Prolog

662K 14.2K 869
                                    

I know what you did

Trinity terbelalak membaca deretan huruf di sehelai kertas dengan tepian berantakan, jelas akibat dirobek terburu-buru. Diam-diam dia melirik ke kanan dan ke kiri, memutar kepala ke belakang, memperhatikan teman sekelasnya satu per satu. Semua berkutat dengan urusan masing-masing. Mereka baru saja selesai berganti pakaian, dari pakaian olahraga yang penuh peluh kembali ke pakaian seragam putih abu-abu.

Kemudian mata Trinity berhenti di tengkuk seorang cowok berambut cepak yang duduk di barisan kursi sebelah kanannya, di deretan kedua dari depan. Dia menekan bibirnya menahan geram, matanya menyipit, merasa yakin cowok itu yang menyelipkan kertas ini ke dalam buku olahraga yang ditinggalkannya di atas meja.

"Sok sempurna!" umpatnya dalam hati.

"Ih, nyebelin banget deh. Lo tau nggak Trin, anak-anak bilang Zaki hari ini nggak masuk ternyata ada misi khusus."

Pipi Trinity memanas mendengar nama "Zaki" disebut, perlahan dia menoleh kepada Reyana teman sebangkunya yang baru mendudukkan tubuh di sampingnya.

"Misi khusus apaan?" tanyanya menahan rasa cemas.

"Bantuin anggota gengnya melakukan kecurangan!"

Degg! Ucapan Reyana kali ini membuat jantung Trinity berdebar makin keras.

"Maksudnya?"

Reyana memiringkan tubuhnya hingga menghadap Trinity, Trinity hanya menoleh, menunggu Reyana menjawab pertanyaannya.

"Jadi, pas ujian lari tadi, Zaki udah nungguin anak-anak gengnya di belokan yang nggak terlihat dari sekolah. Dia bawa mobil, mereka masuk ke mobilnya lalu diturunin di jalanan sebelum belokan yang terlihat dari pintu gerbang sekolah. Mereka jadi nggak terlalu capek dan waktunya lebih cepat dari kita-kita," kata Reyana, ujung matanya berdenyut meredam kesal.

Trinity menelan ludah. "Lo tau dari mana?" tanyanya berusaha terdengar biasa.

Reyana mengembuskan napas cukup keras.

"Nggak tau deh siapa yang pertama cerita, tapi itu yang tadi diobrolin anak-anak di toilet saat ganti baju."

"Terus?"

"Yaa ... harusnya ada yang ngelaporin mereka, supaya nggak seenaknya gitu dong."

"Ada yang berani ngelaporin?"

Reyana mengangkat bahu.

"Sudah konfirmasi ke teman-teman Zaki?" tanya Trinity lagi.

Lagi-lagi Reyana mengangkat bahu.

"Terus lo ngomel-ngomel buat apa kalau akhirnya lo nggak berani bertindak?"

Reyana melotot mendengar ucapan Trinity itu, bibirnya mengerucut.

"Lo belain mereka?"

"Bukan belain, tapi kalau pada kesal dan marah dengan kecurangan Zaki dan gengnya, kenapa nggak ada yang berani menegur mereka?"

Reyana hanya diam, dia meluruskan tubuhnya menghadap meja, dan sejak detik itu menjadi bete bukan main pada Trinity. Sementara Trinity menyesalkan ucapannya barusan. Dia mengatakan itu hanya karena dia kesal pada dirinya sendiri. Andaikan saja teman-teman perempuan sekelasnya tahu apa yang telah dia lakukan, entah apa yang akan terjadi pada dirinya.

Ini berawal hanya karena dia tidak mahir olahraga apa pun. Boleh lah nilai pelajaran biologi, kimia, fisika dan matematikanya bagus, dan dia berbakat di bidang seni. Tapi soal olahraga, sungguh membuat Trinity putus asa. Nilai teorinya belum sempurna, gagal di semua ujian praktik. Meleset membidik bola basket ke dalam keranjangnya, melenceng saat memukul bola voli, melompat tidak mencapai standar jarak minimal, peluru berupa bulatan besi sedikit lebih besar dari kepalan tangan terlempar tak jauh dari kakinya dalam praktik tolak peluru. Jangan tanya soal lari atau senam, bahkan Trinity sampai detik ini belum mahir berenang. Bukannya dia tidak berusaha, tapi dia yakin sekali ini ada hubungannya dengan takdir. Dan dia pasrah ditakdirkan tidak memiliki bakat di bidang olahraga. Tapi apakah guru dan orangtuanya mau tahu? Tidak, dia tetap akan dinilai bodoh jika di rapornya tertera nilai berangka merah walau itu mata pelajaran olahraga.

Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt