Chapter 11 : Badai

127K 11.8K 2.5K
                                    

Sosok Romeo dalam karangan William Shakespeare digambarkan sebagai laki-laki berwajah tampan dan bertubuh tegap. Dia keturunan bangsawan, begitu cerdas, cekatan, dan pemberani. Hal yang paling menarik dari Romeo yaitu sikapnya yang romantis dan setia. Semua yang tersusun pada sosoknya membuatnya dikagumi oleh para perempuan. Romeo seumpama langit yang dipadu dengan alam dan menjelma menjadi keindahan.

Kurasa deskripsi itu terlalu berlebihan jika diberikan untuk Romeo yang kukenal pada abad 21 ini. Tahu kan Romeo mana yang kumaksud? Tentu saja Romeo Ananta Wilgantara. Aku tidak punya kenalan bernama Romeo selain dia.

Mungkin sebagian orang menganggap Romeo Montague sebelas dua belas dengan Romeo Ananta. Aku juga akan sedikit setuju dengan anggapan itu kalau saja Romeo dianugerahi sikap romantis dan manis yang juga dimiliki Romeo Montague.

Namun dibanding dengan Romeo Montague atau Romeo dalam karangan William Shakespeare itu, aku lebih setuju kalau Romeo disamakan dengan Apollo.

Apollo. Dia yang dengan kesombongannya justru menghadirkan decakan kekaguman. Sombong karena pantas sombong. Merasa maha sempurna yang membuat semua wanita rela bertekuk lutut untuk mendapatkan cintanya.

Hingga suatu ketika, Eros, sang Dewa Cinta merasa tersinggung atas kesombongan Apollo. "Apollo, panahmu sanggup menghancurkan semua yang ada di bumi, tetapi panahku dapat menghancurkan dirimu." Itu yang dikatakan Eros.

Dia adalah Dafne, wanita cantik yang merupakan putri dari dewa sungai Peneus. Eros dengan panah cupidnya membuat Apollo jatuh hati sejatuh-jatuhnya pada sosok Dafne, namun juga Eros membuat Dafne merasakan hal sebaliknya.

Disitu kutukan Apollo dimulai. Kebencian Dafne membuat kisah cinta mereka berakhir tragis.

Sebagaian besar para wanita yang membaca kisah itu pasti akan mengutuk Dafne karena menolak Apollo atau juga mengutuk Eros karena menembakkan anak panah timah yang tumpul (anak panah kebencian) kepada Dafne sehingga membuat wanita itu membenci Apollo. Namun aku adalah pendukung sepenuhnya apa yang telah dilakukan Eros. Kekuatan panah Apollo tak ada apa-apanya dibanding kekuatan panah cinta milik Eros. Kesombongan Apollo memang harus diatasi dengan cara seperti itu. Dan kini, sosok Apollo itu menjelma menjadi sosok Romeo yang duduk di sampingku.

Romeo dengan segala kesombongannya. Lihatlah sekarang, dia sibuk menggobrol dengan Adrian. Menggobrolkan hal yang menurutku pamer banget.

"Lo aja yang booking lapangan futsalnya, seharian, soalnya anak-anak lain juga bakal main, biaya jadi urusan gue." Ucap Romeo dengan nada santai. Aku yang seumur hidup belum pernah main futsal memang tidak tahu berapa harga yang mesti dibayar untuk menyewa lapangan, yang jelas kalau menyewanya seharian, tentu dibutuhkan uang yang sangat banyak.

"Ok, ntar sore deh, siang ini gue mau jalan dulu sama model yang rambutnya pirang itu." balas Adrian tak kalah santainya. Gantian Adrian yang pamer, pamer kalau dia punya kecengan yang oke.

"Oh ya Rom, gue tau dari OSIS, katanya di Hayden ada pertandingan basket antar sekolah. Lo mau ikut?"

"Ikut main maksudnya? Mereka tuan rumah, nggak enak kalau gue nyetak poin di ring mereka."

Sombong!

Adrian terkekeh, "Gue emang ngakuin kehebatan lo main basket, lo bahkan bisa ngalahin salah satu kandidat calon kapten basket tahun lalu." balas Adrian.

Sepertinya aku tahu dia sedang menyindir siapa. Aku mengalihkan pandanganku dari laptop dan menatap sok sinis Adrian yang duduk di atas meja Ide. Adrian tersenyum ganteng yang malah terlihat membosankan di mataku.

"Canda, Kin. Lo cantik kalo lagi nyinisin orang kek tadi." Adrian tersenyum lebar.

"Makasih pujiannya," balasku datar.

Resist Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang