tapi yaa karena ada Sehan, jadi mereka bisa bekerja sama.

“Gimana?” Sehan menatap keduanya.

Yang ditatap pun, saling melempar pandang. Sehan terkekeh geli.

“Aku setuju banget!” Embun meninju udara.

“Oke. Kalo Embun setuju, gue juga pasti setuju.” Fajar angkat bicara.

“Berarti kita berangkat dari sini jam 2 ya. Siapin fisik kalian. Dijamin kalian gak bakal nyesel.”

Embun berbinar. Ia benar-benar tidak sabaran esok hari. Asiik ... Jalan-jalan!

***

Tuk ... Tuk

Kening Embun terus berbenturan dengan kaca mobil. Yang paling semangat siapa, yang ketiduran di mobil siapa.

Sebenarnya Fajar sudah ingin menepikan mobilnya dan duduk di belakang untuk memberi sandaran bahu pada Embun. Namun Sehan sudah bilang tidak. Kalau laki-laki itu bilang tidak ya tidak. Dia tegas. Bahkan pada sahabatnya.

Alhasil, mereka melanjutkan perjalanan. Jalanan Jogja bisa dibilang sepi, namun tidak juga bisa dibilang ramai. Lengang sekali. Apalagi lagu keroncong mengalun dari radio lokal Jogjakarta yang terputar di mobil sewaannya, terdengar sangat merdu dan mendayu. Menambah rasa rindunya terhadap kota gudeg ini.

Homichlove (Completed)Where stories live. Discover now